Topswara.com -- Seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tega melakukan perbuatan keji mencabuli delapan pelajar yang menjadi anak didiknya. Aksi bejat guru olahraga ini diketahui telah berlangsung sejak korban berada di kelas 1 SD. Korban berjumlah delapan dengan usia 8-13 tahun.
Menurut Kasat Reskrim Polres Sikka, Iptu Djafar Alkatiri, tindakan pencabulan yang diduga dilakukan pelaku KK dengan cara memanggil dan memangku korban, mencium pipi dan bibir para korban, serta meraba payudara dan kemaluan saat jam pelajaran PJOK.
Para korban awalnya tidak berani melaporkan kejadian tersebut kepda kepala sekolah atau orang tua mereka, karena takut akan ancaman akan dikurangi nilai mata pelajaran PJOK yang diampuh pelaku (tirto.id, 6/3/2025).
Sungguh meresahkan, pendidik yang seharusnya mendidik dan melindungi anak didik saat mereka dititipkan orang tua nya di sekolah justru menjadi korban pelecehan seksual oleh gurunya.
Padahal, tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 473 ayat (1) dan (2) UU 1/2023, Pasal 285 KUHP, Pasal 289 KUHP, Pasal 414 sampai dengan Pasal 422, dan UU TPKS. Pasal 473 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 Setiap orang yang memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Sedangkan untuk pelecehan verbal, yaitu bentuk pelecehan yang melibatkan penggunaan kata-kata yang merendahkan, menghina, atau mengancam seseorang secara lisan menurut Pasal 5 UU TPKS dapat dipidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta.
Hukuman dapat ditingkatkan 1/3 jika pelecehan verbal dilakukan dalam lingkup keluarga, oleh tenaga kesehatan, pendidik, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat, terhadap anak, terhadap penyandang disabilitas, dan dalam beberapa situasi khusus lainnya.
Hanya saja banyak orang yang tidak memahami hal ini. Sehingga pelakunya dapat bebas dan mengulangi perbuatan nya lagi. Ditambah, tidak semua korban berani untuk bersuara ataupun bertindak tegas kepada para pelaku ataupun melapor kepada pihak yang berwenang lantaran mendapatkan ancaman dari si pelaku. Apalagi jika si korban masih berusia anak-anak.
Perilaku bejat tersebut tentu saja selain menimbulkan trauma bagi korban, juga bisa merusak masa depan anak. Korban menjadi merasa kurang aman dan nyaman saat berada di lingkungan sekolah dan menjadi tidak percaya diri.
Ruang publik yang seharusnya aman, namun faktanya justru menjadi tempat terjadinya tindakan pelecehan seksual bahkan bisa terjadi dilingkungan sekolah dasar tempat para siswa menimba ilmu dan pelakunya tak lain adalah guru mereka sendiri. Ada apa dengan pendidikan dinegeri ini?
Karena biasanya pelecehan merupakan indikasi bahwa pelaku merasa tidak memiliki kontrol atau kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga mereka mencoba untuk menguasai situasi atau orang lain yang ia anggap lemah.
Maraknya pelecehan juga dapat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan yang memperbolehkan atau bahkan mendorong perilaku tersebut. Selain itu, pelaku pelecehan mungkin tidak memahami atau tidak menyadari hak-hak perempuan dan pentingnya menghormati orang lain.
Semua itu dampak dari sistem pendidikan sekuler yang menganggap bahwa perempuan adalah objek seksual, bukan seorang wanita yang wajib dimuliakan kedudukannya seperti dalam ajaran Islam.
Pemahaman yang keliru tersebut juga menjadi penyebab banyak wanita diperlakukan dengan cara yang tidak hormat. Alhasil, banyak ditemukan bahwa perempuan seringkali mengalami pelecehan seksual di berbagai konteks, bukan saja hanya di sekolahan, kampus, tapi termasuk di tempat kerja dan di tempat umum.
Begitulah, dalam penerapan sistem sekuler kapitalisme, agama tidak dijadikan landasan berperilaku, namun lebih mengedepankan pemenuhan nafsu. Walaupun pemerintah sudah membuat aturan tindak pidana kekerasan seksual, namun upaya untuk pencegahannya belum optimal.
Karena mereka belum menyentuh akar persoalan. Jika akar persoalannya adalah sekularisme maka solusinya adalah negara Islam. Karena dengan Islam akan diatur upaya preventif maupun kuratifnya.
Upaya preventif yang dilakukan adalah membentuk ketakwaan individu dan memahami bahwa tujuan hidup adalah untuk meraih ridha Allah Swt. Negara juga menetapkan aturan berpakaian ketika keluar rumah, seperti tidak berhias berlebihan (tabarruj), tidak bercampur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat), dan memastikan area publik aman.
Negara akan menerapkan sistem pergaulan Islam di tengah masyarakat dan membatasi hubungan laki-laki dan perempuan di kehidupan umum hanya sebatas hubungan tolong-menolong atau kerjasama. Islam menjamin perlindungan setiap warga negaranya baik Muslim maupun non-Muslim.
Jika upaya preventif sudah dioptimalkan, namun pelecehan baik verbal ataupun fisik masih juga terjadi, maka negara akan memberikan sanksi tegas yang menjerakan kepada pelaku hingga masyarakat akan hidup tenang dan tenteram. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar