Topswara.com -- Sosial media kini bukan lagi hanya sekadar media untuk bersosialisasi di dunia maya, kini media sosial menjadi salah satu pengantar tren tercepat ke seluruh dunia. Seperti baru-baru ini, tren tagar #KaburAjaDulu mendadak viral di sejumlah media sosial, termasuk X (Twitter) (CNNIndonesia.com, 7/2/25).
Jika kita coba mencari kata kunci dari tagar tersebut di fitur pencarian X, akan dapati isinya adalah beragam unggahan tentang ajakan untuk berpindah ke negara lain. Hal ini dapat melalui beberapa jalur, seperti beasiswa pendidikan, lowongan pekerjaan, dan berbagai hal lainnya.
Hal ini tentu menarik perhatian anak-anak muda yang harus menghadapi kenyataan kualitas pendidikan yang rendah di dalam negeri. Saat dihadapkan dengan banyaknya tawaran beasiswa ke luar negeri, apalagi di negara maju, makin memberikan peluang bagi generasi “kabur” dari kenyataan yang pahit ini.
Fakta lain yang dihadapi adalah sulitnya mencari pekerjaan, dihadapkan dengan banyaknya tawaran kerja di luar negeri, baik sebagai pekerja terampil maupun kasar. Hal ini terus semakin terlihat menarik karena gaji yang didapat di negara maju lebih tinggi.
Kondisi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari fenomena brain drain. Brain drain merupakan fenomena ketika orang-orang berpendidikan dan berketerampilan tinggi bermigrasi ke negara lain.
Fenomena ini menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi/liberalisasi ekonomi yang semakin menguat dan memperlebar kesenjangan di antara negara maju dan berkembang, serta terus menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan.
Adanya hastag tersebut gambaran kegagalan kebijakan politik ekonomi dalam negeri untuk memberikan kehidupan yang sejahtera. Kebijakan ini tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang dijadikan sebagai asas negeri ini.
Kesenjangan ekonomi hadir akibat asas materi yang menjadi ciri khas sistem ini terus dinormalisasi. Di mana seluruh kebijakan yang ada akan diterapkan sesuai dengan kepentingan materi. Dampaknya akan memperkaya para oligarki dan menyengsarakan rakyat miskin.
Bahkan, kesenjangan ekonomi ini tidak saja terjadi di dalam negeri, namun juga di tingkat dunia, bahkan antara negara berkembang dan negara maju. Maka, fakta ini seharusnya cukup untuk membeberkan kerusakan sistem kapitalisme ini.
Maka, jika permasalahannya ialah sebuah sistem, maka solusi yang dihadirkan juga harus sebuah sistem. Tentu bukan sistem yang sama-sama buatan manusia, namun sistem yang lahir dari Sang Pencipta, yakni sistem Islam.
Islam bukanlah sekadar agama saja, tetapi merupakan sebuah sistem yang memiliki segudang aturan di dalamnya terkait permasalahan hidup manusia, termasuk di dalamnya pengaturan perekonomian.
Dalam sistem perekonomian Islam, negara diwajibkan membangun kesejahteraan bagi rakyat dan mewajibkan pula untuk memenuhi hak asasi setiap warga negara, individu per individu. Mekanisme penerapan yang harus dilakukan negara sangat banyak, termasuk di dalamnya wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap laki-laki yang sudah baligh.
Lapangan pekerjaan ini akan menjadi sangat luas, baik di sektor pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Hal ini tentu bisa menjadi solusi saat diimbangi dengan kebijakan ekonomi Islam yang lain, yakni pengelolaan sumber daya alam oleh negara.
Selain itu, penunjang kesejahteraan rakyat didorong pula dalam sektor pendidikan. Sistem pendidikan dalam Islam tidak disetting hanya untuk mencari pekerjaan. Namun, sistem ini akan mampu menyiapkan SDM yang beriman dan siap membangun negara, serta peduli dan menjamin kehidupan mereka sebagai warga negara. Sehingga kesejahteraan ini dicapai bersama atas kebijakan pemerintahan dan juga keimanan individunya.
Sistem Islam ini hanya mampu tegak di bawah naungan khilafah. Maka, sudah sewajarnya tegaknya khilafah akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan mewujudkan dunia yang adil dan sejahtera.
Wallahualam Bi Ash-Shawab.
Oleh: Rheiva Putri R. Sanusi, S.E.
Aktivis Muslimah
0 Komentar