Topswara.com -- Pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 dimana setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan [ayat 1].
Namun canangan program wajib belajar 9 tahun nyatanya sulit terwujud sebagaimana termaktub pada ayat 2, yaitu setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Kebijakan sistem pendidikan yang terus berganti, saat ini belum bisa memberikan jaminan atas pemerataan pendidikan anak bangsa sehingga wajib belajar dapat diterapkan secara merata.
Ketimpangan dalam dunia pendidikan jelas terasa, sekolah unggulan dan sekolah pinggiran, apalagi sekolah di pedesaan dan sekolah perkotaan. Sarana prasarana serta guru berkualitas tidak merata didapatkan.
Yang terbaru di tahun ini adalah Pemerintah kembali merombak sistem penerimaan siswa untuk tahun ajaran baru mendatang. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi bakal diganti dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026 untuk menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih transparan, objektif, akuntabilitas tinggi, serta lebih inklusif bagi semua calon siswa (tirto.id 1/2/10225).
Skema zonasi yang sedianya digulirkan untuk pemerataan kualitas pendidikan, namun menjadikan banyak anak yang terlempar dari sekolah negeri dan harus bersekolah di swasta yang tidak gratis dan mutunya belum tentu terjamin, karena posisi rumah yang tidak masuk di dalam wilayah zona sekolah negeri.
Skema domisili dalam SPMB yang menggantikan sistem zonasi, menjadi skema penerimaan berdasar domisili di wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, yang artinya mempertimbangkan kedekatan rumah calon murid dengan sekolah.
SPMB 2025 merupakan langkah yang patut diapresiasi, tetapi perubahan sistem pendidikan tidak bisa hanya berhenti pada pergantian nama atau perbaikan prosedural penerimaan siswa.
Agar SPMB tidak menjadi sekadar proyek simbolis, pemerintah seharusnya menyiapkan kebutuhan satuan pendidikan yang memadai dan berkualitas untuk mengakomodir seluruh siswa usia belajar, serta berkomitmen untuk memangkas kesenjangan pendidikan di seluruh Indonesia.
Sistem pendidikan kapitalistime hari ini yang meminimkan peran pemerintah sebagai regulator/fasilitator saja, di sisi lain mengedepankan peran swasta dalam tanggung jawab melayani kebutuhan pendidikan.
Minimnya anggaran negara untuk membiayai pendidikan berkorelasi dengan minimnya penyediaan sekolah negeri dan fasilitasnya, khususnya di jenjang SMA. Hal ini menjadikan pendidikan menjadi komoditas mahal dimana masyarakat terpaksa bersekolah di sekolah swasta yang umumnya berbiaya tinggi dibandingkan sekolah negeri.
Otonomi daerah juga membuat bias tanggung jawab antara pusat dan daerah dalam menyediakan sekolah-sekolah berkualitas secara merata.
Berbeda dengan penerapan pendidikan di era kejayaan islam. Di dalam buku yang berjudul Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, karya Abdurrahman al Baghdari menjelaskan gambaran sistem pendidikan di masa khilafah Islam. Di masa khilafah, negara tak hanya menjamin berlangsungnya pendidikan untuk seluruh tingkatan (tidak hanya SD dan SMP) namun hingga pendidikan tinggi.
Telah terfasilitasi di abad 11 M, sekolah tinggi Islam yang dilengkapi dengan diwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama pelajar/mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Sekolah-sekolah itu juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, ruang makan, dan taman rekreasi.
Madrasah al-Mustanshiriyah, misalnya, didirikan oleh Khalifah al-Mustanir pada tahun 1227 M. Sekolah ini memiliki auditorium dan perpustakaan yang dipenuhi oleh berbagai buku untuk keperluan belajar mengajar. Sekolah ini juga dilengkapi dengan pemandian dan rumah sakit. Islam pun menghargai jasa para pendidik.
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (dengan asumsi 1 gram emas seharga Rp 1.000.000, maka gaji mereka sebesar Rp 63.750.000).
Dengan perhatian yang luar biasa pada pendidikan, telah dihasilkan banyak pribadi-pribadi besar dan kemajuan ilmu. Armstrong (2002) menuliskan, “Muslim scholars made more scientific discoveries during this time than in the whole of previously recorded history.” hingga lahir banyak ilmuwan hebat seperti al-Khawarizmi (matematika), Ibnu al-Haitsam (Bapak Optik) dan Ibnu Sina (fisikawan/kedokteran)
Pendidikan gratis tetapi berkualitas dapat terwujud karena kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya.
Negara juga membangun infrastruktur dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeser pun biaya dipungut dari rakyat.
Hal ini bisa terwujud karena diterapkan sistem pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, serta pengelolaan negara dilakukan oleh pemimpin bertakwa yang sadar akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah dalam pengurusan rakyatnya.
"Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR. Al Bukhari).
Pendidikan merupakan perkara sangat vital, memiliki peran strategis serta biaya pelaksanaannya tidak dianggap sebagai beban namun investasi SDM unggul dan merupakan hak setiap warga negara.
Oleh karenanya, negara akan dengan segala daya upaya menyelenggarakan pendidikan yang terbaik yang merupakan modal utama tonggak kemajuan peradaban. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem yang kapitalistik, maka hanya akan terjadi tambal sulam tata kelola pendidikan sekuler.
Maka penerapan sistem pendidikan islam secara utuh adalah solusi hakiki untuk mencetak generasi emas harapan bangsa.
Wallhu alam bi shawab.
Oleh: Siti Muksodah
Aktivis Muslimah
0 Komentar