Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korupsi Merajalela: Bukti Gagalnya Kapitalisme dan Demokrasi dalam Mewujudkan Keadilan

Topswara.com -- Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi yang merugikan negara. Dalam forum internasional World Governments Summit 2025, ia menyatakan bahwa tingkat korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan menjadi akar kemunduran di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan penelitian. 

Prabowo berjanji akan menggunakan seluruh wewenang konstitusional untuk mengatasi masalah ini. Ia juga meyakini bahwa mayoritas rakyat Indonesia mendukung upayanya dalam memberantas korupsi, karena masyarakat merasakan dampaknya setiap hari. (kumparanNews/ 13/02/2025).

Korupsi yang merajalela di berbagai negara, termasuk Indonesia, menjadi bukti nyata bahwa sistem kapitalisme dan demokrasi gagal mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dalam sistem kapitalisme, kekuatan ekonomi dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki modal besar. 

Mereka tidak hanya mengendalikan sektor bisnis tetapi juga memiliki pengaruh kuat dalam politik, yang pada akhirnya menciptakan oligarki. Politik demokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih justru sering dikendalikan oleh kepentingan korporasi dan individu yang mencari keuntungan pribadi.

Demokrasi yang berbasis pada pemilihan umum sering kali melahirkan pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya daripada kesejahteraan rakyat. Proses politik yang mahal membuka peluang besar bagi praktik korupsi, mulai dari jual beli suara hingga politik balas budi kepada para penyokong dana kampanye. 

Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada pemilik modal, sementara rakyat kecil terus menjadi korban ketidakadilan.

Sistem kapitalisme juga mendorong gaya hidup konsumtif dan materialistis, yang membuat banyak pejabat tergoda untuk menyalahgunakan jabatan mereka demi memperkaya diri. Hukuman terhadap koruptor sering kali tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan, menciptakan impunitas yang semakin memperburuk kondisi.

Korupsi di Indonesia diakui sangat mengkhawatirkan. Mirisnya, pernyataan untuk menghapus korupsi tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari pembentukan lembaga antikorupsi, peningkatan transparansi, hingga penegakan hukum yang lebih ketat. 

Namun, praktik korupsi masih marak terjadi di berbagai sektor, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah. Salah satu faktor penyebabnya adalah lemahnya pengawasan serta masih adanya celah dalam sistem birokrasi yang memungkinkan praktik suap dan penyalahgunaan wewenang. 

Selain itu, kurangnya kesadaran dan integritas di kalangan pejabat serta masyarakat turut memperparah kondisi ini.

Sekularisme yang lahir dari sistem ini telah membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik pada berbagai bidang dan level jabatan, serta di kalangan para pemilik modal yang mendapat proyek dari negara. 

Ketika nilai-nilai moral dan etika agama dikesampingkan dalam kehidupan bernegara, orientasi terhadap kekuasaan dan keuntungan pribadi semakin mendominasi. 

Akibatnya, banyak pejabat dan pengusaha yang memanfaatkan celah hukum demi memperkaya diri sendiri atau kelompoknya, tanpa memikirkan dampak buruk bagi masyarakat. 

Sistem yang cenderung materialistis ini juga menciptakan budaya transaksional, di mana kepentingan pribadi dan politik lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. 

Pemimpin, pejabat, dan wakil rakyat sering kali membuat aturan yang justru semakin menguntungkan pemilik modal. Hal ini terjadi karena adanya hubungan erat antara dunia politik dan bisnis, di mana kepentingan ekonomi sering kali lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat. 

Banyak regulasi yang dibuat dengan dalih mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya lebih banyak memberikan keleluasaan bagi para pemilik modal untuk menguasai sumber daya dan proyek-proyek strategis. 

Akibatnya, kesenjangan sosial semakin lebar, dan masyarakat kecil semakin sulit mendapatkan akses terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. 

Jika praktik ini terus berlanjut tanpa pengawasan yang ketat dan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, maka demokrasi hanya akan menjadi alat bagi segelintir orang untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka, sementara rakyat tetap menjadi pihak yang dirugikan.

Akhirnya, negara menjadi lemah di hadapan oligarki, dan rakyat pun menjadi korban. Kekuasaan yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik justru dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. 

Oligarki ini mengendalikan kebijakan negara sesuai dengan kepentingan mereka, mulai dari peraturan ekonomi, kebijakan sumber daya alam, hingga regulasi ketenagakerjaan, yang sering kali merugikan masyarakat kecil. 

Rakyat hanya menjadi objek eksploitasi, baik melalui pajak, harga kebutuhan pokok yang melambung, maupun sulitnya akses terhadap layanan publik. Ketimpangan sosial semakin meningkat, sementara aspirasi rakyat semakin sulit didengar karena sistem politik dan hukum lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan finansial. 

Jika kondisi ini terus dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi ilusi, dan keadilan sosial akan semakin jauh dari kenyataan. 

Sistem Islam Menutup Celah Korupsi

Penerapan Sistem Islam menutup rapat-rapat celah korupsi, bahkan kemungkinan korupsi menjadi nol. Hal ini terjadi karena dalam sistem Islam, pemerintahan didasarkan pada prinsip keadilan, transparansi, dan ketakwaan individu kepada Allah. 

Setiap pemimpin dipilih berdasarkan amanah, bukan kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat. 

Selain itu, sistem hukum Islam memiliki aturan yang tegas terhadap korupsi, dengan hukuman yang memberikan efek jera bagi para pelaku. Pengawasan yang ketat, baik dari negara maupun masyarakat, juga menjadi faktor utama dalam mencegah praktik korupsi. 

Negara juga memiliki sistem pendidikan yang membentuk generasi dengan syakhsiyah Islamiyyah, yaitu kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. 

Pendidikan moral dan spiritual terus ditanamkan agar setiap individu memiliki integritas tinggi dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, dalam sistem Islam, korupsi bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai dosa besar yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat, sehingga para pemimpin dan pejabat lebih berhati-hati dalam menjalankan amanah mereka.

Pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membentuk karakter yang bertakwa, jujur, dan bertanggung jawab. Sejak dini, generasi muda diajarkan untuk memahami bahwa amanah adalah tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan penuh kejujuran dan keikhlasan. 

Dengan adanya kontrol masyarakat yang berlandaskan amar makruf nahi mungkar, setiap individu dalam masyarakat saling mengingatkan dan mencegah terjadinya penyimpangan, termasuk korupsi. 

Penerapan Islam secara kaffah oleh negara memastikan bahwa seluruh aspek kehidupan—baik hukum, ekonomi, maupun pemerintahan—dijalankan sesuai dengan syariat. 

Dengan sistem yang berbasis keimanan dan ketakwaan ini, celah-celah korupsi dapat tertutup rapat, bahkan perilaku koruptif dapat diberantas hingga ke akar-akarnya, menciptakan negara yang bersih, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan umat. 

Wallahua'lam bishawab.


Oleh: Retno Indrawati, S.Pd
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar