Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PHK Massal Bikin Ngeri: Kapitalisme Biang Keladi

Topswara.com -- PT Sritex pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara dinyatakan pailit, sehingga puluhan ribu pekerja terpaksa harus dirumahkan. Padahal sebelumnya, pemerintah menjanjikan agar tidak ada PHK pascaputusan pailit Sritex. Nyatanya, badai PHK massal pun terjadi.

PHK Massal Bikin Ngeri

Pabrik PT Sritex Group di Sukoharjo resmi berhenti beroperasi pada 1 Maret 2025 akibat kepailitan. Tak hanya di Sukoharjo, anak perusahaan lain dalam perusahan ini juga terdampak. Akibatnya, puluhan ribu pekerja terkena PHK. Dengan rincian pada Januari, sebanyak 1.065 karyawan PT Bitratex Semarang terkena PHK. 

Februari, sebanyak 8.504 karyawan PT Sritex Sukoharjo, 956 karyawan PT Primayuda Boyolali, 40 karyawan PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan 104 karyawan PT Bitratex Semarang juga terdampak (kompas.com, 04/03/2025).

Dalam kurun waktu setahun terakhir (2023-2024), sudah ada 8 pabrik 'raksasa' yang tutup di Jabar. Di antaranya pabrik ban PT Hung-A Indonesia yang beroperasi di Cikarang, Jawa Barat, pada awal Februari 2024 yang menyebabkan seluruh karyawan yang berjumlah sekitar 1.500 orang diberhentikan sejak 16 Januari 2024. 

Pada awal 2025, sejumlah perusahaan besar juga akan menyusul terjadinya PHK. Seperti PT Yamaha, pabrik yang berlokasi di Jakarta Timur akan ditutup secara bertahap. Penutupan tersebut diperkirakan berdampak pada sekitar 1.100 karyawan yang akan mengalami PHK. (idntimes.com, 03/03/2025).

Sungguh ngeri, PHK massal terjadi di negeri ini. Tak terbayangkan bagaimana nasib para pekerjanya dikemudian hari. Diantara mereka, yang sebelumnya hanya menggantungkan penghasilan dari perusahan kini terpaksa menganggur, padahal kebutuhan hidup harus terpenuhi. Mencari tempat kerja baru belum tentu mudah, selain sulitnya lowongan pekerjaan masalah usia juga menjadi kendala.

Kapitalisme Biang Keladi

Fenomena PHK massal menjadi indikasi bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dibangga-banggakan ternyata dalam kondisi rentan. Tengok saja PT Sritex perusahan tekstil terbesar yang sudah berusia 58 tahun pada akhirnya gulung tikar.  

Periset ekonomi Celios, Jaya Darmawan menjelaskan bahwa industri tekstil Indonesia memang tengah tertekan, lantaran terdampak penurunan ekspor untuk negara tujuan seperti AS. Disamping itu, ia juga menyoroti kebijakan pemerintah yang membuka keran impor dalam Permendag No. 8/2024 (bbc.com, 28/02/2025). 

Dari regulasi ini negara menjalin kerjasama ACFTA sehingga produk Cina membajiri pasar Indonesia. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkap bahwa sekitar 20.000 kontainer pakaian impor dari Cina telah membanjiri pasar lokal Indonesia. 

Tampak sekali kebijakan penguasa berpihak pada para kapital dan tidak mampu melindungi perusahaan dalam negeri. Hal ini mengonfirmasi kegagalan kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan di Indonesia. 

Dalam pandangan kapitalisme, penguasa hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator yang menguntungkan para kapital, sedangkan para pekerja dan rakyat menjadi korban. 

Pekerja dalam sistem kapitalisme dipandang sebagai bagian faktor produksi. Jika menguntungkan akan dipertahankan, namun jika tidak menguntungkan bisa kapan saja di PHK. 

Kondisi pekerja makin sulit dengan adanya mekanisme outsourching yang merupakan akal licik perusahaan untuk mendapatkan pekerja dengan biaya rumah. Selama sistem kapitalisme ini bercokol maka kondisi ekonomi negeri akan semakin ngeri.

Islam Punya Solusi

Persoalan PHK merupakan dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sangat berbeda jika yang diterapkan adalah sistem ekonomi Islam. Islam sangat memanusiakan manusia dengan apapun profesinya, termasuk sebagai pekerja pabrik. Mereka tidak dipandang sebagai faktor produksi dengan orientasi untung dan rugi, sehingga tidak mudah dilakukan PHK. 

Pekerja merupakan ajir dengan mendapatkan upah berdasarkan manfaat tenaga yang dicurahkan bukan berdasarkan biaya hidup (living cost) terendah. Karena penghasilan bekerja bukan menjadi satu-satunya tumpuhan finansial dalam memenuhi kebutuhan hidup. Negara memberikan jaminan kesejahteraan dengan penerapan ekomoni sesuai syariat Islam.

Dalam Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan mendasar (sandang, pangan dan papan) bagi tiap individu. Serta terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar kemampuan. Untuk memenuhi kebutuhan individual negara mewajibkan bagi laki-laki sebagai penanggung nafkah untuk bekerja. 

Negara berperan menyediakan lapangan pekerjaan dan melakukan kontrol terlaksananya kewajiban tersebut. Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan jama'ah atau masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan negara dan lain sebagainya. 

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, negara dalam sistem Islam memiliki pengaturan dalam masalah industri, sehingga industri yang dibangun tidak cepat tumbang yang berdampak pada PHK massal. Dalam kitab yang ditulis oleh Syaikh Atha Abu Ar-Rasythah tentang Politik Industrian dan Membangun Negara Industri dalam Pandangan Islam, negara harus berpijak pada dua hal, yakni kemandirian negara dan kebutuhan jihad. Dengan dua pijakan tersebut, negara tidak bergantung pada luar negeri dalam membangun industrinya. 

Adapun kebutuhan jihad, maka industri berat seperti mesin akan menjadi prioritas untuk dikembangkan. Dari sini akan lahir industri-industri pendukung lainnya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Industri yang dikembangkan ini akan menyerap banyak tenaga kerja sehingga produksi melimpah dan harga barang murah. Hal ini akan memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. 

Adapun potensi yang dapat menghancurkan industri dalam negeri seperti pasar bebas hari ini, maka Islam memandang bahwa pasar bebas bukan sekadar urusan perdagangan ekonomi luar negeri. Perdagangan luar negeri dalam sistem Islam masuk dalam urusan politik luar negeri. 

Negara Islam sangat selektif menjalin hubungan dengan luar negeri sesuai syariat Islam. Jangan sampai justru hubungan luar negeri itu dapat melemahkan bahkan menghancurkan negara sendiri. Dengan demikian, penguasa tidak serampangan membuat kebijakan. []


Oleh: Eni Imami, S.Si, S.Pd. 
(Pendidik dan Pegiat Literasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar