Topswara.com -- Lebaran 2025, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada fenomena yang cukup mengkhawatirkan. Utang melalui pinjaman online (pinjol) dan layanan paylater meningkat tajam hingga mencapai Rp78,5 triliun, tumbuh hampir 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Lonjakan ini dipicu oleh meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat untuk mudik, membeli kebutuhan hari raya, hingga gaya hidup selama Ramadan.
Pakar keuangan dari Dahlan Consultant, Asep Dahlan mengatakan, lonjakan penggunaan pinjol dipicu oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemasukan masyarakat.
Banyak rumah tangga yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) terpaksa memanfaatkan layanan tersebut demi memenuhi kebutuhan selama Ramadhan dan lebaran (suarapemredkalbar.com, 11/4/2025).
Demi meredam stres dan kecemasan karena munculnya tekanan keinginan yang tak mampu dia kuasai untuk membeli barang-barang branded terbaru, maka utang pun bisa menjadi solusi tercepat, salah satunya dengan menggunakan kemudahan paylater.
Padahal, perilaku konsumerisme dapat memiliki dampak yang signifikan pada individu terlebih dalam kehidupan berumah tangga, baik secara finansial maupun secara emosional. Dampak finansialnya adalah adanya pengeluaran sekunder yang berlebihan. Karena orang cenderung membeli lebih banyak barang yang tidak urgen lantaran menuruti hawa nafsu ingin diakui "wah" daripada hal pokok yang mereka butuhkan.
Alhasil, pembayaran SPP anak jadi korbannya, biaya makan sehari-hari juga diminimalkan sehingga anak terancam gizi buruk, dan lain sebagainya.
Dampak emosionalnya adalah ibu menjadi gampang marah, tertekan, susah tidur, tidak fokus, cemas karena sewaktu-waktu harus menghadapi tagihan, cemoohan masyarakat atau sanksi sosial yang berujung pada cek-cok rumah tangga, astaghfirullah.
Bagi mereka yang memiliki cukup tabungan atau banyak sumber pemasukan mungkin tidak terlalu terasa efeknya. Namun bagi kaum "mendang mending" dengan penghasilan yang tidak pasti, tentu saja akan menjadi masalah tersendiri seperti yang penulis sebutkan di atas.
Sehingga dapat dikatakan bahwa konsumerisme dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan yang berujung pada pertengkaran suami istri. Peribahasa mengatakan besar pasak daripada tiang. Terlebih pemasukannya dari dana utang, waduh bencana.
Ditambah lagi, sistem kapitalisme saat ini memang mendorong seseorang untuk mengutamakan materi belaka. Kepuasan tertinggi adalah saat mereka mendapatkan kebahagiaan dunia sebanyak-banyaknya.
Tanpa berpikir panjang, ketika ada promo yang menggiurkan dilengkapi dengan tawaran metode pembayaran yang mudah, langsung saja chekout keranjang kuning.
Kondisi tersebut pada ujungnya hanya memperbesar munculnya kredit macet dan para pengguna tersandera pada jebakan finansial. Jika sudah demikian, maka para pengguna harus banting tulang bekerja (kalau masih bekerja) atau gali lobang tutup lobang, utang lagi ke sana kemari demi bisa melunasi utang beserta denda dan bunganya.
Bayangkan, kalau utangnya banyak, tentu akan menguras semua waktu, pikiran dan tenaganya bahkan bisa menguras harta benda. Itu kalau punya harta. Kalau tidak, ya lebih parah lagi.
Paradigma Materialistis
Lonjakan jumlah pengguna pinjol dan paylater sejatinya merupakan realisasi tak terkuasainya hawa nafsu belanja sebagai wujud gaya hidup konsumtif. Semuanya akibat paradigma konsumerisme yang ditunjang oleh hedonisme yang telah tumbuh subur di tengah masyarakat. Keduanya merupakan turunan dari ideologi kapitalisme
Paradigma materialisme membuat hidup manusia hanya fokus pada capaian fisik dan harta benda. Mereka merasa punya harga diri tinggi jika mampu memamerkan sejumlah barang branded yang menurutnya bisa meningkatkan gengsi.
Jika merasa gengsinya telah terpenuhi, ia pun merasa puas. Konsekuensinya, ia harus up to date barang terbaru dan terus berbelanja untuk memperoleh barang-barang tersebut dan akan terus seperti itu selama pemikirannya tidak berubah.
Apalagi jika ia berada dalam circle pergaulan yang sama-sama materialis hedonis, maka semakin menjadilah hawa nafsu belanja dan pamernya.
Ia akan akan menghalalkan segala cara demi mencapai keinginannya termasuk menggunakan fitur paylater.
Bahagia Ada dalam Ketakwaan
Sebagai seorang Muslim sudah seharusnya mengaitkan setiap aktivitasnya dengan tujuan penciptaan hidupnya di dunia, yaitu dalam rangka beribadah kepada Allah Taala, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56,
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Oleh karena itu, setiap Muslim harus berupaya agar apa pun yang ia ucapkan dan lakukan setiap hari memiliki nilai ibadah di mata Allah SWT yang mampu mendatangkan ridha dan menjauhkan murka Allah SWT.
Terkait pengelolaan harta, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 132,
“Pengelolaan kepemilikan terikat dengan izin Asy-Syari‘, baik pengelolaan dalam pembelanjaan maupun pengelolaan dalam pengembangan kepemilikan. Dilarang berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan harta, dan kikir” (Muqaddimah ad-Dustur, 2/33).
Sementara itu, sikap konsumerisme adalah salah satu ide bobrok kapitalisme sekaligus jebakan untuk menjauhkan seorang Muslim dari sikap orang beriman yang seharusnya menyibukkan diri dengan kegiatan yang bernilai pahala, seperti giat menuntut ilmu, mengkaji Islam kemudian bergerak untuk ikut mendakwahkan.
Artinya, setiap Muslim wajib bergabung dan melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan Islam kaffah, bukan malah terjerumus pada perbuatan sia-sia dan menghambur-hamburkan uang demi memenuhi tuntutan keinginan yang kurang bermanfaat. Demikianlah gambaran kebahagiaan hidup yang hakiki, yaitu ada dalam ketakwaan, bukan bergelimangnya materi.
..."Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.." (QS. Al-Hujurat: 13).
Dan yang tak kalah penting adalah peran negara. Negara berkewajiban mengondisikan suasana takwa di tengah-tengah masyarakat sehingga aktivitas mereka sesuai dengan tuntunan syariat dan tidak gampang terjebak arus perilaku konsumerisme. Khilafah dengan tegas akan melarang keberadaan paylater karena terdapat unsur riba di dalamnya.
Islam mengharamkan riba apa pun bentuk dan modelnya, serta berapa pun jumlahnya sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 275,
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Khilafah akan membuka banyak lapangan kerja sehingga para suami dapat bekerja dan gaji yang layak dalam rangka memenuhi kewajiban nafkah keluarga. Sehingga mereka tidak harus mencari pekerjaan sampingan lagi sebagai tambahan sumber penghasilan atau berutang.
Pada saat yang sama melalui dukungan sistem ekonomi Islam, kebutuhan pokok publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan disediakan secara gratis oleh negara.
Tingkat kesejahteraan ekonomi yang layak tersebut akan menunjang berkurangnya angka kriminalitas dan memudahkan
umat untuk meninggalkan yang haram. Dengan begitu, rakyat tidak akan sempat berpikir untuk melakukan pelanggaran syariat, sebaliknya rakyat hanya sibuk dengan ketaatan serta menjalankan kewajiban amar makruf nahi mungkar di sekitar tempat tinggalnya.
Negara juga akan menutup rapat berbagai celah masuknya pemikiran asing, seperti sikap materialisme, hedonisme, konsumerisme serta seluruh turunan sekularisme lainnya di berbagai sarana dan media.
Negara akan mencegah munculnya berbagai aplikasi atau layanan digital yang bisa menjebak umat kepada keharaman. Jika sampai terjadi pelanggaran, maka negara pasti menerapkan sistem sanksi tegas dan mampu membuat jera pelakunya, serta membuat orang lain takut melakukannya.
Sungguh, hanya khilafah yang mampu menjaga akidah Islam dalam diri tiap individu rakyatnya, menjamin kesejahteraan rakyatnya, menutup semua celah kemaksiatan serta menerapkan syariat Islam kaffah. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar