Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Banjir Jabodetabek, Faktor Cuaca atau Ulah Tangan Manusia?

Topswara.com -- Langit kembali menangis, menumpahkan isinya tanpa henti. Hujan turun deras, mengetuk atap rumah, menyelinap ke gang-gang sempit, dan mengaliri jalanan yang mulai tergenang. Di kejauhan, sungai-sungai menggeliat kesakitan, meluapkan amarahnya, merendam pemukiman, dan menelan kendaraan-kendaraan yang tak berdaya. Jakarta dan sekitarnya sekali lagi lumpuh dalam genangan banjir.

Setiap tahun, bencana ini datang, dan setiap tahun pula alasan yang sama terus diulang: "Curah hujan yang tinggi." Seolah-olah hujanlah yang harus dipersalahkan, seakan-akan air turun tanpa alasan. 

Padahal, hujan bukan penyebab utama. Ia hanyalah rahmat yang turun dari langit, tugasnya adalah menyuburkan tanah dan menghidupkan bumi. Tetapi ketika bumi sudah dipenuhi beton, hutan telah dirampas dari akarnya, dan sungai tak lagi diberi ruang untuk bernapas.

Maka air yang turun pun tersesat, mencari jalan yang tak lagi ada, hingga akhirnya meluap dan menenggelamkan kehidupan manusia.

Banjir yang melanda Jabodetabek bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah konsekuensi dari kesalahan manusia sendiri yang merusak keseimbangan ekosistem. Dulu, hutan di Puncak dan kawasan resapan air lainnya dengan setia menampung hujan, menyerapnya perlahan, dan membagikannya ke sungai serta tanah. 

Tetapi kini, hutan-hutan itu telah berubah. Vila-vila mewah, tempat wisata, dan bangunan komersial berdiri kokoh di atas tanah yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan.

Kasus Hibisc Fantasy adalah contoh nyata dari kerakusan manusia. Dalam izinnya, lahan itu seharusnya digunakan sebagai agrowisata—sebuah kawasan hijau yang penuh dengan tanaman. Namun kenyataan berkata lain, lahan tersebut kini telah dipenuhi bangunan permanen yang menghilangkan fungsi resapan air. 

Fenomena ini bukan satu-satunya. Tercatat, ada 33 lokasi di Puncak yang melanggar dokumen lingkungan, di mana tanah yang seharusnya menyerap air malah disulap menjadi kawasan bisnis (Detik.com, 6 Maret 2024).

Sungai-sungai yang dahulu perkasa kini berubah menjadi jalur pembuangan sampah raksasa. Mereka dijejali limbah rumah tangga, plastik, dan sedimentasi yang mempersempit alirannya. 

Ketika hujan turun, sungai-sungai itu seakan berteriak, “Aku tidak sanggup lagi menampung ini!” Namun manusia tetap tuli terhadap rintihan mereka. Dan ketika air akhirnya meluap, manusia justru menyalahkan hujan.

Seharusnya, ketika musibah seperti ini datang, manusia segera melakukan muhasabah (introspeksi diri), sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Tidak ada bencana yang terjadi tanpa sebab, dan dalam banyak kasus, bencana adalah teguran dari Allah atas kemungkaran dan kemaksiatan yang dibiarkan terjadi. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيْهِمْ الطَّاعُوْنُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ قَدْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِيْنَ مَضَوْا…

”Tidaklah nampak perbuatan keji di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.” [HR. Ibnu Majah, lihat ash-Shahihah no. 106]

Hadis ini dengan jelas mengingatkan bahwa berbagai musibah, termasuk banjir, bisa terjadi karena manusia sendiri yang mengabaikan hukum Allah. Jika kemungkaran dibiarkan, jika hukum Allah diganti dengan hukum manusia yang serakah, maka bumi pun murka, sungai pun menangis, dan langit pun menurunkan ujian dalam bentuk bencana.

Sejarah telah membuktikan bahwa ketika kepemimpinan Islam menerapkan kebijakan yang berpihak pada keseimbangan alam, bencana seperti ini bisa dikendalikan. 

Khalifah Umar bin Khattab pernah menghadapi bencana banjir akibat luapan Sungai Nil di Mesir. Beliau tidak menyalahkan alam, tetapi segera bertindak dengan membangun kanal "Khalij Amirul Mukminin", yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah. Kanal ini tidak hanya mengatasi banjir, tetapi juga membuka jalur perdagangan yang meningkatkan kesejahteraan rakyat (As-Sallabi, 2010, hlm. 312).

Namun, dalam sistem kapitalisme yang kita anut saat ini, alam bukan lagi sesuatu yang dijaga, melainkan sesuatu yang dieksploitasi. Para pengusaha dengan mudah mengubah kawasan hijau menjadi beton tanpa mempertimbangkan dampaknya. Pemerintah lebih berpihak pada investasi dibandingkan kelestarian lingkungan. 

Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat malah dijual kepada segelintir orang yang mengeruk keuntungan tanpa peduli pada akibat jangka panjangnya.

Dalam sistem Islam, tata ruang dan sumber daya alam dikelola dengan prinsip keseimbangan. Dalam kitab Nizham Al-Islam, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa hutan, sungai, dan sumber daya alam lainnya adalah milik umum yang harus dijaga demi kepentingan rakyat, bukan untuk dikuasai oleh segelintir orang (An-Nabhani, 2001, hlm. 225). 

Negara wajib memastikan bahwa kawasan resapan air tidak dialihfungsikan secara sembarangan, dan sungai tidak tercemar oleh limbah industri maupun sampah rumah tangga.

Jadi, apakah banjir Jabodetabek ini hanya karena cuaca? Ataukah ini adalah konsekuensi dari ulah manusia sendiri? Jawabannya jelas. Alam hanya mengikuti hukum keseimbangan yang telah Allah tetapkan. Jika manusia melanggarnya, maka alam akan membalas dengan caranya sendiri.

Selama kerakusan masih merajalela, selama hukum Allah masih diabaikan, dan selama manusia terus menyalahkan hujan daripada menyalahkan dirinya sendiri, maka banjir akan terus datang. Alam akan terus menangis, dan manusia akan terus meratap—tanpa pernah benar-benar belajar dari kesalahan.

Wallahu 'alam bi shawab.


Oleh: Tri Widarti, S.Pd.I.
Aktivis Muslimah Kab. Semarang
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar