Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Gelap, Saatnya Mencari Solusi Hakiki

Topswara.com -- Tagar #IndonesiaGelap dan #PeringatanDarurat dengan latar hitam ramai digunakan di media sosial, mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kondisi negara saat ini. Analisis Drone Emprit menunjukkan bahwa tagar ini muncul secara organik, menandakan reaksi spontan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

Beberapa isu yang menjadi perhatian utama adalah kenaikan harga LPG 3 kg, reformasi Polri, efektivitas program Makan Siang Bergizi (MBG), pemangkasan anggaran pendidikan dan sosial, serta sulitnya akses terhadap layanan kesehatan dan lapangan kerja. 

Berbagai kebijakan ini akhirnya memicu aksi demonstrasi mahasiswa di lebih dari 10 wilayah, termasuk Universitas Indonesia (UI), Universitas Tulang Bawang (UTB) Lampung, dan Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari (UNISKA) (Tirto.id, 18/02/2025).

Aksi mahasiswa ini adalah sebuah kemajuan. Kesadaran mereka bahwa situasi negara tidak sedang baik-baik saja menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap masa depan bangsa. Mereka tidak lagi tinggal diam menghadapi kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat. Tuntutan mereka kepada pemerintah pun sangat jelas:

Evaluasi program Makan Siang Bergizi (MBG) agar benar-benar tepat sasaran dan bukan sekadar alat politik.
Transparansi anggaran pendidikan agar tidak ada lagi pemangkasan yang menghambat akses terhadap ilmu.
Reformasi sektor energi dengan menstabilkan harga LPG 3 kg yang semakin membebani masyarakat kecil.

Kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil agar lulusan perguruan tinggi tidak menghadapi pengangguran yang makin meningkat. Peningkatan layanan kesehatan gratis untuk memastikan rakyat mendapatkan hak kesehatan yang layak.

Namun, meskipun tuntutan ini penting, ada pertanyaan lebih mendasar: mengapa kebijakan yang merugikan rakyat terus terjadi? Apakah hanya karena kesalahan individu pemimpin, atau ada sistem yang memang memungkinkan kebijakan seperti ini terus berulang? 

Jika kita melihat lebih dalam, akar permasalahannya bukan sekadar pada kebijakan tertentu, tetapi pada sistem yang melahirkan kebijakan tersebut: demokrasi.

Demokrasi sering diklaim sebagai sistem terbaik karena memberikan kebebasan berpendapat dan hak memilih pemimpin. Namun, realitasnya, demokrasi juga membuka peluang besar bagi praktik politik transaksional, di mana kebijakan lebih banyak berpihak kepada pemodal dan elite penguasa daripada kepada rakyat.

Dalam demokrasi, aturan dibuat oleh manusia, yang sejatinya memiliki keterbatasan dan kepentingan pribadi. Akibatnya, lahirlah kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, bukan kepentingan umum. Para pemimpin yang terpilih pun cenderung bekerja untuk menjaga kekuasaan mereka, bukan untuk benar-benar menyejahterakan rakyat.

Misalnya, dalam kebijakan ekonomi, banyak sumber daya alam Indonesia yang justru dikelola oleh korporasi asing, bukan oleh negara untuk kepentingan rakyat. Dalam sektor pendidikan, biaya pendidikan terus naik, sementara bantuan sosial malah dipangkas. Dalam bidang kesehatan, layanan kesehatan gratis masih sulit diakses oleh sebagian besar rakyat kecil.

Dengan kondisi ini, wajar jika mahasiswa turun ke jalan. Mereka melihat bahwa demokrasi yang selama ini dijalankan tidak benar-benar memberikan keadilan. Namun, jika solusi yang mereka harapkan masih dalam kerangka demokrasi, maka mereka hanya akan kembali pada lingkaran masalah yang sama.

Sejarah menunjukkan bahwa Islam pernah diterapkan sebagai sistem kehidupan dalam pemerintahan, dan hasilnya luar biasa. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, misalnya, Khalifah Harun al-Rasyid mendirikan Baitul Hikmah, pusat ilmu pengetahuan yang memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat. 

Dalam bidang kesehatan, rumah sakit Bimaristan di Baghdad melayani rakyat tanpa biaya, jauh sebelum konsep rumah sakit modern berkembang di dunia Barat.

Dalam sistem ekonomi Islam, negara mengelola sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pemodal. Pajak hanya dipungut dalam kondisi tertentu dan hanya dari orang kaya, sehingga rakyat kecil tidak terbebani. 

Jika sistem Islam diterapkan, maka kesejahteraan bukan hanya sekadar janji kosong. Aturan yang diterapkan bukan berasal dari manusia yang penuh keterbatasan, tetapi dari wahyu Allah yang Mahaadil.

Oleh karena itu, pemuda, khususnya mahasiswa, harus memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang hakiki. Bergabung dengan gerakan dakwah ideologis yang mengoreksi penguasa dengan amar makruf nahi mungkar adalah langkah nyata untuk membawa perubahan.

Sebagaimana firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4]: 59).

Jika kita masih terus berharap pada demokrasi, maka kita hanya akan terjebak dalam lingkaran kebohongan yang sama. Mari bersama-sama memperjuangkan Islam sebagai sistem kehidupan demi terwujudnya kesejahteraan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahualam bissawab.


Oleh: Indri Nur Adha, A.Md.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar