Topswara.com -- Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merilis sembilan produk makanan, khususnya marshmallow, terbukti mengandung unsur babi atau porcine. Sebagian dari produk itu bahkan sebelumnya telah memiliki sertifikasi halal yang kini dipertanyakan keasliannya.
BPJPH langsung mencabut izin edar produk bermasalah serta menginstruksikan penarikan produk dari pasar secara menyeluruh. Hal ini sebagai bentuk sanksi atas pelanggaran terhadap komitmen dalam menjaga jaminan produk halal nasional (rri.co.id, 23/4/2025).
Innalillahi, tentu saja kabar tersebut mengagetkan para konsumen Muslim. Karena bagi kami (kaum Muslim), adanya jaminan halal untuk makanan dan minuman sangatlah penting, terlebih itu untuk jajanan anak-anak.
Sahabat Sahl ra. berkata,
“Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau” ( Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, hlm. 91).
Jadi, bukan saja masalah makanan tersebut bergizi atau tidak, tapi juga status kehalalannya. Karena halal atau tidaknya makanan dan minuman menjadi penentu diterimanya amal seseorang oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Wahai Sa‘ad, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang memasukkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama 40 hari” (Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu‘jam al-Ausath, Jilid 6, hlm. 310).
Namun, dengan munculnya temuan tersebut, alhasil saat ini masyarakat Muslim semakin tidak tenang dan was-was.
Lahirnya berbagai masalah tersebut karena adanya jaminan kebebasan, apakah itu kebebasan kepemilikan atau bertingkah laku. Jaminan tersebut merupakan turunan dari paham sekularisme. Sebuah paham yang menolak agama untuk ikut mengatur aturan kehidupan, termasuk aturan mengenai makanan dan minuman.
Alhasil, para pengusaha diberi kebebasan untuk mengelola makanan atau minuman dengan bahan apa saja, yang penting murah atau aman. Tidak peduli apakah bahannya halal atau haram, karena mayoritas hanya menarget keuntungan.
Setali tiga uang dengan target konsumen yang terkena paham ini, dia akan menjalankan aktivitas sesuai hawa nafsunya. Inilah salah satu jawaban mengapa banyak dari kaum Muslim yang tidak memperhatikan label halal dan haram dengan teliti.
Masalah tersebut akan semakin rumit manakala negara tidak hadir memberikan jaminan. Dalam implementasi aturan, pemerintah masih mengandalkan dana dari para produsen yang mendaftarkan sertifikasi produknya. Ujungnya, para produsen enggan melakukan sertifikasi karena harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Keberadaan lembaga pemeriksa halal (LPH) dan auditor pun masih terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan sertifikasi secara massal tanpa mengabaikan aturan-aturan baku halal-haram dalam agama.
Hambatan tersebut juga muncul dari keterbatasan dana untuk mencetak LPH dan auditor baru. Bahkan, kebijakan yang baru setelah dikeluarkannya UU JPH dan PP No. 39/2021, LPH diswastanisasi serta wajib membayarkan sekian persen keuntungannya pada BPJPH. Dikhawatirkan aturan tersebut dapat mempengaruhi kinerja LPH menjadi sekadar mencari keuntungan semata.
Padahal sertifikasi halal bukan sekadar formalitas, tapi seharusnya sebagai bentuk tanggung jawab agama dan moral.
Jaminan Makanan Halal Tanggung Jawab Negara
Jaminan kepastian makanan dan minuman yang halal atas berbagai produk yang beredar adalah murni tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat dan sebagau bagian dari perlindungan negara terhadap agama rakyatnya.
Rasulullah SAW bersabda,
“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya” (HR. Muslim dan Ahmad).
"Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim).
Dahulu, Khalifah Umar bin Khaththab ra. melakukan berbagai langkah agar umat terlindungi dari praktik-praktik haram dan kecurangan dengan cara mengangkat hakim khusus yang disebut qadhi hisbah.
Qadhi Hisbah adalah hakim yang bertugas mengawasi proses jual beli dan aktivitas masyarakat lainnya agar sesuai dengan syariat Islam, terutama di pasar. Tugas mereka meliputi memastikan produk yang diperjualbelikan halal dan tayib, mencegah kecurangan, dan menjaga ketertiban di pasar.
Qadhi Hisbah juga berwenang mengadili pelanggaran hukum syarak, seperti pengurangan timbangan atau masuknya produk haram ke pasar dan qadhi hisbah berhak menjatuhkan sanksi saat itu juga sesuai aturan. Misalnya, dengan menutup stan toko atau memusnahkan produk haram yang ada.
Dalam kitab Al-Amwaal, Abu Ubaid halaman 265, diriwayatkan oleh Laits bin Abi Sulaim bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah serta memerintahkan mereka agar membunuh babi-babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non-Muslim.
Hal tersebut dilakukan dalam upaya melindungi umat Islam dari mengonsumsi dan memperjualbelikan zat yang mengandung unsur babi. Semua dilakukan semata karena rasa ketakwaan yang tinggi dan keinginan menegakkan hukum Allah SWT tidak ada tendensi lain.
Dengan demikian, ketika negara mesti mengeluarkan biaya besar dalam menjalankan tanggung jawabnya atau berisiko berkurangnya penerimaan jizyah karena digunakan membayar harga babi yang dibunuh, hal tersebut tidak menjadi masalah.
Oleh karena itu, dalam negara Islam, jaminan kehalalan produk makanan dan minuman adalah persoalan yang harus diprioritaskan dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta seperti yang terjadi pada sistem sekuler saat ini.
Negara sendirilah yang membentuk institusi pemeriksa dan pengawasnya serta menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Negara seperti ini hanya akan lahir dari sistem Islam, bukan negara sekuler dan kapitalistik yang mencari keuntungan atas nama agama. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar