Topswara.com -- Hal yang dikhawatirkan umat Islam benar-benar terjadi. Israel mengingkari janjinya dan kembali menyerang Gaza. Serangan ini bahkan menjadi serangan paling brutal sejak 2023.
Di sepuluh hari terakhir Ramadan yang identik dengan kesibukan mencari baju lebaran dan mudik bagi sebagian besar kaum muslim di Indonesia, kesibukan berbeda dihadapi oleh saudara muslim di Palestina. Dikutip dari CNBC Indonesia (cnbcindonesia.com/19/03/25), berbagai rumah sakit di Gaza dipenuhi sesak oleh warga yang berlumuran darah dan meraung kesakitan.
Rumah Sakit Nasser di Khan Younis misalnya yang menjadi saksi bisu ratusan orang meraung kesakitan bersamaan dengan tagisan seorang gadis kecil yang berlumuran darah di bagian lengan.
Rumah sakit lain di Kota Gaza menunjukkan hal yang tidak jauh beda. Puluhan mayat kaum muslim terlihat berjejer di halaman dan menunggu untuk dimakamkan.
Hal ini terjadi karena serangan udara skala besar yang dilancarkan Israel pada Rabu (19/3/2025). Israel mengklaim bahwa ini dilakukan sebagai konsekuensi dari tidak patuhnya Hamas pada perintah Israel untuk membebaskan sander. Israel mengatakan, sekali lagi klaim sepihak, bahwa 58 tentara Israel masih ditahan oleh Hamas dengan 35 diantaranya telah tewas.
Hal inilah yang membuat Israel seolah tak punya pilihan lain selain memulai operasi darat di Jalur Gaza. Dari serangan ini, 330 warga Gaza dilaporkan tewas dengan mayoritas korban tewas merupakan wanita dan anak-anak. Yang terbaru, Pemimpin Hamas, Salah Al-Bardaweel, dilaporkan tewas akibat serangan Israel pada 23 Maret 2025 ketika beliau sedang salat bersama istrinya (cnbcindonesia.com/24/03/25).
Kondisi yang sangat memilukan ini seharusnya bisa dihindari bila tawaran gencata senjata tidak diterima 17 Januari 2025 lalu. Sejak awal, gencatan senjata ini sudah rapuh karena tidak ada klausul tertulis yang melarang kelompok Yahudi menyerang Hamas.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan menekankan bahwa gencatan senjata ini hanya sementara dan Yahudi berhak melanjutkan serangan di Gaza. Hal ini tentu saja menjadi red flag sejak awal yang bisa kita prediksi sejak awal.
Sayangnya, banyak kaum muslim yang kabur dalam melihat gencatan senjata ini. Mereka menganggap bahwa Palestina telah tersolusikan dengan gencatan senjata dan melepaskan pehatian mereka terhadap Palestina. Bahkan, tak sedikit kaum muslim yang merayakan gencatan senjata tersebut dengan membeli produk boikot yang telah lama dihindarinya.
Kaum muslim harusnya sadar bahwa berharap pada kepemimpinan sekuler adalah percuma dan mereka-lah yang harus bergerak untuk membebaskan saudara seakidah mereka di Palestina.
Umat Islam harus terus menerus menyuarakan bahwa solusi tuntas untuk masalah Palestina hanyalah dengan jihad fi sabilillah demi membela darah nyawa kaum muslim di Palestina.
Palestina juga butuh kehadiran khilafah sebagai kepemimpinan umum yang akan menjaga kaum muslim di seluruh dunia. Kedua hal ini menjadi hal mutlak yang perlu diwujudkan untuk membebaskan tanah palestina dan menjaga kemuliaan Islam dan para perngikutnya.
Rasulullah Saw. bersabda,
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.”
Keberadaan jihad dan khilafah telah terbukti mampu membebaskan Palestina (Baitul Maqdis) dari tangan Romawi pada 16 H, 637 M. Di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathab ra., pendudukan Romawi bisa dihilangkan dengan perdamaian sehingga pertumpahan darah bisa dihindari pada masa itu. Berkaca pada hal tersebut, umat Islam perlu menyadari bahwa kejayaan Islam hanya bisa diperoleh dengan jihad dan khilafah.
Oleh: Asih Senja
Aktivis Muslimah
0 Komentar