Topswara.com -- Jumlah perantau atau pendatang yang mengadu nasib ke Jakarta diprediksi bakal membludak usai Lebaran seiring masifnya PHK di berbagai daerah, pemberlakukan efisiensi anggaran yang berujung pada pemangkasan belanja daerah, dan terhentinya sejumlah proyek infrastruktur.
Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga meyakini arus urbanisasi dari daerah terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Jakarta bakal membludak dari tahun-tahun sebelumnya. Namun dengan cara yang berbeda. Hal tersebut, menurutnya, sudah dan akan terlihat dari meningkatnya jumlah penduduk di wilayah penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Mereka yang tinggal di kota pinggiran Jakarta, ungkapnya, bukan berarti semuanya bekerja di sana. Tapi mereka terpaksa menyingkir demi menekan biaya dari mahalnya hidup di Jakarta.
Jadi, sebenarnya mereka tetap bekerja di Jakarta, tapi tinggal di pinggiran. Di Tangerang Selatan, misalnya, terlihat kenaikan penduduk sebesar 10 persen yang ditandai dengan munculnya permukiman padat penduduk dan hal tersebut seharusnya menjadi warning (peringatan) bagi pemerintah provinsi Jakarta.
Dilansir dari bbc.com (4/4/2025), pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan faktanya 70 persen perputaran uang di Indonesia masih terpusat Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Sehingga mau tidak mau, Jakarta tetap akan menjadi magnet bagi para pendatang untuk mencari pekerjaan.
Nirwono Yoga menambahkan setelah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) ditetapkan, maka Jakarta akan beralih peran dari ibu kota menjadi kota global. Artinya Jakarta adalah pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau sudah ditetapkan begitu, maka arus urbanisasi tidak bisa direm lagi.
Padahal, arus urbanisasi yang tak terbendung akan membahayakan jika tidak segera diantisipasi. Berbagai persoalan akan muncul, seperti Jakarta dan sekitarnya semakin macet, sementara transportasi publik belum memadai, tingkat pengangguran meningkat bagi kaum urban yang tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Menjamurnya permukiman-permukiman kumuh jika pemda tidak menyediakan tempat yang layak, angka kemiskinan bertambah bagi kaum urban yang tidak memiliki akses ke sumber daya dan kesempatan ekonomi, munculnya ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, angka kejahatan naik apakah itu pencurian, penipuan, perampokan bahkan pembunuhan karena faktor ekonomi, depresi dan lain-lain.
Namun, membludaknya arus urbanisasi tidak lantas hanya menyalahkan masyarakat saja. Mereka melakukan urbanisasi karena pertama, mencari pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi sehingga mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik juga.
Kedua, perkembangan industri di kota-kota besar yang menarik sehingga banyak orang untuk pindah ke kota.
Dengan adanya industrialisasi, sejumlah tawaran terbukanya lapangan kerja di desa pun mengemuka. Dampaknya banyak masyarakat desa tertarik untuk ganti profesi yang sebelumnya menjadi petani, kini beralih menjadi karyawan pabrik.
Ketiga, modernisasi kota. Kota-kota besar sukses menawarkan gaya hidup yang lebih modern dan menarik banyak orang dan sukses membuat masyarakat perdesaan tampak begitu ketinggalan zaman dan teknologi. Alhasil, yang modern dan stylis itu dianggap baik dan hebat, sedangkan yang udik dan ndeso menempati status buruk.
Secara tidak langsung, urbanisasi hari ini merupakan simbol dari dua hal yang paradoks. Pertama, kemajuan perkotaan modern. Kedua, simbol kesenjangan pembangunan antara di desa dan di kota.
Pembangunan perkotaan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sangat kontras dengan di desa yang identik dengan ketertinggalan dan kejumudan. Jelas, hal tersebut telah menggambarkan bahwa sistem ekonomi kapitalis gagal dalam hal pemerataan pembangunan dan distribusi kekayaan.
Pemerataan Pembangunan dalam Islam
Orientasi pembangunan perkotaan ala kapitalistik dilakukan pada ekonomi. Pembangunan kapitalistik hanyalah untuk kemaslahatan para pemilik modal, bukan untuk kemaslahatan masyarakat.
Berbeda dengan Islam, pembangunan perkotaan dalam daulah Islam direncanakan dengan matang berbasis akidah Islam sebagai pelaksanaan amanah kekuasaan untuk mengurusi rakyat hingga mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Adapun tata ruang kota mencontoh konsep Nabi SAW sebagai wujud fungsi negara yang sahih dan bagian dari pelaksanaan politik dalam negara daulah.
Ketika Rasulullah SAW menjadi kepala negara di Madinah, beliau bertanggung jawab secara langsung dalam penataan kota dan penyediaan rumah layak huni bagi warga negara khilafah, tanpa menyerahkan kepada operator.
Ketika Umar bin Khaththab ra. menjabat sebagai khalifah, ia membangun sejumlah kota baru, seperti Kufah, Bashrah, dan Fusthath mengikuti konsep Nabi Saw. dengan empat unsur pokok, yaitu membangun masjid jami’ di pusat kota, kediaman pemimpin dekat dengan masjid tersebut, pasar, dan pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah.
Begitu pula Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, saat membangun pusat pemerintahan baru di Baghdad, ia Beliau mengumpulkan para insinyur, arsitek, dan orang-orang yang dianggap memiliki pemikiran (ahl ar-ra’yi) untuk dimintai pendapatnya hingga lahirlah Kota Baghdad yang indah.
Tata ruang kota Baghdad yang melingkar ditambah berdiri masjid jami’ megah ditengah, berdekatan dengan istana khalifah yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk serta dilengkapi dengan jalan-jalan lebar sesuai dengan peruntukannya. Ada jalan protokol yang lebih lebar, kemudian jalan sekunder yang lebih kecil dari jalan protokol, dan jalan di gang-gang yang lebih kecil dari jalan sekunder.
Tata ruang dan pembangunan Kota Baghdad telah menjadikannya sebagai kota dengan tata ruang terbaik pada pertengahan abad ke-2 hijriah. Tentunya dalam kondisi kota dengan tata ruang terbaik tersebut meniscayakan para perempuan dan anak mendapat jaminan tinggal di rumah yang layak huni.
Konsep pembangunan dengan paradigma syar'i akan membuat masyarakat di desa atau di kota sama-sama bisa merasakan kesejahteraan tanpa menghilangkan ciri khas yang melekat pada ruang hidup mereka.
Karakteristik desa misalnya, biasanya memiliki ruang hidup berbeda dengan kota. Desa suasananya sejuk dan memiliki lahan yang luas. Sehingga pertanian, perkebunan, peternakan dan juga perikanan sangat cocok dikembangkan di sini. Maka peningkatan produktivitas pertanian bisa menambah insentif para petani yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat pedesaan.
Strategi tersebut akan tepat dan sesuai target jika didukung pula oleh sistem politik dan ekonomi Islam. Karena sistem tersebut akan menutup celah para mafia dan swasta ikut campur dalam masalah pembangunan desa.
Alhasil, khilafah memiliki kuasa penuh mengatur desa-desa di wilayahnya menjadi desa produktif, karena pembangunannya disesuaikan dengan potensi bumi di wilayah tersebut.
Pembangunan dalam Islam bersifat sentralistik, yaitu seluruhnya dalam pantauan pemerintah pusat. Sentralisasi ini bertujuan agar pemerintah pusat mengetahui segala sesuatu yang menjadi kebutuhan suatu daerah dan yang menjadi surplus daerah tersebut agar dapat memberi bantuan kepada daerah yang minus.
Khilafah juga membuka jalur komunikasi antar antara rakyat dan penguasa. Mereka bisa menyampaikan aspirasinya baik langsung secara individu atau dengan peran partai politik, Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim.
Mekanisme ini akan membuat pemerintahan seimbang karena aktivitas muhasabah lil hukam atau mengoreksi penguasa berjalan. Alhasil, pemerintah memahami apa yang dibutuhkan rakyat, sementara rakyat mendapatkan hak mereka dari negara
Seperti inilah kehidupan masyarakat kota dan desa pada masa khilafah. Pada akhirnya urbanisasi tidak akan terjadi secara besar-besaran di dalam tata kelola negara Islam. Sebab kesejahteraan dan pembangunan merata. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar