Topswara.com -- Dalam beberapa waktu terakhir, PT Pertamina tengah menggulirkan rencana memperbarui Pertalite menjadi Pertamax Green 92. Namun, tak sedikit pihak yang mempertanyakan niat di balik pembaruan tersebut, terutama terkait motif ekonomi yang mungkin tersembunyi.
Seperti yang disampaikan, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM), Agung Wisnuwardana, menduga alasan di balik perubahan ini lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi daripada semata-mata alasan lingkungan yang diklaim dengan menggunakan jargon "green".
Hal ini makin menguatkan dugaan bahwa ekonomi global yang mengedepankan keuntungan materi mengarahkan kebijakan-kebijakan penting yang seharusnya lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sering kali menjadi korban dari kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi besar. Kasus oplosan Pertamax dan ketidaksesuaian takaran Minyakita yang telah beredar di pasaran mencerminkan kegagalan negara dalam mengawasi serta menindak tegas pelaku kecurangan dalam sektor energi dan pangan.
Lebih dari itu, situasi ini memperlihatkan negara kita, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan sosial dan ekonomi, justru seringkali hanya berfungsi sebagai fasilitator bagi kepentingan bisnis besar.
Sistem ekonomi kapitalisme dengan asas liberalismenya memang telah membuka lebar pintu bagi korporasi untuk menguasai sektor-sektor vital, mulai dari distribusi energi hingga pangan. Kapitalisme mengedepankan keuntungan finansial sebagai tujuan utama, dan sering kali mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Negara, dalam paradigma kapitalis ini, cenderung hanya bertindak sebagai regulator yang lebih mengutamakan kestabilan pasar dan kemudahan berbisnis bagi korporasi. Sayangnya, dalam proses ini, keberpihakan kepada rakyat dan keadilan sosial kerap terlupakan.
Dari sudut pandang Islam, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab negara sebagai pengurus umat. Dalam Islam, sistem ekonomi seharusnya bukan hanya berorientasi pada keuntungan segelintir pihak, tetapi juga harus mencakup kesejahteraan bersama.
Konsep maslahah (kemaslahatan) yang diutamakan dalam ekonomi Islam mengajarkan bahwa segala kebijakan dan tindakan ekonomi harus memberikan manfaat yang luas bagi seluruh umat, bukan hanya segelintir orang atau kelompok.
Islam juga menekankan pentingnya kejujuran dan transparansi dalam perdagangan. Kasus oplosan Pertamax dan ketidaksesuaian Minyakita adalah contoh nyata dari pelanggaran prinsip kejujuran dalam ekonomi.
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, disebutkan, "Penjual yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, shiddiqin, dan orang-orang yang salih" (HR Tirmidzi).
Jika negara membiarkan praktik kecurangan ini terus berlangsung tanpa sanksi yang tegas, maka keadilan yang menjadi prinsip utama dalam Islam akan semakin terabaikan.
Lebih jauh lagi, Islam mengajarkan negara memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur dan mengawasi aktivitas ekonomi agar tidak terjadi penindasan terhadap rakyat. Hal ini sejalan dengan prinsip amar makruf nahi mungkar (mendukung yang baik dan mencegah yang buruk), dan negara harus aktif dalam mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem yang tidak adil.
Dalam hal ini, negara harus berperan sebagai pengatur yang adil, yang melindungi kepentingan rakyat dan memastikan bahwa kebutuhan dasar seperti energi dan pangan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kedepan, sudah saatnya negara menilai kembali sistem ekonomi yang ada dan memperkuat pengawasan terhadap sektor-sektor penting yang menyentuh kehidupan rakyat banyak. Jangan sampai, demi keuntungan segelintir korporasi, rakyat kembali menjadi korban ketidakadilan ekonomi.
Islam sebagai agama yang mengajarkan keadilan dan kesejahteraan harus dijadikan landasan untuk menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga bermanfaat bagi seluruh umat.[]
Oleh: Jasmine Fahira Adelia
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
0 Komentar