Topswara.com -- Belakangan ini sedang menjadi topik tren unggahan di media sosial khususnya dalam platform X tentang tagar #KaburAjaDulu. Unggahan tagar tersebut merupakan seruan untuk pindah ke negara lain dalam bentuk pendidikan, pekerjaan, ataupun kenyamanan sekaligus jaminan kualitas hidup.
Bahkan direkomendasikan sejumlah negara yang bisa menjadi alternatif untuk keluar dari zona kekecewaan dan ketidaknyamanan. Negara tujuannya antara lain Jerman, Jepang, Amerika hingga Australia.
Negara-negara tersebut dikatakan menjadi alternatif negara yang tepat untuk pindah. Karena dianggap menjadi tempat yang layak untuk mengadu nasib dan sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh pemerintah Indonesia
(cnnindonesia.com, 7/2/2025).
Namun khalayak ramai mengomentari, karena tagar tersebut merupakan seruan sebagai ungkapan kekecewaan sekaligus upaya kaum muda untuk memilih kesejahteraan hidup yang layak dengan mencari peruntungan di negara lain. Berdasarkan analisis Drone Emprit menunjukan bahwa yang mencuitkan tagar #KaburAjaDulu mayoritas hampir 50 persennya berusia 19-29 tahun.
Keluhan-keluhan mereka di tengah tagar tersebut menjadi indikasi atas ketidakidealan kondisi yang terjadi. Akhir-akhir ini berbagai permasalahan sedang masif dikeluhkan karena merugikan masyarakat. berakhir menjadi kekecewaan rakyat terhadap aturan dan pemerintahan di Indonesia.
Kapitalisme Sekuler Jurang Kehancuran
Sejatinya seruan ini menandakan beberapa indikasi di antaranya, kehidupan yang makin sempit dan mencekik, rakyat yang mulai jengah dengan segala ritme kepemimpinan yang terus berganti namun tidak ada perubahan. Rakyat butuh perubahan yang solutif.
Bayangkan saja, bagaimana tidak? Seantusias itu tagar ini naik di kalangan pemuda. Selain bonus demografi Indonesia yang digadang menjadi generasi emas di masa mendatang. Kalangan kaum muda juga tidak habis dibumbui permasalahan hidup sampai tingkat negara.
Pekerjaan yang sulit, ekonomi yang makin sempit, kebutuhan melangit, pendidikan dan kesehatan dipersulit. Lalu apalagi yang bisa menjamin kehidupan mereka?
Isu-isu ini menjadikan kondisi yang tidak solutif dan kondusif bagi kehidupan bukan? Sinyal-sinyal kekecewaan ini harusnya bisa menjadi perubahan yang amat besar.
Generasi muda yang mulai jengah dengan persoalan kehidupan bernegara sebagai sinyal bagus menandai mereka masih peduli terhadap nasib bangsa, asal tidak miskin papa atau dimiskinkan oleh negara. Mereka, kaum muda adalah estafet SDM yang akan menjadi masa depan nasib bangsa.
Dalam salah satu rubrik yang dimuat melalui website Muslimah News ID (13/2), fenomena ini dipicu oleh brain drain atau human capital flight di kalangan pemuda yaitu ketika orang yang terdidik dan berbakat memilih bekerja di luar negeri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dibanding di dalam negerinya. Hal ini biasanya terjadi pada negara berkembang.
Fenomena ini agaknya menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi yang justru bisa memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang.
Satu hal saja yang menjadi contoh sekaligus bukti bagaimana kesenjangan itu tercipta secara sistemis. SDA di negara berkembang seperti di Indonesia dikuasai oleh asing atau korporasi yaitu para negara maju sehingga yang seharusnya bisa untuk rakyat dalam negara berkembang justru mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali semuanya terbatas dan langka.
Harganya melonjak sedangkan pendapatan dan ekonomi mereka benar benar tidak berputar sama sekali. Inilah gambaran ketidaksejahteraan yang tersistem. Rakyat terjebak dalam sistem yang menyengsarakan.
Sistem yang mengunggulkan untung rugi dan berpatokan pada modal ini menjadikan manusia tamak, individualis, hedonis, mereka akan terus memuaskan dirinya. Standar hidupnya sejahtera makmur dengan banyak materi, karena kehidupan menuntut untuk mendapatkan itu. Kapitalisme yang selalu mengutamakan modal dan untung belaka tanpa berkah.
Akar permasalahan sesungguhnya, yang mencetak mereka menjadi pecundang pula. Sebab semakin diselesaikan semakin tidak ada ujungnya. Aturan yang dibuat oleh manusia akan selalu begitu.
Inilah sistem kapitalisme sekuler yang hidup di tengah masyarakat hari ini. Sistem kapitalisme ini telah menjadikan semua yang hidup dalam naungannya diberikan kebebasan. Sistem ini menciptakan kesenjangan, ketidakadilan, kekeliruan hidup yang tak ada habisnya mengejar dunia, tanpa tahu ujungnya.
Ekonomi liberal saja misalnya, telah membuat persaingan harga di pasar, produk asing bebas masuk. Seperti di Indonesia, sebagai negara berkembang tentu berdampak pada kesenjangan kesejahteraan petani lokal. Siapa lagi yang dirugikan? Rakyat. Bukankah slogan dalam demokrasi yang mengatasnamakan pemerintahan dalam kapitalis ini dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Lalu, rakyat yang mana?
Belum lagi SDA yang dikelola asing di negeri ini, semua diangkut atas nama modus kerjasama dan investasi yang menguntungkan. Akan tetapi, faktanya rakyat hanya kena getah dan dampaknya saja.
Pendapatan negara dalam konsep kapitalisme hanya bisa diperoleh dari pajak dan utang. Hal ini tidak akan pernah menyelamatkan rakyatnya. Ketika pajak naik, maka barang kebutuhan menjadi langka atau akan mahal harganya.
Tidak ada yang sejahtera dalam negara berkembang. Mereka terpacu hidup sejahtera hanya di negara maju, mengadu nasib di sana demi peruntungan hidup yang lebih layak. Padahal sejatinya biaya hidup di sana juga tidak kalah tinggi. Namun, memang jaminan hidup di sana lebih menyejahterakan.
Fenomena brain drain di balik tagar #KaburAjaDulu jika dibiarkan dan tidak mendapatkan solusi yang tepat hanya melihat sebagai fenomena saja, maka bisa dipastikan jurang kehancuran generasi emas. Sebab ini akan menjadi keuntungan dan dinikmati oleh negara maju. Indonesia pun akan tetap berada dalam kemiskinan atau termiskinkan oleh sistem.
Islam Solusi Kesejahteraan
Islam memiliki konsep yang menjadi dasar terbentuknya aturan dalam hidup pribadi, sosial bahkan negara. Sehingga kesenjangan hidup atau ketidaksetaraan jaminan hidup adalah bentuk kezaliman dalam pengurusan pemimpin kepada rakyat.
Dalam Islam kesejahteraan menjadi kunci keberhasilan kepemimpinan. Seorang pemimpin dalam Islam adalah raa'in atau pengurus urusan rakyat. Pemimpin wajib mengurus rakyatnya. Jika tidak tertunaikan maka kembali kepada hukum syara bahwa ini adalah dosa.
Dalam Islam, negara atau daulah khilafah wajib memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Seluruh kebutuhan mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, bahkan keamanan per individu nya.
Dalam salah satu kitab yang ditulis oleh Syeikh Taqiyuddin An-nabhani yaitu Nidzamul Islam, negara Islam memiliki Rancangan Undang-undang yang membahas semua aspek kehidupan, termasuk di dalam politik dan ekonomi sebagai pengaturan negara dalam mengurus rakyat.
Kitab tersebut menjelaskan bahwa negara harus menjamin kebutuhan primer secara menyeluruh, sedangkan kebutuhan sekunder dan tersier diperbolehkan sesuai kadar kemampuannya.
Maka dalam hal ini negara khilafah akan memberikan lapangan pekerjaan kepada laki-laki sebagai kewajiban menafkahi dirinya dan keluarganya. Termasuk dalam hal tata kelola SDA sebagai bentuk pengaturan hak milik dan ekonomi, pos pemasukan dan pengeluaran negara. Semua harus diatur sebagaimana syariat memerintahkannya.
Hak milik dalam negara khilafah terbagi atas tiga: hak pribadi, hak umum, dan hak negara. Dalam hal ini pengelolaan SDA menjadi hak umum di mana semua rakyat diperbolehkan untuk menikmatinya. Negara sebagai pengelola dan keuntungan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyatnya. Tidak ada intervensi dari asing. Negara pun tidak menjadi korban keuntungan asing korporat.
Pengelolaan SDA oleh negara sebagai bentuk pengaturan pemimpin kepada rakyat. Hal ini akan membantu negara dengan mudah. SDA yang dikelola oleh negara sendiri keuntungannya mutlak milik negara untuk rakyatnya.
Terlebih lagi, SDA yang melimpah seperti halnya di Indonesia sebagai konotasi negara maju, akan menjadi salah satu sumber kesejahteraan rakyat. Terbukanya lapangan kerja, fasilitas umum yang memadai dan tepat sasaran, pendidikan serta kesehatan mudah dan murah.
Hak umum yang dimaksudkan antara lain tambang, hutan, laut, danau, sungai, gunung, tidak boleh dimiliki atas nama individu atau asing, harus atas nama kelola negara. Bahkan negara memang seharusnya menjadi pendukung atas industri agar tetap berkembang dan diserap oleh pasar dalam negeri baik sektor perdagangan, peternakan, pertanian dan jasa.
Semua itu menjadi peluang bagi generasi muda untuk mendapatkan hak, posisi, dan mengembangkan potensinya. Negara mendukung atau memfasilitasi penuh para pemuda tersebut.
Generasi muda dalam Islam menjadi aset peradaban, mereka akan dicetak menjadi pejuang cerdas akal dan jiwanya. Pendidikan yang diberikan cuma-cuma dengan fasilitas terbaik, ekonomi yang ditopang negara dengan menjamin kebutuhan tercukupi dengan mudah, tidak dibebani dengan pajak yang tinggi.
Sehingga tidak ada beban bagi mereka, dan tidak ada pilihan hidup untuk keluar dari negaranya mengadu nasib. Negara memfasilitasi penuh kehidupan dan ruang potensi mereka dengan pengurusan sebaik-baiknya.
Tidak perlu digambarkan lagi bagaimana bukti berbicara sebelum banyak penemuan dan ilmuwan Barat, islamlah yang lebih dulu. Sejarawan Barat pun ada yang mengatakan berutang budi pada peradaban Islam.
Beberapa ilmuwan Islam kita tahu misalnya penemu alat kedokteran oleh Ibnu Sina, bapak ahli Matematika yaitu Al Khawarizmi, penemu dan pembuat bola dunia oleh Al Idrisi, pendiri perguruan tinggi pertama oleh Fatimah Al Fihri. Para pemuda dikerahkan dan dikuatkan akidah mereka.
Mereka mengenal berbagai macam ilmu di setiap level pendidikan sesuai kebutuhan akil, balighnya serta aqliyah, nafsiyahnya. Inilah bekal pemuda menjadi SDM unggulan dan negaralah yang akan menjamin kehidupan mereka. []
Oleh: Nadia Fransiska
(Pendidik, Aktivis Muslimah Semarang)
0 Komentar