Topswara.com -- Kasus pagar laut yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia merupakan cerminan nyata bagaimana hukum seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Meskipun jelas terdapat pelanggaran hukum dalam kasus ini, penegakan hukumnya terkesan lamban dan bahkan diabaikan.
Alih-alih membawa kasus ini ke ranah pidana, justru yang terjadi adalah praktik kambing hitam: pihak-pihak kecil dijadikan sasaran, sementara dalang utama di balik pelanggaran ini tetap tak tersentuh.
Para pejabat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan malah sibuk berkilah, bersembunyi di balik dalih administratif, dan berlepas tangan dari tanggung jawab.
Kasus semacam ini bukan hanya sekadar permasalahan hukum yang tidak ditegakkan, tetapi juga menunjukkan betapa kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan. Inilah yang disebut sebagai korporatokrasi, yaitu keadaan di mana negara tidak lagi berdaulat di hadapan korporasi, melainkan tunduk pada kepentingan segelintir elit pemilik modal.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak pejabat dan aparat negara justru menjadi fasilitator bagi korporasi dalam melanggar hukum. Dengan kekuatan finansial yang besar, korporasi dengan mudah mempengaruhi kebijakan, menyusun regulasi yang menguntungkan mereka, bahkan menciptakan sistem hukum yang berpihak kepada kepentingan oligarki.
Korporatokrasi ini semakin mengakar kuat dalam sistem ekonomi yang berbasis kapitalisme-liberalisme. Prinsip utama dalam ekonomi kapitalisme adalah kebebasan kepemilikan yang memungkinkan individu atau kelompok untuk menguasai sumber daya sebanyak mungkin demi kepentingan pribadi.
Dalam sistem ini, negara sering kali hanya bertindak sebagai regulator yang bisa dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal. Akibatnya, berbagai kebijakan yang seharusnya berpihak kepada kepentingan rakyat malah justru melanggengkan dominasi korporasi.
Islam dan Konsep Kepemilikan yang Adil
Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas, yang membedakan antara kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Laut, pesisir, dan sumber daya alam lainnya termasuk dalam kategori kepemilikan umum, yang berarti tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu atau korporasi tertentu. Rasulullah ï·º bersabda:
"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan bahwa laut dan sumber daya alam lainnya adalah milik bersama dan tidak boleh diserahkan kepada korporasi atau individu untuk dieksploitasi demi keuntungan pribadi. Oleh karena itu, praktik penjualan dan penguasaan pesisir oleh pihak swasta adalah pelanggaran terhadap hukum Islam yang sejati.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki kewajiban untuk mengelola kepemilikan umum dengan sebaik-baiknya demi kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh menjual atau mengalihkan hak kepemilikan umum kepada individu atau korporasi. Pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elit.
Negara sebagai Pelindung Rakyat, Bukan Fasilitator Kejahatan
Negara dalam Islam berfungsi sebagai raa'in (pengurus rakyat) dan junnah (perisai rakyat). Sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:
"Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Negara seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan justru bersekongkol dengan korporasi untuk menindas rakyat. Islam menetapkan bahwa penguasa wajib menjalankan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Jika seorang pemimpin terbukti berkhianat dan justru menjadi fasilitator kejahatan, maka dalam Islam ada mekanisme sanksi yang tegas.
Salah satu bentuk sanksi dalam Islam adalah hukuman ta'zir, yang diterapkan sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Jika seorang pejabat terbukti melakukan pengkhianatan terhadap amanahnya dengan menjual aset negara kepada pihak asing atau korporasi, maka ia bisa dijatuhi hukuman berat, bahkan hukuman mati jika terbukti membawa mudarat besar bagi rakyat dan negara.
Kedaulatan di Tangan Syariat, Bukan di Tangan Oligarki
Salah satu faktor utama yang menyebabkan korporatokrasi semakin menguat adalah karena sistem hukum dan kebijakan yang berpihak pada oligarki. Dalam sistem demokrasi, hukum bisa diubah sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal. Namun dalam Islam, kedaulatan bukan berada di tangan manusia, melainkan di tangan syariat. Allah ï·» berfirman:
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Ma'idah: 44).
Ayat ini menegaskan bahwa hukum harus bersumber dari wahyu, bukan dari hasil pemikiran manusia yang penuh dengan kepentingan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum buatan manusia, maka yang terjadi adalah ketidakadilan dan penyimpangan, seperti yang kita saksikan dalam kasus pagar laut dan penjualan pesisir saat ini.
Islam tidak memberikan ruang bagi korporatokrasi untuk berkembang, karena dalam sistem Islam, penguasa tidak memiliki hak untuk membuat hukum sendiri atau memfasilitasi pihak tertentu untuk menguasai harta milik rakyat. Penguasa hanya bertugas menjalankan hukum Allah dengan penuh keadilan.
Khatimah
Kasus pagar laut dan penjualan pesisir yang terjadi di berbagai tempat menunjukkan betapa lemahnya negara dalam melindungi hak-hak rakyat. Korporasi dengan mudah menguasai sumber daya alam karena negara lebih berpihak kepada pemilik modal daripada kepada kepentingan rakyat.
Sistem kapitalisme-liberalisme telah membuka celah bagi korporatokrasi untuk berkembang, di mana hukum dibuat untuk kepentingan oligarki dan bukan untuk kemaslahatan masyarakat.
Islam menawarkan solusi yang jelas dengan sistem ekonomi Islam yang menetapkan aturan kepemilikan yang adil, serta sistem hukum yang tegas terhadap para pelanggar. Dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, korporatokrasi dapat dicegah dan negara benar-benar berfungsi sebagai pelindung rakyat, bukan sebagai fasilitator kejahatan.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa hanya dengan kembali kepada hukum Allah, keadilan sejati dapat terwujud. Sebab, hanya hukum Allah yang mampu memberikan keadilan bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Dan penerapan aturan yang sempurna ini hanya bisa terwujud dalam institusi khilafah.
Wallahu a’lam.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar