Topswara.com -- Di Pelabuhan Majene, sebuah drama kehidupan terjadi di depan banyak orang. Lia menangis histeris, memeluk kekasihnya, Bojes, seolah tak ingin melepaskan. Tangisannya bukan hanya menggetarkan hatinya sendiri, tapi juga membuat kapal yang hendak berangkat tertahan.
Orang-orang di sekitar terperangah, ada yang iba, ada yang tersenyum geli, ada pula yang merekam kejadian itu dengan ponsel mereka. Dalam sekejap, video Lia dan Bojes menyebar luas di dunia maya. Komentar pun berdatangan ada yang memuji sebagai kisah cinta sejati, ada pula yang menjadikannya bahan hiburan.
Di sinilah letak masalahnya. Apa yang seharusnya dianggap sebagai tindakan yang kurang pantas justru disanjung dan dinormalisasi. Rasa malu yang dulu menjadi benteng moral seorang muslimah kini seakan luntur. Alih-alih menjaga batas pergaulan, banyak yang malah mendukung adegan semacam ini, menganggapnya wajar, bahkan romantis.
Padahal, dalam Islam, cinta bukan berarti bebas mengekspresikan perasaan di mana saja dan kapan saja. Ada aturan yang menjaga kehormatan diri dan hubungan antar lawan jenis agar tetap dalam koridor yang benar.
Fenomena ini bukan sekadar kisah viral sesaat. Ini adalah cerminan dari perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat kita. Sekularisme telah lama mengikis nilai-nilai Islam dalam kehidupan.
Sistem ini memisahkan agama dari aturan kehidupan sosial, sehingga Islam tidak lagi menjadi pedoman utama dalam mengatur pergaulan.
Dalam kitab Nizham al-Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sekularisme adalah akar dari segala bentuk penyimpangan sosial karena ia menyingkirkan syariat sebagai standar kehidupan dan menggantinya dengan nilai-nilai buatan manusia yang selalu berubah sesuai dengan hawa nafsu.
Ketika sekularisme merajalela, pergaulan bebas menjadi sesuatu yang lumrah. Pacaran dianggap sebagai tahap menuju pernikahan, bukan sebagai gerbang menuju zina. Rasa malu yang seharusnya menjadi fitrah manusia tergantikan oleh keberanian mengekspresikan cinta tanpa batas.
Pendidikan yang seharusnya membentuk akhlak malah lebih menekankan aspek akademik dan keterampilan, tetapi melupakan pembentukan pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang Islami.
Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan pemahaman yang dangkal tentang halal dan haram, sehingga mereka mudah terpengaruh oleh budaya pergaulan bebas yang ditanamkan oleh media dan lingkungan sekitar.
Media pun memiliki peran besar dalam membentuk cara berpikir dan bertindak masyarakat. Dalam kitab Nizham al-Ijtima’i fil Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani kembali menjelaskan bahwa Islam memiliki aturan ketat dalam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi pelanggaran syariat.
Namun, di bawah sistem sekuler, media justru menjadi alat yang mengajarkan pergaulan bebas, pacaran, bahkan perilaku menyimpang lainnya sebagai hal yang wajar dan modern.
Tayangan romantis yang menggambarkan pacaran sebagai hal yang wajar, konten viral yang menjadikan kemesraan di tempat umum sebagai sesuatu yang menggemaskan, semua itu perlahan-lahan membentuk persepsi mereka bahwa cinta harus diekspresikan dengan pelukan, ciuman, atau kebersamaan tanpa batas. Film, sinetron, hingga konten media sosial penuh dengan kisah asmara yang jauh dari tuntunan Islam.
Akibatnya, mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa kemesraan di tempat umum bukan lagi sesuatu yang memalukan, tetapi bagian dari budaya modern yang harus diterima.
Di sisi lain, masyarakat yang seharusnya menjadi kontrol sosial justru semakin abai. Amar ma’ruf nahi munkar yang dulu menjadi tradisi dalam kehidupan kaum muslimin kini mulai luntur. Orang-orang lebih memilih diam, tidak ingin dianggap terlalu mencampuri urusan orang lain.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan dalam kitab At-Takattul al-Hizbi, bahwa salah satu pilar utama dalam perubahan masyarakat adalah adanya kontrol sosial yang kuat berbasis Islam. Namun, yang terjadi hari ini justru sebaliknya.
Banyak orang hanya menjadi penonton pasif, bahkan ikut mendukung fenomena yang bertentangan dengan syariat. Mereka menganggap pergaulan bebas sebagai bagian dari hak asasi manusia, sehingga tidak ada lagi upaya untuk menegakkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat.
Fenomena seperti ini tidak akan bisa dihentikan hanya dengan teguran atau nasihat sesaat. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistem yang mendasar, yaitu dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam sistem khilafah, Islam akan menjadi pedoman utama dalam mengatur pergaulan, pendidikan, dan media. Pendidikan akan dirancang untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia sesuai dengan Islam.
Media akan diawasi agar tidak menyebarkan konten yang merusak moral masyarakat. Dan yang terpenting, hukum syariat akan ditegakkan, sehingga pergaulan bebas dan kemaksiatan tidak lagi dibiarkan merajalela.
Jika sistem Islam diterapkan secara kaffah, rasa malu akan kembali ke tempatnya sebagai penjaga kehormatan. Pergaulan akan lebih terarah, dan ekspresi cinta tidak lagi diumbar sembarangan, tetapi ditempatkan pada jalur yang benar—dalam ikatan pernikahan yang halal.
Inilah solusi yang sesungguhnya, bukan sekadar teguran di media sosial atau sekadar berharap ada perubahan kecil di sana-sini.
Karena jika sistemnya masih sama, kejadian seperti di Pelabuhan Majene hanya akan terus terulang dengan wajah dan nama yang berbeda.
Oleh: Tri Widarti, S.Pd.I
Aktivis Muslimah Kab. Semarang
0 Komentar