Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tren Kabur Aja Dulu: Bentuk Kekecewaan Rakyat terhadap Kebijakan Pemerintah

Topswara.com -- Tren Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu ramai digunakan di media sosial sebagai bentuk keinginan masyarakat untuk meninggalkan Indonesia. Tagar tersebut disertai dengan ajakan untuk para anak muda untuk mengambil pendidikan, bekerja, hingga sekadar tinggal di luar negeri.

Fenomena Kabur Aja Dulu dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri karena adanya sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat, seperti biaya pendidikan yang mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan upah per bulan yang rendah.

Banyak warganet berbagi informasi seputar lowongan kerja, beasiswa, les bahasa, serta pengalaman berkarier dan kisah hidup di luar negeri dengan menggunakan tagar Kabur Aja Dulu (kompas.com, 18/2/2025).

Sosiolog UIN Walisongo Semarang, Nur Hasyim melalui sambungan telepon kompas.com, 17/2/2025 menyebut, tren Kabur Aja Dulu merupakan ekspresi kemarahan, keputusasaan, dan protes yang disampaikan publik melalui media sosial kepada pemerintah.

Menurutnya, hal tersebut adalah ekspresi yang mengindikasikan beberapa hal, seperti kemarahan. Kedua, tidak ada harapan, lalu yang ketiga adalah bentuk protes keras di era digital yang bentuknya adalah hashtag.

Salah satunya kebijakan pemerintah yang mengintruksikan efisiensi anggaran hingga berdampak pada sejumlah sektor penting, seperti pendidikan, energi, hingga penanganan bencana dan krisis iklim. 

Bahkan efisiensi yang dilakukan demi kelancaran program unggulan seperti makan bergizi gratis (MBG) itu juga menimbulkan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Termasuk di lembaga penyiaran publik, seperti TVRI dan RRI.

Munculnya fenomena ini tentu tidak lepas dari pengaruh digitalisasi terutama sosial media yang menggambarkan tentang kehidupan negara lain lebih menjanjikan kesejahteraan.

Kualitas pendidikan yang rendah di dalam negeri bertemu dengan banyaknya tawaran beasiswa ke luar negeri di negara maju semakin memberikan peluang untuk kabur. 

Demikian pula dengan sulitnya mencari kerja bertemu dengan banyaknya tawaran kerja di luar negeri baik untuk pekerja terampil maupun kasar dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi di negara maju juga semakin membenarkan pihak untuk kabur.

Kemunculan #kaburajadulu ini juga berkaitan dengan fenomena brain drain, yaitu fenomena ketika orang-orang berpendidikan tinggi dan terampil meninggalkan negaranya untuk bekerja atau tinggal di luar negeri. 

Fenomena ini juga dikenal sebagai human capital flight atau pelarian modal manusia demi mencari upah atau kondisi kerja yang lebih baik sehingga negara asalnya kehilangan orang-orang atau "otak" terampil.

Secara tidak langsung, kondisi tersebut sejatinya menggambarkan kegagalan kebijakan politik ekonomi dalam negeri dalam upaya menjamin kehidupan sejahtera bagi rakyatnya. Kegagalan ini juga tidak lepas dari sistem kapitalis yang digunakan penguasa untuk mengatur negara. 

Setiap kebijakan pemerintah diduga selalu pro terhadap para kapital, contohnya pendidikan. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan menjadi sektor yang legal untuk di liberalisasi akhirnya pendidikan menjadi barang yang sah dikomersialkan oleh swasta dan yang bisa mengaksesnya hanya orang-orang yang memiliki harta.

Dampaknya, dunia pendidikan makin materialistis dan komersial. Ukuran-ukuran ekonomi makin mantap menjadi patokan keberhasilan akreditasi institusi. Mark up nilai mahasiswa, manipulasi dana penelitian, hinngga jual beli ijazah menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Selanjutnya masalah lapangan pekerjaan, kebijakan pemerintah yang cenderung memihak kepada korporat juga sukses menciptakan kesenjangan sosial dan kemiskinan struktural yang memprihatinkan. 

Proses globalisasi saat ini telah meningkatkan arus jasa antarnegara yang memaksa sumber daya manusia dalam negeri harus bersaing dengan sumber daya manusia lintas negara. 

Alhasil, banyak lulusan sekolah kejuruan/PT yang tidak terserap di dunia kerja. Di saat yang sama, negara justru mengimpor TKA sebagai dampak dari tata kelola negara yang membuka keran kerja sama bilateral maupun multilateral terkait pengelolaan SDA. 

Begitulah, patuhnya pemerintah terhadap sejumlah klausul perjanjian membuat banyak TKA membanjiri lapangan kerja dalam negeri. Akhirnya, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan dalam negeripun membuat banyak orang memilih untuk #kaburajadulu ke luar negeri.

Inilah bukti abainya negara terhadap nasib rakyatnya. Sedangkan seharusnya negara mengemban tanggung jawab penuh untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk menjamin pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar