Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Efisiensi Anggaran untuk Siapa?

Topswara.com -- Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru menjabat sudah membuat rakyat berulang kali merasakan kegelisahan menyusul munculnya kebijakan yang terkesan mendadak. Tak berhenti di PPN 12 persen dan maslah elpiji 3kg. Prabowo bahkan pengkas APBN 2025 hingga 306,6 T untuk pembiayaan program-program prioritas (voaindonesia.com 28/01/2025). 

Sejak itulah semua instansi dan lembaga pemerintahan mulai melakukan efisiensi anggaran. Dampaknya tentunya luas sekali pada yang lainnya. 

Kebijakan efisiensi anggaran yang mendadak ini ini menunjukkan betapa tidak teraturnya pola kerja kabinet baru Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Di tingkat pimpinan, gaya kepemimpinan yang terkesan "apa saja maunya Bapak" menjadi topik hangat di kalangan media. Meski demikian, masyarakat perlu lebih teliti dalam menganalisis akar permasalahan di balik efisiensi anggaran ini.

Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, telah menyiapkan tim khusus untuk mengevaluasi anggran di berbagai daerah. Akan ada pemantauan langsung agar anggaran digunakan secara optimal. 

Bahkan tim Kemendagri agar bergerak random ke berbagai daerah untuk melakukan pengawasan. Ini sebagai tindak lanjut Inpres Nomer 1 2025, Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD tahun Anggaran 2025 (presmedia.id 12/03/2025).

Ironisnya, upaya efisiensi anggaran justru berkontribusi pada meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah implementasi Program MBG yang dicanangkan oleh pemerintah. Masyarakat pun mulai mempertanyakan kemampuan orang tua yang terdampak PHK dalam memberikan nafkah untuk anak-anak mereka setelah pulang sekolah. 

Program MBG yang seharusnya meningkatkan gizi anak-anak, malah dianggap belum mampu mengatasi rasa lapar mereka, bahkan berpotensi memperpanjang durasi kelaparan.

Secara keseluruhan, kebijakan efisiensi anggaran ini memberi dampak negatif terhadap kelangsungan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Generasi mendatang terancam kehilangan kebutuhan dasar mereka, seperti gizi yang layak, akses kesehatan, dan pendidikan. 

Orang tua pun merasakan dampak yang berat dengan hilangnya pekerjaan, yang berakibat pada menurunnya kemampuan mereka dalam menyediakan makanan bergizi bagi keluarga. 

Sementara itu, bantuan beasiswa dan pendanaan untuk pendidikan tinggi semakin menyusut, bahkan berpeluang dihentikan jika pemerintah tidak menemukan alternatif pendapatan untuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Akibatnya, masa depan kualitas generasi Indonesia semakin mencemaskan.

Isu efisiensi anggaran yang semakin meruncing ini tidak muncul tanpa alasan. Suara yang simpang siur dari para pejabat di kabinet dan anggota dewan menunjukkan lemahnya kontrol dari kepemimpinan tertinggi. Kabinet yang terlalu besar justru mencerminkan ketidaksesuaian visi dan misi di antara kementerian dan lembaga negara, bahkan bisa dikatakan sebagai kegagalan dalam visi pembangunan SDM. 

Terlepas dari kepentingan yang mungkin ada, yang jelas, pemerintahan baru Prabowo-Gibran tampaknya tidak memprioritaskan upaya dalam meningkatkan kualitas pembangunan SDM.

Pembangunan suatu negara yang mengabaikan aspek pembangunan manusia dan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang pesat merupakan ciri khas dari model pembangunan ala kapitalisme. 

Dalam tinjauan mendalam, terlihat bahwa kebijakan efisiensi anggaran merupakan implikasi dari adopsi ekonomi kapitalisme dan praktik politik demokrasi. Bukti dari hal ini mudah ditemukan, terutama oleh generasi muda muslim. 

Narasi mengenai efisiensi anggaran muncul ketika negara terjebak dalam utang berbunga tinggi yang harus dibayar, sementara kebijakan perpajakan gagal memenuhi kebutuhan pendapatan APBN.

Indonesia, yang semakin tertekan akibat mengikuti arahan pembangunan dari Bank Dunia, kini berhadapan dengan kepentingan rezim otoriter populis. Sebagai akibatnya, Indonesia secara pragmatis mengadopsi berbagai kebijakan pembangunan yang tidak menjadikan pembangunan manusia sebagai prioritas utama. 

Konsep keberlanjutan pembangunan menuju Indonesia Emas 2025 hanya sekadar dogma global serta strategi yang memperparah kondisi negara-negara miskin dan berkembang.

Dalam kenyataannya, Indonesia memerlukan perubahan yang mendasar. Konsistensi generasi muda dalam memposisikan diri sebagai agen perubahan serta menciptakan lingkungan kontrol sosial seharusnya memicu mereka untuk melihat sistem lain di luar pendekatan yang terbukti gagal selama ini. 

Sistem kapitalisme yang telah diadopsi oleh negara terbukti tidak mampu memberikan kesejahteraan yang diharapkan

Kepemimpinan sekuler dalam kapitalisme telah membuat para penguasa gagal menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya dengan baik. Dalam sistem politik demokrasi, para pemimpin dan pejabat yang terpilih sering terjebak dalam konflik kepentingan, baik itu individu, kelompok, maupun partai. 

Akibatnya, kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan rakyat sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan mereka. Salah satu contoh nyata terlihat pada sektor pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi prioritas, namun justru dianggap sebagai program pendukung, sementara program seperti MBG malah mendapat prioritas dari pemerintah.

Rakyat tidak hanya membutuhkan kecukupan pangan, tetapi juga layanan pendidikan dan kesehatan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di negara ini. 

Dalam pandangan Islam, penguasa dipahami bukan sekadar sebagai pemimpin yang terpilih melalui kotak suara, melainkan sebagai raa‘in, yaitu pengurus dan pelayan yang mengutamakan kepentingan rakyat. 

Islam menekankan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah hal yang fundamental. Oleh karena itu, negara seharusnya menjadikan pelayanan terhadap enam kebutuhan esensial ini sebagai program prioritas.

Pertama, terdapat harta yang dikhususkan dalam baitulmal, yaitu harta zakat. Harta ini merupakan hak dari delapan golongan penerima zakat yang diatur dalam Al-Qur'an. Jika harta tersebut tidak ada, maka hak kepemilikan para mustahik atas harta ini menjadi gugur.

Kedua, baitulmal menyediakan harta untuk mengatasi kekurangan dan melaksanakan kewajiban jihad. Contohnya termasuk nafkah bagi fakir miskin dan ibnu sabil serta untuk kebutuhan jihad. Penyaluran dana untuk kebutuhan ini tidak tergantung pada ketersediaan harta di baitulmal; hak ini bersifat permanen, baik ketika harta ada maupun tidak.

Ketiga, harta yang diberikan oleh baitulmal sebagai kompensasi atau pengganti, seperti gaji bagi tentara, pegawai negeri, hakim, dan tenaga pendidik. Pemasukan untuk harta ini berasal dari berbagai sumber, seperti duit fai, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, serta pengelolaan barang tambang dan minyak bumi.

Keempat, harta yang dialokasikan untuk kepentingan umum dan bukan sebagai pengganti atau kompensasi. Contohnya termasuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, penyediaan air, serta pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit. 

Dana untuk kebutuhan ini tidak tergantung pada adanya harta, dan sumber dananya berasal dari pengelolaan harta umum, seperti barang tambang dan minyak bumi.

Kelima, terdapat alokasi dana untuk kemaslahatan dan manfaat yang tidak bersifat mendesak dan bukan sebagai pengganti. Contoh di sini adalah pembangunan jalan alternatif setelah adanya jalan yang sudah ada, atau pembukaan rumah sakit baru sedangkan fasilitas yang lama masih mencukupi. 

Penyaluran dana untuk tujuan ini bergantung pada ketersediaan harta di baitulmal. Apabila harta tidak ada, alokasi tersebut menjadi tidak wajib.

Keenam, baitulmal juga menyalurkan harta saat menghadapi keadaan darurat seperti paceklik, kelaparan, bencana alam, atau ancaman musuh. Dalam kondisi ini, keberadaan dana di baitulmal tidak mengurangi kewajiban penyalurannya. 

Jika dana baitulmal kosong, tanggung jawab penyalurannya beralih kepada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta dan mampu membantu hingga semua kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.

Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab penguasa dalam Islam adalah untuk menjadi pemimpin yang melindungi, mengelola, dan melayani rakyat semata-mata demi kepentingan dan kemaslahatan mereka. 

Semua tanggung jawab ini kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta'ala, sehingga penguasa dalam sistem Islam yang komprehensif akan menjalankan tugasnya dengan amanah dan adil.


Oleh: Kanti Rahayu
Aliansi Penulis Rindu Islam 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar