Topswara.com -- Tiap musim penghujan, banjir jadi langganan mendatangi negeri ini. Berbagai daerah di Indonesia tak luput dari terjangan banjir. Bahkan daerah yang berada di sekitar kawasan hutan juga terkena sasaran banjir.
Salah satu daerah di Indonesia yang mengalami banjir yang sangat parah adalah wilayah Jabodetabek. Banjar melanda wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang sejak 3 Maret 2025 malam. Dan ujung-ujungnya penguasa selalu menanggapi bahwa banjir disebabkan curah hujan tinggi.
Banjir masih saja terulang. Benarkah karena curah hujan yang tinggi? Ataukah ada penyebab lain? Melihat persoalan banjir yang selalu hadir di musim penghujan sudah seharusnya perlu mencari penyebabnya dari akar persoalan terjadinya banjir. Karena tidak sekadar penyelesaian teknis seperti bagaimana menanggulangi banjir tetapi juga penyelesaian sistem yang mengarah pada bagaimana mencegah banjir.
Menurut Yus Budiono (peneliti ahli madya dari pusat riset limnologi dan sumber daya air BRIN) menyampaikan ada empat faktor banjir di wilayah Jabodetabek, yakni penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem. Dan penyebab utama meningkatnya resiko banjir di wilayah ini adalah penurunan muka tanah, dan perubahan tata guna lahan (tribunjabar.co.id, 9/3/2025).
Indonesia kaya akan hutan. Namun itu tak menjamin aman dari terjangan banjir. Ketika hutan tidak lagi dijaga kelestariannya maka harus bersiap diri menghadapi bencana alam yaitu banjir. Hutan diubah menjadi lahan pertanian yang notabene ditanami tanaman yang tidak bisa menampung debit air yang tinggi.
Maka tidaklah heran, hutan tak lagi berfungsi sebagai pencegah banjir dan longsor. Sehingga ketika musim penghujan, air dengan mudahnya turun ke wilayah dataran rendah dan meluap menyerang kawasan penduduk.
Begitu pula kawasan hijau atau Ruang terbuka hijau (RTH) yang berada di kota diubah menjadi kawasan yang tidak lagi berfungsi menyerap air hujan. RTH semakin menyusut mengubah wajah negeri ini menjadi kota beton. Kawasan hijau ini diubah menjadi kawasan industri, perumahan, tempat wisata dan pusat perbelanjaan.
Gedung-gedung pencakar langit menggantikan hutan-hutan kota menyebabkan datangnya banjir. Tata kota tidak lagi memperhatikan dampak buruk lingkungan. Dikarenakan yang dicari hanya keuntungan. Kota pun disulap hanya sebagai pusat bisnis mengeruk keuntungan saja.
Pembangunan harus memiliki paradigma yang tepat sehingga tak hanya memudahkan kehidupan manusia, namun juga menjaga kelestarian alam. Namun sayangnya konsep pembangunan yang berlaku di negeri kita ini merupakan bagian dari kebijakan berparadigma kapitalistik yang menomorsatukan keuntungan semata.
Sehingga menghantarkan pada konsep pembangunan yang abai pada kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia.
Konsep pembangunan yang abai pada kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia inilah yang sebenarnya menjadi biang kerok terjadinya banjir. Bahkan, ketika banjir sudah terjadi, mitigasi korban banjir pun kurang optimal sehingga bertambahlah penderitaan korban banjir.
Tentunya berbeda jika negeri ini menerapkan sistem kehidupan Islam. Sistem kehidupan yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, sistem ini mampu menyelesaikan setiap persoalan hidup.
Dalam sistem Islam, penyelesaian banjir harus dilakukan secara sistematis, yakni dengan menerapkan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan.
Negara dijadikan Allah sebagai pengatur bumi sesuai aturan Islam sehingga manusia tidak boleh merusak bumi.
Sebagaimana firman Allah SWT, "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik” (QS. Al-A’raf: 56).
Negara melakukan mitigasi sebagai pencegahan datangnya banjir dan ketika banjir sudah datang. Dalam sistem Islam, negara melakukan pembangunan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Negara tidak memperbolehkan mengubah kawasan hijau menjadi pemukiman, pusat perbelanjaan, dan lain-lain.
Negara juga mempersiapkan segala yang dibutuhkan apabila terkena banjir. Negara melakukan pencegahan agar tidak terjadi banjir. Seperti, melakukan pengawasan terhadap keoptimalan fungsi bendungan, sungai, saluran air, dan sarana lain yang merupakan jalur lewatnya air.
Sehingga negara sudah mengantisipasi bila terjadi banjir. Negara segera mengevakuasi warga. Negara sebagai rai'in, pelindung masyarakat maka rakyat bisa hidup sejahtera. []
Oleh: Alfiana Prima Rahardjo, S.P.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar