Topswara.com -- Belum sembuh luka yang beberapa waktu lalu sangat menyakitkan, ketika rakyat pengguna pertamax tahu bahwa yang mereka beli adalah pertamax dengan RON 90 bukan 92. Rakyat mengasumsikan pertamax adalah pertalite yang tidak antri. Baru-baru ini muncul temuan baru dari minyakita telah terjadi oplosan hingga takaran yang isinya tidak sesuai dengan yang tertera di kemasan.
Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf menyampaikan, “Setelah dilakukan pengukuran terhadap tiga merek MinyaKita yang diproduksi oleh tiga produsen berbeda dan ditemukan ukuran yang tidak sesuai dengan yang tercantum di dalam label kemasan. Hasil pengukuran sementara dalam label tercantum 1 liter, tetapi ternyata hanya berisikan 700-900 mililiter”. (tirto.id/9-3-2025)
Dari dua kasus ini menunjukkan gagalnya negara mengatasi kecurangan para korporat (perusahaan) yang hanya berorientasi pada keuntungan. Padahal sasaran bisnis para kapital adalah rakyat, dan hampir semua distribusi kebutuhan rakyat ada di tangan korporasi.
Negara bak pembuat regulasi saja untuk melancarkan sepak terjang para korporat, hadirnya negara hanya untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi mereka. Sungguh ironi hidup di negeri ini dimana rakyat tidak menjadi fokus perhatian negara.
Jika pun terjadi kecurangan atau kezaliman yang dilakukan, negara tidak dapat memberikan sanksi yang menjerakan mereka (para kapitalis).
Dengan dalih membuka peluang investasi dan untuk memudahkan kebutuhan rakyat, negara menyediakan karpet merah bagi para korporat untuk menguasai rantai distribusi kebutuhan rakyat termasuk distribusi pangan dari hulu ke hilir.
Paradigma kapitalisme menjadikan negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan umat. Aturan seperti ini sejalan dengan konsep sistem kapitalisme dimana pemegang kekuasaan adalah dia yang memiliki modal besar, atau bisa juga melalui pemimpin negara yang memberikan hak penuh pada para pemilik modal agar bisnisnya berjalan lancar.
Setiap pebisnis pasti memiliki tujuan untung, dia akan terus mencari cara untuk tetap untung maka wajar jika pengawasan lengah mereka dengan mudah menempuh jalan yang salah salah satunya dengan kecurangan. Negara berlepas diri dan lengah dalam kontrol. Negeri ini telah mengadopsi asas kapitalisme dimana para pemodal lah yang bisa bebas berkuasa.
Padahal justru sumber permasalahan yang menjadikan kecurangan semacam ini terus bermunculan adalah penerapan sistem kapitalisme dengan kebebasan kepemilikannya. Tentunya semua kecurangan dan kezaliman ini tidak akan terjadi jika yang diadopsi adalah yang bersumber dari Islam.
Islam tidak hanya agama yang mengatur urusan ibadah ritual saja, dengan keluasan ilmuNya Allah sudah menyiapkan seperangkat aturan untuk makhlukNya tidak hanya dalam urusan ibadah namun untuk seluruh aspek kehidupan.
Dalam urusan hajat hidup rakyat syariat Islam menetapkan bahwa Pemimpin Negara yang memikul tanggung jawab untuk periayahan (penjagaan dan pengurus). Cara pandang atau paradigmanya adalah pemimpin sebagai pelayan rakyat.
Maka tidak diperbolehkan seorang pemimpin menyerahkan urusan ini kepada individu lain ataupun kepada korporat. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pokok (pangan) jelas ini menjadi tanggung jawab pemimpin negara dengan menerapkan mekanisme sesuai syariat dari mulai produksi sampai distribusi.
Selain menjaga pasokan produk kebutuhan rakyat, seperti minyakita, negara wajib mengawasi rantai distribusinya sampai ke tangan rakyat. Menghilangkan segala penyebab distorsi pasar yang mengarah pada kecurangan yang menzalimi rakyat.
Negara akan menugaskan dan menempatkan qadhi hisbah di setiap pasar untuk melakukan inspeksi. Jika ditemui ada kecurangan seperti kasus minyakita yang tidak sesuai timbangan, negara akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku kecurangan.
Bahkan pelaku bisa dilarang melakukan usaha produksi hingga perdagangan dan tentunya akan tetap ada sanksi yang berlaku. Juga tidak akan ditemui tujuan negara dalam periayahan terhadap rakyat untuk mencari keuntungan.
Wallahua’lam.
Oleh: Nugraha Andani
Aktivis Muslimah
0 Komentar