Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kekerasan Seksual Merajalela, dimana Peran Negara?

Topswara.com -- Darurat kekerasan seksual pada anak terjadi di negeri ini. Kini Indonesia berada pada peringkat 10 besar dunia untuk kasus kejahatan atau kekerasan seksual pada anak. 

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mendukung penuh rencana pemerintah untuk membatasi akses media sosial bagi anak-anak agar mereka terlindungi dari ancaman dunia maya. (Muslimahnews.com, 27/01/2024)

Kekerasan seksual hari ini tidak lagi memerlukan pertemuan fisik antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual dapat terjadi melalui platform media sosial. Yang menjadi incaran para pelaku pedofilia adalah anak-anak SD yaitu dengan cara memanipulasi mereka, seperti berkenalan di dunia maya, membangun komunikasi intens, lalu meminta foto tidak senonoh hingga membuat video porno. 

Setelah korban melakukan semua yang diminta pelaku, pelaku akan melakukan pemerasan atau menjual foto dan video tersebut. Jika korban tidak memenuhi permintaan pelaku, mereka akan diancam dan menjadi objek eksploitasi di dunia maya. 

Terlebih lagi, pengawasan orang tua terhadap aktivitas anak-anaknya di media sosial kurang memadai, karena tidak semua orang tua melek digital. 

Menurut Retno, Indonesia perlu menerapkan pembatasan media sosial untuk anak seperti yang sudah dilakukan Cina dan Australia. Ini demi melindungi anak-anak di dunia digital dari predator seksual dan kekerasan lainnya. 

Pada era digital, penggunaan internet dan aktivitas di dunia maya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ibarat pisau bermata dua, kemajuan teknologi bisa memberi dampak positif juga negatif, tergantung penggunaannya. 

Negara seharusnya tidak boleh lalai menghadapi transformasi digital ini, terlebih jika keselamatan anak-anak menjadi taruhannya. 

Untuk mencegah dampak negatif ini, negara seharusnya melakukan mekanisme dan kebijakan yang dapat mencegah, kejahatan digital menyasar anak-anak. Mengapa harus negara? 

Sebab negaralah yang memiliki instrument yang dibutuhkan untuk mencegah kejahatan digital. Negara juga mamiliki kekuatan dan kewenangan menindak segala hal yang dapat merusak kepribadian anak dari konten-konten negatif yang bertebaran. 

Sayangnya, sistem kapitalisme menjadikan media sosial lebih banyak digunakan untuk membuat konten-konten viral nirfaedah, mencari cuan, kampanye gaya hidup hedonis, serta aktivitas kejahatan seperti penipuan, pelecehan seksual, kekerasan seksual, pinjol, judol, dan lainnya. 

Ibarat bola salju yang terus menggelinding tanpa arah, dunia digital saat ini menjadi pintu masuk penyebaran nilai, budaya dan pemikiran sekuler liberal. 

Negara seolah-olah tak berdaya menghadapi derasnya arus konten pornografi dan konten-konten nirfaedah lainnya. Banyak aplikasi e-book yang menyediakan bacaan seperti novel, komik dan sejenisnya yang menerbitkan konten dewasa dan mudah diakses siapapun, tidak terkecuali anak-anak. 

Negara juga lemah mengatur media, seperti televisi, tontonan/film dan media sosial. Tidak ada tindakan tegas dari negara kepada para produsen film yang yang memproduksi tayangan yang mengandung unsur seksual atau pornografi. 

Atas nama kebebasan berekspresi, negara membiarkan ini terjadi. Alhasil, tayangan yang tidak mendidik makin banyak jumlahnya.

Negara harus bersikap tegas dalam menangani semua hal yang berpotensi merusak masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya anak-anak, sehingga masyarakat tidak mudah terangsang dengan tontonan seksual yang memicu kejahatan seksual.

Pembatasan media sosial untuk anak-anak, tidak akan berjalan efektif selama konten-konten bermuatan nilai sekuler liberal masih bebas di dunia maya, terlebih lagi jika dijadikan pandangan hidup masyarakat, dimaklumi dan dinormalisasi. 

Sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan di negeri ini menjadikan negara gagal dalam memberikan perlindungan kepada generasi dan masyarakat. Sistem rusak ini menjunjung tinggi kebebasan dan menjadikan aspek apa pun sebagai komoditas yang dapat menghasilkan materi, tanpa melihat halal haram. 

Konten-konten bermuatan seksual yang mudah diakses inilah yang menjadi pemicu maraknya predator seksual anak. Kasus-kasus kekerasan seksual terjadi karena pelaku terangsang setelah menonton video atau tayangan porno. 

Sistem sekularisme kapitalisme telah menyuburkan nafsu syahwat. Masyarakat kehilangan perisai iman dan agama yang seharusnya mencegah mereka berbuat maksiat. 

Sistem pendidikan sekuler kapitalisme telah gagal melahirkan insan beriman yang terjaga dari maksiat dan perbuatan buruk. Justru manusia-manusia kejam, tega dan sadis lah yang lahir dari sistem ini. 

Fakta mengerikan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa negara memiliki peran vital dalan membangun literasi digital kepada masyarakat. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang pemanfaatan teknologi dan informasi digital yang benar dan tepat, tidak melanggar syariat, berkontribusi positif dalam menyebarkan informasi yang benar dan menajauhkan diri dari konten-konten maksiat.

Sayangnya, negara tidak optimal dalam menjalankan perannya. Negara hanya bertindak sebagai penyelenggara pendidikan. Bahkan, pendidikan dikembalikan pada masing-masing individu atau orang tua. 

Memang benar, sekolah pertama bagi anak adalah pendidikan keluarga, yakni peran dan tanggung jawab orang tua. Namun, negara merupakan pihak yang menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif. 

Sepandai-pandainya orang tua menjaga dan mencegah anak berlaku maksiat, tidak akan bisa efektif jika negara melepas tanggung jawabnya sebagai pelindung dan penjaga generasi. Kebijakan negara sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana kondusif, yaitu lingkungan yang beriman, aman, nyaman dan jauh dari kemaksiatan. 

Islam Mencegah Kekerasan Seksual

Untuk mencegah kekerasan seksual, negara akan melakukan mekanisme sebagai berikut :

Pertama, negara menjamin hak-hak anak seperti mendapatkan pendidikan yang layak, makanan yang bergizi, rumah yang layak dan sehat, lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak dan keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Pendidikan yang diberikan haruslah berbasis akidah Islam yang mampu melahirkan generasi berkepribadian Islam yang bertakwa serta unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Generasi yang beriman dan bertakwa tentunya memiliki akhlak mulia dan mampu menghindari kemaksiatan seperti kekerasan, pelecehan seksual, perundungan dan sebagainya. Pendidikan diberikan secara gratis sehingga seluruh rakyat mendapatkan pendidikan. 

Kedua, negara mengeluarkan undang-undang yang mengatur informasi sesuai ketentuan hukum-hukum syariat. Negara tidak akan membiarkan konten-konten negatif yang merusak anak. Informasi dan konten yang beredar harus disaring terlebih dahulu melalui departemen penerangan dan informasi. 

Ketiga, menegakkan sistem sanksi yang tegas sehingga memiliki efek jera terhadap pelaku. Dan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama.

Demikianlah yang dilakukan negara Khilafah dalam mencegah kekerasan seksual. Negara Khilafah menjamin serta menjaga generasi dari apa saja yang membahayakan mereka

Wallahu a’lam bisshawab.


Oleh: Erna Tristyawati 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar