Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pagar Laut Misterius, Bukti Kedaulatan Negara Tergerus?

Topswara.com -- Pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, telah memicu polemik besar. Pagar yang terbuat dari bambu dengan tinggi mencapai enam meter ini membentang melintasi 16 desa. 

Keberadaanya, membatasi akses nelayan terhadap wilayah tangkapan ikan mereka. Sehingga menimbulkan kegaduhan dikalangan masyarakat. Merespon perdebatan yang kian memanas, pemerintah mengambil langkah cepat dengan mengerahkan personil TNI Angkatan Laut untuk mencabut pagar tersebut. 

Pencabutan pagar laut di perairan Tangerang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut (AL) pada Sabtu, 18 Januari 2025. Proses pembongkaran melibatkan sekitar 600 personel TNI AL dan warga setempat. (umj.ac.id, 20/01/2025). Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, menegaskan bahwa pembongkaran tersebut dilakukan sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto. (Kompas.com, 20/01/2025).

Ada Aroma Korporasi  

Pemerintah tampak gamang dalam menjelaskan asal-usul proyek ini. Pada awalnya, mereka berdalih tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab. Namun, seiring berjalannya waktu, fakta mulai terungkap. Pemasangan pagar laut ini bukan sekadar kebijakan biasa, melainkan berkaitan erat dengan kepentingan korporasi besar.

Dugaan ini diperkuat berdasarkan berita dari (Metronews.com , 26/01/2025), pemasangan pagar laut di perairan Tangerang, Banten, diduga melibatkan institusi pemerintah dan korporasi besar. 

Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyatakan bahwa kasus ini berpotensi melanggar 13 undang-undang, termasuk UU Cipta Kerja. Selain itu, ditemukan bahwa terdapat 263 bidang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang dimiliki oleh dua perusahaan serta beberapa individu terkait dengan area tersebut. 

Aroma bisnis skala besar semakin terasa dalam proyek ini. Indikasi keterlibatan perusahaan-perusahaan besar muncul dari pola pendanaan, pemilihan kontraktor, hingga distribusi manfaat ekonomi. Kepentingan publik tampaknya hanya menjadi alasan formal, sementara keuntungan utama justru mengalir ke segelintir elite bisnis. 

Beberapa sumber berita melaporkan bahwa Agung Sedayu Group memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di area pagar laut di pesisir Tangerang. Menurut pengakuan Agung Sedayu Group, anak usaha mereka memiliki HGB di daerah pagar laut sepanjang 30 kilometer tersebut. 

Di sisi lain, lemahnya transparansi pemerintah semakin menegaskan bahwa ada kepentingan tersembunyi. Jika proyek ini benar-benar demi kepentingan rakyat, seharusnya ada keterbukaan sejak awal. 

Namun yang terjadi justru sebaliknya, publik baru mengetahui setelah proyek berjalan. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa negara lebih tunduk pada kepentingan korporasi dibandingkan menjalankan amanah untuk melindungi rakyatnya.

Kapitalisme Biang Keladi 

Simpang siur polemik pagar laut tersebut disebabkan oleh hukum buatan manusia yang sarat kepentingan. Aturan yang seharusnya melindungi rakyat, justru sering kali menjadi alat bagi pihak tertentu untuk meraup keuntungan. Asas kepentingan membuat aturan bisa dipermainkan, tergantung siapa yang berkuasa dan siapa yang memiliki modal.

Dalam sistem seperti ini, keadilan bukan ditentukan oleh kebenaran, melainkan oleh siapa yang lebih kuat dan memiliki pengaruh. Jika hukum bisa diubah atau disesuaikan demi kepentingan segelintir pihak, maka rakyat kecil hanya menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. 

Hal inilah yang membuat proyek seperti pagar laut lebih menguntungkan korporasi besar dibanding masyarakat yang terdampak langsung.

Kapitalisme membuat negara kehilangan kedaulatan dalam mengurus urusan rakyat. Prinsip kebebasan kepemilikan dalam sistem ini menyebabkan negara lebih tunduk pada kepentingan modal dibandingkan kepentingan publik. 

Kedaulatan yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah untuk mengatur dan melindungi rakyat, justru tergadaikan demi kepentingan korporasi.

Dalam praktiknya, negara hanya berperan sebagai regulator yang bergerak sesuai arahan kapital. Bahkan, lebih jauh lagi, negara kerap berfungsi sebagai penjaga kepentingan para kapital, bukan pelindung rakyat. 

Kebijakan yang diambil sering kali menguntungkan segelintir pemilik modal, sementara rakyat dibiarkan menghadapi kesulitan tanpa perlindungan yang memadai.

Akibatnya, negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat. Jika ada pelanggaran atau ketidakadilan yang dilakukan oleh korporasi besar, negara cenderung bersikap pasif atau bahkan mencari cara untuk melegitimasi tindakan tersebut. 

Inilah ironi terbesar dalam sistem Kapitalisme negara yang seharusnya menjadi pemegang kendali justru menjadi alat bagi segelintir elite ekonomi untuk mempertahankan dominasi mereka.

Berbeda dengan Islam 

Islam dan kapitalisme memiliki perbedaan mendasar dalam konsep ekonomi dan kepemilikan. Dalam Kapitalisme, kepemilikan sering kali terkonsentrasi pada individu atau korporasi yang mencari keuntungan maksimal. Bahkan dengan menguasai sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak bersama. 

Sementara itu, dalam Islam, ada aturan tegas mengenai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta, seperti air, hutan, tambang, dan laut. Rasulullah Saw, bersabda:

"Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, melainkan harus dikelola untuk kemaslahatan umum. 

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk memastikan distribusi sumber daya ini secara adil sehingga tidak terjadi monopoli oleh pihak tertentu, termasuk korporasi.

Negara yang menerapkan syariat Islam memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola kepentingan rakyat, bukan tunduk pada kepentingan korporasi. Islam juga menetapkan mekanisme pengelolaan kepemilikan umum dan individu dengan hukum yang jelas. Serta sanksi tegas bagi pelanggarannya, guna memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Dengan penerapan sistem Islam oleh negara, kedaulatan penuh dalam mengelola kepemilikan umum akan tetap terjaga. Tidak akan tergerus oleh kepentingan korporasi. 

Negara yang berlandaskan syariat Islam, akan memastikan bahwa sumber daya alam yang menjadi hak bersama dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Bukan untuk keuntungan segelintir pihak. 

Dengan mekanisme kepemilikan yang jelas dan sanksi tegas terhadap pelanggarannya. Islam menjamin keadilan dalam distribusi kekayaan dan melindungi kepentingan umat dari eksploitasi korporasi. 

Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Umul Asminingrum
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar