Topswara.com -- "Tikus-tikus kantor, yang suka ingkar janji... Tikus-tikus berdasi, yang suka korupsi..."
Lirik lagu Tikus-Tikus Berdasi milik Iwan Fals seakan tak pernah kehilangan relevansinya. Lagu yang sudah berusia puluhan tahun ini masih menjadi gambaran nyata tentang bagaimana para koruptor dengan jas rapi dan senyum manis terus menggerogoti negeri ini tanpa rasa malu.
Seperti kawanan tikus yang bersembunyi di balik dinding rapuh, mereka bekerja dalam senyap, merampas hak rakyat, dan meninggalkan kehancuran di mana-mana.
Baru-baru ini, pada 13 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto secara terbuka mengakui bahwa tingkat korupsi di Indonesia sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan. Dalam forum World Governments Summit 2025, ia menyatakan bahwa korupsi menjadi penghambat utama pembangunan bangsa, bahkan melemahkan sektor pendidikan dan penelitian (Kompas.com, 2025)
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Data menunjukkan bahwa revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 telah menyebabkan menurunnya jumlah operasi tangkap tangan (OTT) secara signifikan.
Sebelum revisi, KPK rutin melakukan OTT terhadap pejabat tinggi, tetapi setelahnya, jumlah kasus yang terungkap mengalami penurunan drastis (Kompas, 2019). Seolah-olah para tikus berdasi kini semakin bebas berkeliaran, merajalela tanpa takut terperangkap.
Di balik fenomena ini, sistem yang diterapkan di negeri ini justru menjadi sarang nyaman bagi mereka. Kapitalisme yang mengutamakan keuntungan pribadi telah menjadikan uang sebagai penguasa sejati.
Dalam demokrasi, biaya politik yang tinggi memaksa calon pemimpin berutang budi pada para pemodal besar. Ketika mereka berkuasa, kebijakan pun dibuat bukan untuk rakyat, tetapi demi membalas jasa mereka yang membiayai kampanye.
Proyek-proyek infrastruktur, kebijakan impor, hingga alokasi anggaran negara sering kali lebih menguntungkan segelintir orang ketimbang kesejahteraan masyarakat luas.
Sementara itu, rakyat hanya bisa menonton dengan getir. Pajak yang mereka bayar justru digunakan untuk memperkaya para pejabat dan oligarki. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama justru dikuasai oleh segelintir pihak. Negeri ini terus digerogoti, perlahan-lahan melemah, seperti bangunan kayu yang hancur dimakan rayap.
Di tengah keputusasaan ini, Islam menawarkan sistem yang berbeda. Islam menutup rapat celah bagi korupsi dengan menegakkan hukum yang tegas dan menjerakan. Rasulullah ï·º bersabda:
"Siapa saja yang kami angkat untuk bekerja dalam suatu pekerjaan, kemudian ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (korupsi) yang akan dipikulnya pada hari kiamat." (HR. Muslim No. 1830).
Dalam Islam, harta hasil korupsi harus disita dan dikembalikan kepada rakyat. Bahkan, jika tindakannya membahayakan masyarakat luas, pelakunya dapat dikenai hukuman berat hingga eksekusi mati. Tidak ada impunitas bagi mereka yang menyalahgunakan jabatan.
Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, pernah menyita kekayaan pejabat yang meningkat secara tidak wajar dan mengembalikannya kepada rakyat (An-Nabhani, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam).
Selain itu, dalam sistem Islam, pemimpin dipilih berdasarkan ketakwaan dan amanah, bukan karena kekuatan modal. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Al-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam menegaskan bahwa sumber daya alam adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Tidak boleh ada individu atau kelompok yang menguasainya demi kepentingan pribadi (An-Nabhani, Al-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam).
Sistem Islam juga membangun masyarakat yang jujur dan bertanggung jawab. Pendidikan dalam Islam tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter yang takut pada Allah dan menjunjung tinggi kejujuran.
Dalam sejarah, kita melihat bagaimana keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, memadamkan lampu istana saat membicarakan urusan pribadi agar tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingannya sendiri.
Sebaliknya, jika sistem sekuler seperti kapitalisme-demokrasi tetap dipertahankan, maka lagu Tikus-Tikus Berdasi akan terus menjadi kenyataan yang menyakitkan. Negeri ini akan terus digerogoti oleh para koruptor yang tak tersentuh hukum.
Saatnya kita merenung: sampai kapan kita membiarkan negeri ini menjadi bangunan rapuh yang terus digerogoti? Jika kita ingin perubahan nyata, maka kita harus berani mengambil langkah besar mengganti sistem yang ada dengan sistem yang benar-benar mampu mencegah korupsi hingga ke akarnya.
Jika tidak, kita hanya akan terus menyanyikan lagu Tikus-Tikus Berdasi, sementara negeri ini semakin hancur, satu demi satu bagian digerogoti hingga tak tersisa.
Oleh: Tri Widarti, S.Pd.I
Aktivis Muslimah Kab. Semarang
0 Komentar