Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketimpangan Ekonomi, Apakah Ada Solusi?

Topswara.com -- Indonesia, negeri Zamrud Katulistiwa yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari perkebunan, pertanian, hutan, laut maupun hasil tambangnya. Dari kekayaan tersebut, semestinya rakyat Indonesia memiliki penghidupan yang layak, makmur dan sejahtera. 

Namun, fakta di lapangan berkata sebaliknya. Banyak warga miskin yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Seperti yang ada di Serang, sekitar 11.549 jiwa warganya masuk dalam kategori miskin ekstrem dengan beberapa indikator, salah satunya memiliki penghasilan di bawah Rp400.000 per bulan. 

Sedangkan, sebanyak 202.406 jiwa lainnya tergolong sebagai warga fakir miskin, dengan penghasilan di bawah dari Rp600.000 per bulan. Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Serang M Ibra Gholibi menjelaskan, terdapat banyak faktor yang menjadikan masyarakat masuk dalam kategori miskin, baik ekstrem maupun fakir miskin. 

Namun, penyebab yang jelas adalah tidak adanya penghasilan pasti karena rata-rata dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga menjadi pekerja serabutan dengan pengharapan cukup untuk sekadar makan (kabarbanten.pikiran-rakyat, 25/03/2025).

Di sisi lain, laman resmi Forbes, melansir peringkat orang terkaya di Indonesia pada akhir Maret 2025, dengan Low Tuck Kwong di peringkat pertama. Pendiri perusahaan tambang batu bara PT Bayan Resources ini memiliki kekayaan 26,5 miliar dollar AS atau setara Rp 439 triliun per Sabtu (1/3/2025), dan 27,3 miliar dollar AS atau setara Rp 452 triliun per Senin (24/3/2025) (Kompas.com, 25/03/2025).

Kondisi ini mencerminkan realitas ketimpangan ekonomi yang sangat ekstrim. Lalu, adakah solusi untuk mengatasi ketimpangan yang terus terjadi ini?

Kapitalisme dan Ketimpangan Ekonomi

Rakyat Indonesia memiliki harapan, dengan bergantinya Pemimpin/Presiden, akan dapat memperbaiki kualitas hidup mereka. Nyatanya, bagaikan pungguk merindukan bulan, hal itu tidak mampu menyelesaikan kemiskinan yang ada; ketimpangan pun terus terjadi. 

Ketimpangan ekonomi merupakan konsekuensi alami dari sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme yang berprinsip liberal memungkinkan pasar berjalan tanpa banyak campur tangan, sehingga individu bebas bersaing dalam ekonomi.
Kebebasan kepemilikan dalam sistem ini menjadikan sebagian kecil manusia dianggap sah merenggut hak sebagian besar manusia lainnya. 

Sumber daya alam yang semestinya menjadi milik umum dan dipergunakan untuk rakyat, dapat dimiliki oleh individu. Tambang batu bara, minyak bumi, gas alam dsb bisa dimiliki oleh siapa saja yang punya kapital besar. Keuntungan yang didapat pun dinikmati mereka saja.

Hal ini mengakibatkan kelompok kecil yang memiliki modal besar mampu menguasai perekonomian, sementara sebagian besar masyarakat yang kurang memiliki modal harus berjuang dalam persaingan yang tidak seimbang.

Kapitalisme hanya berfokus pada produksi, tetapi tidak dengan distribusinya. Kapitalisme menyerahkan distribusi sepenuhnya pada pasar, sedangkan negara tidak berperan apa pun, kecuali sebatas regulator. 

Inilah yang menjadikan kapitalisme gagal menyejahterakan rakyat karena yang mampu mengakses fasilitas kehidupan hanyalah yang memiliki uang.
Kapitalisme akan terus menambah jumlah orang miskin dan meminimalkan jumlah orang kaya. 

Kekayaan orang kaya yang sedikit itu akan terus bertambah tinggi, sebaliknya, masyarakat miskin akan makin bertambah banyak dengan jumlah kekayaan yang makin menipis. Inilah aturan main sistem ini. Oleh karenanya, berharap sejahtera dalam sistem kapitalisme bagaikan mimpi di siang bolong.

Selama sistem kapitalisme masih diterapkan, ketimpangan akan tetap ada. Bantuan sosial dan subsidi dari pemerintah hanya bersifat sementara serta tidak merata. Dana yang diberikan pun sering kali tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup masyarakat miskin.

Islam Sebagai Solusi

Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui penerapan aturan yang adil dan menyeluruh. Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Al-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam).

Setiap individu diperbolehkan mencari kekayaan secara maksimal, tetapi dengan cara yang sesuai dengan aturan Islam. Sumber daya yang termasuk kepemilikan umum, seperti tambang migas dan nonmigas dengan cadangan besar, sungai, laut, dan hutan, tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, baik lokal maupun asing. 

Sumber daya ini harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Islam juga melarang praktik monopoli, sebagaimana ditegaskan oleh Umar bin Khattab yang menyatakan bahwa monopoli tidak boleh terjadi di pasar-pasar umat Islam. 

Beliau memperkenalkan kebijakan pengawasan pasar untuk mencegah praktek monopoli, oligopoli, dan penimbunan barang yang merugikan masyarakat (shariaknowledgecentre.id, 18/11/2024).

Imam Al-Kassany pun berpendapat bahwa monopoli merupakan bentuk ketidakadilan karena dapat menghambat akses masyarakat terhadap barang yang mereka butuhkan.

Dengan sistem kepemilikan yang adil dan pengelolaan kekayaan oleh negara, distribusi ekonomi dapat lebih merata. Jika masih ada masyarakat yang miskin karena alasan tertentu.

Seperti kondisi fisik atau mental yang lemah, negara wajib menjamin kebutuhan dasar mereka, termasuk sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jaminan ini bersifat berkelanjutan hingga mereka mampu hidup mandiri. 

Wallahu a’lam.


Oleh: Noor Hidayah 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar