Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gerebek Pajak, Rakyat Terus Dipalak

Topswara.com -- Dilansir dari Ayobandung.com, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bandung resmi meluncurkan program "Gerebek Pajak" di Soreang, Kamis (27/2/2025). Kepala Bapenda Kabupaten Bandung Akhmad Djohana mengatakan bahwa program tersebut merupakan salah satu ikhtiar untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) terutama dari sektor pajak.

Menurut Akhmad Djohana, langkah tersebut diambil sesuai arahan Bupati Bandung Dadang Supriatna menyusul temuan BPK yang menunjukkan potensi pendapatan daerah yang belum tergali/lost potensi mencapai Rp. 200 miliar.

"Gerebek Pajak" terutama akan menyasar hotel, restoran, kafe, hingga rumah makan, demi tercapainya target PAD sebesar Rp. 2 triliun. Berbagai pungutan pajak merupakan beban berat bagi rakyat terlebih yang memiliki usaha kecil-kecilan. 

Tidak bisa dipungkiri, para pelaku usaha tidak semuanya bermodal kuat. Seringkali memulai usaha bermodalkan pinjaman. Keuntungan belum terbayang sudah dibayang-bayangi bayar pajak dan nyicil utang. 

Bagi yang nunggak bayar pajak maupun utang harus siap-siap ditambah denda. Dari sini kita berpikir bagaimana usaha bisa berkembang jika kondisinya demikian?

Namun apa daya hidup di bawah penerapan sistem ekonomi kapitalisme, dalam kondisi apapun, kaya miskin, usaha kecil maupun besar diposisikan sama harus membayar pajak. Alasannya negara maupun pemerintah daerah tidak bisa membangun wilayahnya tanpa pajak. 

Maka wajar jika pemerintah daerah terus mencari cara agar rakyat taat pajak, agar tidak ada objek pajak yang terlewat. Yang ada di pikiran penguasa, bagaimana caranya meningkatkan penerimaan pajak, tanpa peduli terhadap kondisi rakyat. 

Bahkan ketika penerimaan pajak mencapai target, penghargaan akan diterima mereka karena dianggap sebagai sebuah prestasi. Menyedihkan!

Penting dipahami bahwa ciri khas dari kapitalisme, negara manapun yang menerapkannya termasuk Indonesia akan memosisikan pajak sebagai instrumen penting bagi pemasukan negara. Sementara kekayaan alam yang dimiliki diserahkan pengelolaannya kepada swasta, baik lokal maupun asing. 

Keuntungan mengalir kepada para kapital atau pemodal, dan negara hanya mendapatkan bagian kecil, maka pajak tentu saja menjadi andalan di samping utang. Sebanyak apapun kekayaan alam yang dimiliki tidak berimbas terhadap kesejahteraan rakyat, yang ada rakyat terus dipalak.

Lebih menyedihkan pajak yang sudah terkumpul dari rakyat malah dikorupsi. Defisit anggaran solusinya kembali kepada rakyat dengan menaikkan besaran pajak juga menambah objek pajak. 

Melalui undang-undang yaitu di pasal 4 ayat (1) UU No.28 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa. Jelas dari sini bahwa pajak adalah kebijakan memaksa dan menzalimi rakyat.

Undang-undang tetaplah sebagai aturan manusia, yang suatu waktu bisa dirubah sesuai kebutuhan. Merubah aturan pajak seperti PPN 12 persen yang awalnya untuk seluruh barang karena menuai kecaman keras akhirnya dirubah untuk barang mewah. Itupun sampai hari ini tidak jelas apa saja yang terkategori barang mewah. 

Dampak dari kebijakan tersebut akhirnya hampir seluruh barang mengalami kenaikan. Merubah aturan pajak dianggap tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Itulah keburukan dan liciknya kapitalisme. 

Sangat berbeda dengan pengaturan negara di bawah sistem Islam yaitu khilafah. Pajak yang dikenal dengan sebutan dharibah, dipungut bukan untuk kemaslahatan rakyat juga bukan sebagai pemasukan utama negara.

Seorang kepala negara dalam sistem lslam yaitu khalifah tidak akan memungut pajak atau biaya apapun terhadap pelayanan publik semisal pendidikan, kesehatan, jalan umum, surat kendaraan, bangunan, dan yang lainnya. Begitupun tidak akan memungut pajak pada pelaku usaha maupun PPN bagi pembeli.

Pajak hanya dipungut jika kas baitul mal kosong sementara negara memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan yang sifatnya wajib seperti menggaji pegawai dan membiayai jihad. Pajak hanya dipungut dari muslim yang kaya saja, berbatas waktu, jika sudah terpenuhi atau keuangan negara kembali stabil, pungutan pajak akan diberhentikan.

Tugas penguasa dalam sistem Islam adalah sebagai pelayan umat, maka tidak akan berlaku zalim kepada rakyatnya. Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih" (QS Asy-syura: 42).

Khilafah di masa lalu bahkan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat melimpah sebagai tanda tingkatkemakmuran rakyat yang menakjubkan, sampai kesulitan mendistribusikan zakat karena tidak ditemukan seorangpun yang berhak menerima zakat. 

Bandingkan dengan sistem kapitalisme. Rakyat berada dalam kemiskinan, kezaliman, generasinya kehilangan harapan masa depannya. 

Hanya khilafah yang mampu mewujudkan kesejahteraan tanpa pungutan pajak yang menzalimi. Bukti sejarah kejayaan Islam tak terbantahkan.

Wallahu a'lam bi ash shawwab.


Oleh: Samratul Ilmi
Pegiat Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar