Topswara.com -- Seperti siklus tahunan yang terus berulang, menjelang bulan suci Ramadan, harga sejumlah bahan pokok di pasar kembali mengalami lonjakan. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan peringatan dini mengenai potensi kenaikan harga berbagai komoditas pangan pada Ramadan 2025.
Beberapa komoditas yang menjadi sorotan utama meliputi telur ayam ras, daging ayam, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng.
Selain BPS, Badan Pangan Nasional (Bapanas) juga mengakui bahwa beberapa komoditas mengalami kenaikan harga yang melebihi ketetapan pemerintah. Beberapa barang yang dijual dengan harga lebih tinggi dari Harga Acuan Pembelian (HAP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) di antaranya adalah MinyakKita, cabai rawit merah, cabai merah keriting, dan beras medium (KumparanBisnis, 4 Februari 2025).
Kepala Bapanas, Arif Prasetyo Adi, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 12 Tahun 2024, yang mengatur HAP untuk cabai rawit merah berkisar Rp40.000 per kg, sementara cabai merah keriting ditetapkan antara Rp37.000 hingga Rp55.000 per kg.
Sementara itu, dalam Permendag Nomor 18 Tahun 2024 tentang minyak goreng, HET untuk Minyak Kita ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter. Namun, realitas di lapangan menunjukkan harga yang jauh lebih tinggi. Berdasarkan data Panel Harga Bapanas per 4 Februari 2025, harga cabai rawit merah telah menyentuh Rp65.856 per kg, cabai merah keriting Rp58.548 per kg, dan Minyak Kita dijual seharga Rp17.618 per liter.
Seorang pedagang di Pasar Taman Rawa Indah (Tamrin), Bontang, Kalimantan Timur, mengungkapkan bahwa kenaikan harga sudah berlangsung sejak dua minggu sebelumnya dan situasi tahun ini lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, kenaikan paling signifikan terjadi pada minyak goreng dan gula, yang terus naik dalam beberapa pekan terakhir (Tribunkaltim.co, 7 Februari 2025).
Mengapa Selalu Terulang?
Fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan yang terus berulang menunjukkan adanya masalah dalam sistem distribusi dan pengendalian stok. Situasi ini tidak hanya menyulitkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, tetapi juga membuka peluang bagi spekulan untuk memainkan harga demi keuntungan pribadi.
Seharusnya, pemerintah dan pelaku usaha lebih serius dalam melakukan langkah antisipatif. Persiapan matang perlu dilakukan dengan memastikan stok bahan pokok mencukupi, menjaga stabilitas harga, dan menjamin distribusi merata ke seluruh wilayah.
Langkah strategis seperti operasi pasar, pengawasan ketat terhadap rantai distribusi, serta kebijakan subsidi jika diperlukan harus dijalankan dengan efektif.
Jika kenaikan harga ini terus terjadi tanpa solusi nyata, masyarakat akan selalu menjadi korban. Oleh karena itu, koordinasi antara pemerintah, distributor, dan produsen harus diperkuat agar kenaikan harga jelang Ramadan tidak menjadi masalah tahunan yang terus berulang.
Alasan Klasik atau Problem Struktural?
Lonjakan harga bahan pokok sering kali dikaitkan dengan meningkatnya permintaan menjelang Ramadan. Namun, alasan ini terdengar klise dan seolah menutupi masalah yang lebih kompleks dalam mekanisme pasar.
Pada kenyataannya, ada banyak faktor lain yang turut memengaruhi harga, seperti ketidakpastian produksi, kendala rantai pasok, hingga praktik tidak sehat dalam distribusi, seperti mafia impor, kartel, monopoli, dan penimbunan (ihtikar).
Di tengah daya beli masyarakat yang semakin melemah, kenaikan harga ini justru semakin memberatkan rakyat kecil. Pemerintah dan pihak terkait seharusnya lebih transparan dan tegas dalam mengatasi permasalahan ini.
Pengawasan terhadap rantai pasok harus diperketat, distribusi harus lebih adil, dan regulasi yang melindungi konsumen harus ditegakkan. Jika tidak ada tindakan serius untuk menekan spekulasi harga, masyarakat akan terus menjadi korban setiap tahunnya.
Sudah saatnya alasan klasik soal mekanisme pasar digantikan dengan kebijakan nyata yang memastikan harga kebutuhan pokok tetap stabil dan terjangkau, terutama menjelang momen penting seperti Ramadan.
Solusi dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk ketersediaan pangan dan distribusinya, adalah tanggung jawab negara. Prinsip ini berakar pada ajaran yang menekankan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, serta larangan eksploitasi dalam perekonomian.
Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam juga melarang praktik yang merugikan masyarakat, seperti penimbunan barang (ihtikar), kecurangan dalam perdagangan, serta permainan harga oleh segelintir pihak untuk kepentingan pribadi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang menimbun kecuali ia adalah pendosa.” (HR. Muslim).
Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab dikenal aktif mengawasi pasar dan menindak pedagang yang melakukan kecurangan. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, negara bukan hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai pengawas yang memastikan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga.
Peran Negara dalam Menjaga Stabilitas Harga
Islam menekankan bahwa negara harus mengambil peran aktif dalam menjamin ketersediaan pangan dan distribusinya yang merata. Ketika terjadi kelangkaan, negara tidak boleh membiarkan pasar bekerja tanpa kendali, tetapi harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Salah satu langkah utama yang dianjurkan adalah meningkatkan produksi pangan dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal, memberikan dukungan kepada petani dan peternak, serta membuka akses terhadap lahan-lahan yang belum produktif. Islam mendorong kepemilikan dan pengelolaan tanah yang produktif.
Sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud).
Selain itu, Islam juga melarang monopoli dan permainan harga yang merugikan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda:
“Harga itu di tangan Allah, Aku tidak ingin bertemu dengan Allah sementara ada seseorang yang mengadu karena kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta atau darah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Untuk mengantisipasi kelangkaan, Islam mengajarkan bahwa negara harus memiliki cadangan pangan, sistem distribusi yang efektif, serta mekanisme subsidi bagi masyarakat yang membutuhkan. Dengan langkah-langkah ini, kesejahteraan rakyat dapat tetap terjaga, harga kebutuhan pokok stabil, dan ketimpangan ekonomi bisa dikurangi.
Kesimpulan
Sistem ekonomi Islam berlandaskan prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Negara bertanggung jawab memastikan pangan tersedia dengan harga yang wajar serta distribusi yang merata. Tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai pelindung kesejahteraan masyarakat dengan menghapus praktik ekonomi yang merugikan.
Maka, dalam perspektif Islam, negara memiliki peran utama dalam menjamin stabilitas harga, memastikan distribusi yang adil, serta melindungi rakyat dari eksploitasi ekonomi.
Jika prinsip ini diterapkan dengan konsisten, fenomena kenaikan harga menjelang Ramadan dapat diminimalkan, sehingga masyarakat dapat menjalankan ibadah dengan lebih tenang tanpa terbebani oleh harga yang melambung tinggi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Nahmawati
Pegiat Literasi
0 Komentar