Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mental Rapuh, Hidup Keruh

Topswara.com -- Generasi muda hari ini tampak kuat di layar ponsel, tetapi menyimpan luka yang tak terlihat. Mereka hidup di era yang serba cepat, penuh dengan tekanan akademik, ekspektasi sosial, dan tuntutan ekonomi yang makin menyesakkan. 

Stres, kecemasan, dan depresi bukan lagi sekadar istilah medis, tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketika mental mereka rapuh, hidup pun terasa keruh—penuh ketidakpastian, kebingungan, dan kehampaan.

Data terbaru dari Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2024 menunjukkan bahwa 34,9 persen remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental (I-NAMHS, 2024, hlm. 12). Namun, hanya 2,6 persen  dari mereka yang mendapatkan bantuan profesional (Republika, 13 Februari 2025). 

Laporan lain dari Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, dengan 12 juta di antaranya mengalami depresi (Kementerian Kesehatan RI, 10 Februari 2025). 

Sementara itu, fenomena brain rot di mana individu mengalami degradasi kognitif akibat paparan konten digital berlebihan makin meluas. Lebih dari 60 persen  remaja Indonesia menghabiskan lebih dari enam jam per hari di media sosial, tenggelam dalam budaya konsumsi hiburan instan yang membuat mereka kehilangan daya pikir kritis dan ketahanan mental (Kompas, 13 Februari 2025).

Fakta ini menunjukkan bahwa krisis mentalitas generasi bukan sekadar isu individu, melainkan kegagalan sistem dalam membentuk mereka. Pendidikan modern lebih fokus pada angka dan prestasi tanpa membangun karakter dan kepribadian yang tangguh. 

Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi justru menjadi tempat perbandingan hidup yang membuat remaja semakin kehilangan jati diri (Tempo, 15 Februari 2025). Keluarga yang dahulu menjadi tempat berlindung kini sering kali sibuk dengan urusan masing-masing, meninggalkan anak-anak mereka berjuang sendiri menghadapi dunia yang semakin keras. 

Negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung justru lepas tangan, membiarkan generasi ini menghadapi tekanan hidup tanpa arah yang jelas.

Sistem kapitalisme sekuler memiliki andil besar dalam membentuk generasi yang rapuh secara mental. Sistem ini mengajarkan bahwa kebahagiaan diukur dengan materi dan popularitas. 

Pendidikan sekuler menciptakan individu yang berpikir liberal, tetapi kehilangan arah dalam hidupnya (An-Nabhani, 1953, hlm. 45). Mereka diajarkan untuk meraih kesuksesan, tetapi tidak dibekali dengan ketahanan mental ketika menghadapi kegagalan. 

Hidup hanya diukur dari pencapaian duniawi sehingga ketika mereka tidak mampu memenuhi standar tersebut, stres dan depresi pun tak terhindarkan.

Hedonisme yang dipromosikan oleh kapitalisme juga menjadi racun yang melemahkan mental generasi muda. Mereka diajarkan bahwa kebahagiaan bisa didapatkan dari hiburan, kesenangan, dan gaya hidup konsumtif (An-Nabhani, 1959, hlm. 67). 

Saat stres melanda, mereka mencari pelarian dalam bentuk gim, konten digital, atau pergaulan bebas, bukan mencari solusi yang benar. Akibatnya, mereka semakin terjebak dalam lingkaran kecemasan dan kehilangan kendali atas hidup mereka sendiri. Inilah yang membuat mental rapuh, hidup menjadi keruh tanpa arah dan makna yang jelas.

Islam sebenarnya telah memberikan solusi yang komprehensif dalam membangun generasi yang kuat secara mental. Dalam Islam, stres adalah bagian dari fitrah manusia. Rasa takut, khawatir, dan tekanan hidup tidak harus dihindari, tetapi dikelola dengan cara yang benar (Daradjat, 1985, hlm. 23). 

Rasulullah ï·º bersabda:
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (Muslim, no. 2664).

Ketahanan mental dalam Islam dibangun melalui keyakinan kepada Allah dan takdir-Nya. Seorang Muslim memahami bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah, sehingga ia tidak akan terpuruk ketika menghadapi ujian (An-Nabhani, 1977, hlm. 112). 

Allah ï·» berfirman dalam Al-Qur’an:
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. Ali 'Imran: 139).

Islam juga menanamkan pendidikan berbasis akidah yang membentuk karakter kuat sehingga generasi muda memiliki tujuan hidup yang jelas. Mereka tidak akan mudah terombang-ambing oleh standar duniawi karena mereka memahami bahwa kehidupan ini bukan sekadar mencari materi, tetapi juga menggapai rida Allah.

Negara dalam Islam memiliki peran besar dalam membangun generasi yang kuat mentalnya. Sistem pendidikan dalam Islam tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga membentuk kepribadian yang kokoh (An-Nabhani, 1980, hlm. 76). Allah ï·» juga mengajarkan bahwa ketenangan jiwa datang dari kedekatan kepada-Nya:

"Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).

Media juga dikendalikan agar tidak menjadi alat perusak mental generasi, tetapi menjadi sarana penyebaran ilmu dan nilai-nilai yang benar. Masyarakat didorong untuk saling mendukung dan menguatkan sehingga tidak ada individu yang merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan hidup.

Pakar psikologi Islam, Prof. Dr. Zakiah Daradjat, menegaskan bahwa agama memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan mental. Semakin seseorang dekat dengan Allah Al Kholiq, semakin tenang jiwanya, dan semakin kuat mentalnya dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup (Daradjat, 1986, hlm. 98). 

Hal ini membuktikan bahwa ketahanan mental bukan hanya soal terapi psikologis atau obat-obatan, tetapi juga soal pemahaman hidup yang benar.

Jika kita terus membiarkan generasi ini larut dalam sistem yang merusak, kita sedang membiarkan masa depan umat ini hancur. Generasi yang lemah mental tidak akan mampu membangun peradaban yang besar. 

Sudah saatnya kita kembali kepada Islam sebagai satu-satunya solusi hakiki, membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara mental dan spiritual. Jika kita tidak bertindak sekarang, apakah kita siap mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah?

Mental yang rapuh akan membuat hidup makin keruh. Saatnya kita kembali kepada Islam untuk menemukan kejernihan hidup, ketenangan hati, dan keteguhan jiwa.

Wallahu 'alam.


Oleh: Tri Widarti, S.Pd.I.
Aktivis Muslimah Kab. Semarang 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar