Topswara.com -- Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus operandi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Kasus tersebut menyebabkan negara merugi hingga Rp193,7 triliun, bahkan berdasarkan perhitungan awal, kerugian akibat dugaan korupsi ini bisa mencapai Rp968,5 triliun (beritasatu.com, 04/03/2025).
Kasus ini membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok dan maraknya pemutusan hubungan kerja, rakyat kembali harus menelan pil pahit akibat pengkhianatan para penguasa.
Korupsi dengan nominal fantastis seperti ini tentu tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari hubungan mesra antara penguasa dan pengusaha dalam sistem kapitalisme.
Kapitalisme, Biang Kerok Korupsi Sistemis
Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan penguasa hanya bertindak sebagai fasilitator dan regulator antara rakyat dan pengusaha. Proyek sumber daya alam yang seharusnya dikelola langsung oleh negara untuk kepentingan rakyat justru diserahkan kepada swasta, bahkan asing, demi keuntungan segelintir elite.
Akibatnya, keberkahan sumber daya alam bukan dinikmati oleh rakyat, melainkan menjadi ajang bancakan para pemilik modal.
Kebijakan liberalisasi yang membuka ruang bagi swasta untuk mengelola sumber daya alam semakin memperparah kondisi. Negara justru berlindung di balik dalih bahwa sumber daya manusia di Indonesia tidak cukup kompeten untuk mengelola kekayaan alam sendiri.
Sebuah narasi kebohongan yang terus diulang agar rakyat percaya dan tetap tunduk dalam genggaman oligarki.
Pendidikan dalam Kapitalisme: Mencetak Buruh, Bukan Ilmuwan
Sistem pendidikan dalam kapitalisme dibangun atas asas manfaat semata, bukan untuk mencetak generasi unggul yang berdaya guna dan berkarakter kuat. Berganti-gantinya kurikulum yang tidak jelas arah semakin menambah runyam pendidikan kita hari ini.
Peserta didik hanya dijejali ilmu dan keterampilan pada level buruh, bukan sebagai peneliti atau penemu yang mampu membawa perubahan bagi bangsa.
Jika pun ada anak negeri yang memiliki kapasitas untuk menjadi ilmuwan atau inovator, mereka tidak mendapatkan dukungan penuh dari negara. Padahal, kemajuan sebuah negara sangat bergantung pada sejauh mana pendidikan mampu mencetak generasi yang berkontribusi pada perkembangan ilmu dan teknologi.
Namun dalam sistem kapitalisme, tujuan utama pendidikan hanyalah memenuhi kebutuhan pasar kerja, bukan membangun peradaban unggul.
Akibatnya, banyak individu yang terjebak dalam pola pikir materialistis. Tidak ada empati dalam diri mereka, karena sejak awal tidak dibangun dengan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai ketakwaan. Maka, tak heran jika mereka tidak segan-segan merampas hak rakyat demi kepentingan pribadi.
Islam Kaffah, Solusi Tuntas
Kasus korupsi yang terus berulang di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan hanya dengan seruan dan penyuluhan gerakan antikorupsi semata. Masalah ini harus diselesaikan secara sistemis, mulai dari individu, masyarakat, hingga negara.
Pertama, individu harus dibangun dengan ketakwaan kepada Allah agar memiliki rasa takut untuk berbuat zalim dan mengambil hak orang lain secara batil.
Kedua, masyarakat harus aktif dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar, sehingga segala bentuk kezaliman dapat dicegah sejak dini.
Ketiga, negara harus menjalankan perannya sebagai institusi penegakan hukum yang adil dan tegas, menjadikan syariat Islam sebagai pemutus atas segala perkara tanpa pandang bulu.
Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Dengan sistem Islam, sumber daya alam akan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, pendidikan akan mencetak generasi yang cerdas dan bertakwa.
Serta hukum akan ditegakkan dengan keadilan tanpa tebang pilih. Inilah solusi hakiki untuk memberantas korupsi dan membawa negeri ini menuju keberkahan dan kesejahteraan yang sesungguhnya. []
Maziyahtul Hikmah. S.Si.
Aktivis Muslimah
0 Komentar