Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemagaran Laut, Bukti Kuatnya Cengkeraman Korporatokrasi Dan Lemahnya Sistem Demokrasi

Topswara.com -- Belakangan ini, masyarakat dikejutkan dengan keberadaan pagar laut yang menimbulkan kontroversi dan merugikan berbagai pihak, terutama para nelayan tradisional. Pada September 2024, kelompok nelayan tradisional di Kabupaten Tangerang mengadukan permasalahan ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. 

Menurut Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa, para nelayan menemukan deretan pagar bambu yang menghalangi mereka dalam melaut. Selain itu, mereka mencurigai bahwa pagar tersebut merupakan bagian dari proyek reklamasi yang dapat memperburuk kondisi ekosistem laut dan mengancam mata pencaharian mereka.

Berdasarkan informasi yang mereka peroleh dalam forum resmi yang dihadiri pejabat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dugaan pun mengarah pada keterlibatan banyak pihak dalam pembangunan pagar laut ini. 

Heri mengungkapkan bahwa di salah satu desa di Kabupaten Tangerang, kepala desa setempat mencantumkan sejumlah nama pemilik tambak yang diduga terdampak abrasi dan membutuhkan restorasi. 

Namun, hasil investigasi menunjukkan bahwa 17 nama yang tercantum dalam daftar tersebut bersifat fiktif. 
Heri juga menyoroti diamnya berbagai instansi pemerintah terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), ATR/BPN, pejabat kelurahan, Kepolisian Air dan Udara (Pol Airud), TNI AL, Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), sebelum kasus ini menjadi perhatian publik. 

Padahal, pagar laut yang dibangun secara ilegal itu sangat mencolok dan tidak mungkin luput dari perhatian.

Keberadaan pagar laut tidak hanya melanggar hukum tetapi juga menghambat aktivitas para nelayan. Selain mengalami kesulitan akses menuju area penangkapan ikan, para nelayan juga mengalami penurunan pendapatan sebesar 50–70 persen. 

Biaya operasional melaut pun meningkat akibat harus menempuh jalur yang lebih jauh untuk menghindari pagar tersebut.

Aspek Hukum: Laut sebagai Milik Negara

Menurut Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menegaskan bahwa laut tidak boleh dimiliki oleh individu atau badan usaha. Pengelolaan laut hanya dapat dilakukan dengan izin khusus dari pemerintah.

Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa hak kepemilikan tanah hanya berlaku di daratan, sedangkan laut bukan merupakan objek hak milik atau hak guna.

Meskipun laut tidak dapat diperjualbelikan, terdapat beberapa skema pemanfaatan laut yang sah dengan izin resmi, seperti pemberian Hak Pengelolaan (HPL) kepada badan usaha atau instansi pemerintah untuk mengelola wilayah perairan tertentu. 

Contoh kasus yang sah adalah reklamasi Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta, di mana tanah hasil reklamasi diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) atau HPL berdasarkan izin dari pemerintah.

Cengkeraman Oligarki 

Kasus pagar laut telah menarik perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan politisi. Namun, tanggapan dari elemen pemerintah terkesan berbeda-beda, menimbulkan kesan adanya upaya untuk menutupi fakta sebenarnya. Sebelum isu ini mencuat, pemerintah terlihat pasif dalam menindak pelanggaran ini.

Setelah dilakukan investigasi, ditemukan bahwa sejumlah pihak memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut tersebut. 

Beberapa pemegang sertifikat di antaranya adalah: PT Intan Agung Makmur, dengan 263 bidang tanah berstatus HGB. Lalu PT Cahaya Inti Santosa, dengan 20 bidang tanah berstatus HGB. Kemudian sejumlah individu, dengan 9 bidang tanah berstatus HGB. Terdapat 17 bidang tanah yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).

Agung Sedayu Group melalui anak perusahaannya mengakui kepemilikan sertifikat HGB di kawasan pagar laut tersebut. Kasus ini telah mendorong Kementerian ATR/BPN untuk memeriksa pejabat yang diduga terlibat dalam penerbitan sertifikat di area laut tersebut. 

Sanksi berat dijatuhkan kepada delapan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Tangerang, termasuk kepala kantor dan sejumlah kepala seksi. 

Meski demikian, publik mempertanyakan mengapa Menteri ATR/BPN sebagai pejabat tertinggi tidak ikut bertanggung jawab atas tindakan bawahannya.

Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, menuding bahwa aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), enggan menindak pejabat yang terlibat dalam kasus pagar laut. 

Mahfud menilai ada "permainan" antara pengusaha dan pejabat pertanahan dalam penerbitan sertifikat di kawasan laut. Dugaan ini semakin kuat mengingat kasus ini sudah diketahui sejak 2024, tetapi baru menjadi perbincangan publik pada 2025 setelah viral.

Fenomena ini menggambarkan kuatnya pengaruh korporatokrasi dalam sistem demokrasi kapitalis. Korporatokrasi merujuk pada sistem di mana kebijakan ekonomi dan politik dikendalikan oleh korporasi besar, bukan oleh pemerintah yang seharusnya mewakili rakyat.

Akibatnya, perusahaan yang memiliki modal besar sering kali kebal hukum dan dapat mempengaruhi regulasi demi kepentingan bisnis mereka.
Kuatnya cengkraman Korporatokrasi ini sekaligus memberikan jawaban bahwa dalam sistem demokrasi yang berkuasa adalah yang memiliki modal, dan bagi mereka yang memiliki modal yang banyak, kekuasaan mereka melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. 

Sehingga yang menjadi penguasa yang sesungguhnya dalam sistem demokrasi ini adalah pengusaha yang melanggengkan gurita bisnisnya lewat korporatokrasi.

Kasus pagar laut adalah bukti kuatnya cengkeraman korporatokrasi di dalam sistem demokrasi kapitalis. Maka, selama hukum di dalam sistem demokrasi ini masih dikuasai oleh korporasi, maka sampai kapan pun masalah yang menyinggung korporasi besar akan alot penyelesaian masalahnya, bahkan cenderung kebal oleh hukum.

Perspektif Islam 

Dalam perspektif Islam, kepemilikan sumber daya alam diatur dengan prinsip bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak seluruh alam semesta, sementara manusia diberi amanah untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan syariat. 

Kepemilikan oleh manusia bersifat nisbi dan temporal, serta harus digunakan untuk kemaslahatan bersama. Klasifikasi kepemilikan dalam Islam: 

Pertama, kepemilikan individu (Al-Milkiyah Al-Fardiyah): Hak milik yang diperoleh individu melalui cara yang sah, seperti perdagangan, warisan, atau hadiah. 

Kedua, kepemilikan umum (Al-Milkiyah Al-'Ammah): Sumber daya yang diperuntukkan bagi kepentingan umum dan tidak boleh dimiliki secara eksklusif oleh individu atau kelompok tertentu. 

Contohnya adalah air, padang rumput, hutan, dan barang tambang. Pengelolaan dan penggunaannya harus untuk kemaslahatan bersama. 

Ketiga, kepemilikan negara (Al-Milkiyah Ad-Daulah): Harta yang dikelola oleh negara untuk kepentingan masyarakat, seperti tanah yang tidak ada pemiliknya atau aset yang diperoleh melalui pajak. 

Sementara itu prinsip pengelolaan sumber daya alam dalam Islam adalah: 
Pertama, keadilan. Distribusi manfaat sumber daya alam harus dilakukan secara adil, tanpa diskriminasi, dan memastikan kesejahteraan seluruh masyarakat. 

Kedua, keseimbangan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan tidak merusak ekosistem. 

Ketiga, kepentingan umum. Pengelolaan sumber daya alam harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas dibandingkan kepentingan individu atau kelompok tertentu. 
 
Jika akar masalah dalam kasus pagar laut ini adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis (produk sistem ekonomi dalam demokrasi), yang meniscayakan para pemilik modal menjadi penguasa, seperti ketidakjelasan konsep kepemilikan, sehingga jual beli yang terjadi adalah batil, hukum buatan manusia yang cacat, sehingga gagal menyelesaikan berbagai problema yang ada.

Maka sudah seharusnya jika kita menginginkan solusi tuntas atas permasalahan pagar laut maupun masalah lainnya, kita harus mencabut sistem demokrasi yang batil dan menggantinya dengan sistem islam yang akan mensejahterakan rakyatnya tanpa terkecuali.

Akar permasalahan dalam kasus pagar laut ini berakar pada sistem ekonomi kapitalis yang memungkinkan korporasi besar memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan pemerintah. Dalam sistem ini, modal menjadi faktor utama dalam menentukan siapa yang memiliki kekuasaan sesungguhnya. 

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan ini secara tuntas, diperlukan reformasi dalam tata kelola sumber daya alam yang berlandaskan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kepentingan rakyat banyak yang sesuai dengan syariat Islam. []


Oleh: Vera Astuti S.Pd., M.Pd. 
(Pendidik, Pengamat Kebijakan Ekonomi dan Politik)


Referensi:
An-Nabhani, Taqiyuddin. "Konsep Kepemilikan Sumber Daya Alam dalam Ekonomi Islam." 

Jurnal Aliansi, vol. 1, no. 1, 2025.
Efendi, Nur, et al. "Etika dalam Kepemilikan dan Pengelolaan Harta serta Dampaknya terhadap Perekonomian." 

Fair Value: Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Keuangan, vol. 4, no. 1, 2022.
"Konsep Kepemilikan dalam Islam." Irtifaq: Islamic Economics Journal, vol. 2, no. 1, 2020.

"Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Pandangan Islam." Jurnal Bimas Islam, vol. 13, no. 2, 2024.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar