Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PHK Massal Adalah Problem Sistemis

Topswara.com -- PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex mengumumkan penghentian operasional kerja pabrik per tanggal 1 Maret 2025. Penghentian ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 10 ribu karyawannya. Praktis, pada tanggal 28 Februari 2025 menjadi hari terakhir para karyawan Sritex bekerja. 

Penyebab diambilnya opsi PHK adalah merujuk pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. PT Sritex menderita pailit. Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo infonya telah menyiapkan sekitar delapan ribu lowongan pekerjaan baru bagi para korban PHK PT Sritex. (cnbcindonesia,2/3/2025). 

Meski konon akan mendapatkan kompesansi atas PHK berupa pesangon dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun tetap keputusan penghentian pabrik disesalkan banyak pihak.

Mengapa harus pekerja yang selalu dikorbankan. Inilah setidaknya gambaran kekecewaan pemerhati kebijakan publik. Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) bahkan menyebut keputusan PHK ini sebagai tragedi ketenagakerjaan (economy.okezone.com,2/3/2025). 

Hal yang disayangkan oleh banyak kalangan adalah ketika sebelumnya pemerintah melalui Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) memastikan tidak akan ada pemutusan hubungan kerja atas ribuan buruh PT Sritex. 

Selain itu pemerintah juga menegaskan tentang akan adanya upaya penyelamatan nasib para buruh. PHK atas ribuan buruh PT Sritex juga dianggap sebagai pukulan mematikan bagi keberlangsungan hidup mereka mengingat hal ini terjadi di tengah bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya. Dalam suasana seperti ini tentu tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup dapat berkali lipat.

Gelombang PHK massal boleh jadi akan menimpa pada perusahaan lainnya. PT Sritex hanyalah satu diantara potensi PHK di bidang industri serupa yang bergerak di bidang garmen dan tekstil. Sektor industri padat karya semacam ini selayaknya mendapat perhatian besar dari pemerintah mengingat di dalamnya terdapat ribuan buruh yang harus diperhatikan dan dipenuhi kejehateraannya. 

Jika satu orang buruh, misalnya, merupakan kepala keluarga yang harus menghidupi anggota keluarganya lainnya tentu akan semakin berat beban ekonomi yang ditanggung. Apalagi jika berjumlah ribuan buruh. Konon, jumlah buruh PT Sritex yang tersebar di wilayah Semarang, Boyolali dan Sukoharjo berjumlah sekitar 50 orang, adapun yang terdampak dengan putusan pailit ada sekitar 15 ribu orang. Bukan jumlah yang sedikit.

PHK massal tak harus selalu menjadi solusi akhir. Masih ada opsi lainnya jika kesejahteraan pekerja menjadi acuannya. Akan tetapi, realitas PHK massal memang tidak bisa dipisahkan dari penerapan kebijakan negara yang kapitalistik condong pada kepentingan pemilik modal. 

Hal ini dapat kita lihat setidaknya pada kebijakan pemerintah untuk membuka keran impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. 

Alhasil, serbuan barang impor masuk seolah tanpa kendali, diantaranya adalah produk-produk tekstil Cina. Kebijakan impor berada di bawah payung ACFTA atau ASEAN-China Free Trade Area yakni kesepakatan antar negara-negara ASEAN dengan China dalam rangka membentuk kawasan perdagangan bebas. Diperparah lagi dengan adanya penerapan Undang-Undang Cipta Kerja yang berorientasi kepentingan korporasi.

Persoalan PHK massal adalah persoalan sistemik. Kondisi semacam ini akan senantiasa berlangsung selama arah kebijakan negeri masih berpijak pada sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme tegak di atas asas liberalisasi ekonomi yang jauh dari bahasan kesejahteraan rakyat. 

Sistem kapitalisme juga telah menjadikan negara sebatas sebagai regulator demi memenuhi kepentingan oligarki. Sistem ini melahirkan kendali penuh oleh korporasi kepada kebijakan negara, termasuk terkait pemenuhan hak-hak pekerja. Lapangan kerja yang tersedia tak mampu menyerap tenaga kerja secara maksimal karena adanya pembatasan yang diatur oleh undang-undang. 

Kalaupun telah bekerja maka tak ada jaminan pekerjaan itu akan selamanya mampu menghidupi kebutuhan pekerja sebab sewaktu-sewaktu potensi pemutusan hubungan kerja bisa saja terjadi. Ditambah lagi, negara berlepas tangan dalam tanggungjawabnya menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Berbeda halnya dengan syariat Islam. Sistem Islam akan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui kebijakan negara. Negara yang menerapkan sistem Islam akan menempatkan penguasa sebagai raa’in sebagaimana dalam hadis Nabi Saw yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). 

Kedudukan penguasa sebagai raa’in meniscayakan dirinya untuk bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rakyat, individu per individu, tidak sekadar pencitraan. Seorang khalifah juga tidak akan melahirkan kebijakan yang populis namun otoriter. 

Amanah mengurusi urusan rakyat akan tunduk di bawah perintah asy-Syari’, Allah Swt. Aktifitas bekerja juga tidak melulu harus menjadi buruh atau pekerja namun disesuaikan dengan kadar kemampuan individu, seperti dengan menghidupkan tanah mati, berburu, menjadi nelayan, dan lainnya. Dalam hal ini negara akan memfasilitasi.

Gelombang PHK massal jelas merugikan pekerja. Di sisi lain persoalan ini merupakan konsekuensi “wajar” dari penerapan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan korporasi. Maka para pemilik modal-lah yang sejatinya diuntungkan dengan penerapan aturan berbasis sistem kapitalisme. 

Jika kita sadari tidak akan mungkin tercipta kesejahteraan hakiki selama sistem kapitalisme masih bercokol dan diajadikan sandaran pengaturan kehidupan. Selayaknya kita beralih pada sistem yang shahih sebab bersumber langsung dari Pencipta, Allah Swt, yakni sistem Islam. Allahu’alam.


Oleh: Resti Yuslita, S.S.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar