Topswara.com -- “Habis gelap terbitlah terang.” Kalimat ini begitu terkenal sebagai warisan dari R.A. Kartini, seorang tokoh pejuang perempuan Indonesia yang menginginkan perubahan bagi bangsanya. Ia berharap agar masyarakat, bisa keluar dari keterbelakangan menuju kehidupan yang lebih baik.
Namun, jika Kartini masih hidup saat ini, mungkin ia akan terkejut melihat bahwa negeri yang ia cita-citakan masih jauh dari harapan.
Sudah lebih dari satu abad sejak Kartini menulis surat-suratnya, tetapi Indonesia justru terasa makin gelap. Harapan akan kehidupan yang lebih baik masih menjadi angan-angan.
Rakyat terus disuguhi janji-janji manis dari pemimpin, tetapi kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya. Kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, dan berbagai masalah lainnya terus menghantui negeri ini.
Masyarakat makin muak melihat korupsi yang seperti tak ada habisnya. Pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru sibuk memperkaya diri. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan malah dikorupsi tanpa malu-malu.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), 25 Januari 2025 menunjukkan bahwa jumlah kasus korupsi terus meningkat, bahkan makin melibatkan pejabat tinggi. Rakyat kecil terus bekerja keras mencari nafkah, tetapi hasilnya dirampas oleh segelintir elite.
Di bidang ekonomi, harga kebutuhan pokok yang terus naik makin membebani rakyat. Sementara itu, tenaga kerja asing makin bebas masuk dan mendapatkan kemudahan, sedangkan rakyat sendiri kesulitan mencari pekerjaan.
Tanah-tanah rakyat dirampas untuk proyek-proyek besar yang lebih menguntungkan investor dibanding masyarakat setempat. Sementara segelintir orang hidup bergelimang harta, jutaan rakyat masih harus berjuang sekadar untuk bertahan hidup.
Masalah pendidikan dan kesehatan pun tidak kalah pelik. Sekolah dan rumah sakit yang seharusnya menjadi fasilitas publik justru dikelola dengan sistem bisnis. Biaya pendidikan semakin mahal, membuat banyak anak dari keluarga miskin kesulitan melanjutkan sekolah.
Rumah sakit pun lebih memprioritaskan pasien yang mampu membayar, sementara rakyat miskin sering kali dipersulit saat membutuhkan layanan kesehatan.
Dalam situasi seperti ini, muncul gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang berani bersuara. Aksi demonstrasi bertajuk "Indonesia Gelap" yang terjadi di berbagai kota, termasuk Jakarta pada 17 Februari 2025 (Kompas.com, 18 Februari 2025), adalah bukti bahwa rakyat sudah lelah dengan kondisi ini.
Rakyat menuntut perubahan, menginginkan kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat. Namun, seperti yang sudah sering terjadi, suara mereka dihadapi dengan barikade aparat dan sikap abai dari penguasa.
Lalu, mengapa semua ini terus terjadi? Apa akar dari semua masalah ini? Jawabannya ada pada sistem yang diterapkan di negeri ini.
Indonesia saat ini menggunakan sistem sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk membuat hukum sendiri, tanpa menjadikan aturan Allah sebagai pedoman.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan lebih banyak menguntungkan elite dan korporasi, bukan rakyat. Dalam sistem ini, pemimpin lebih sibuk mempertahankan kekuasaan dan membangun citra politik daripada benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Sheikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nizham Al-Islam menjelaskan bahwa selama suatu negara tidak menerapkan Islam secara kaffah, maka kezaliman akan terus terjadi. Islam bukan hanya mengatur ibadah, tetapi juga mengatur kehidupan secara menyeluruh, termasuk pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan sosial.
Dalam sistem Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang mencari keuntungan sendiri.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketika Islam diterapkan secara kaffah, keadilan dan kesejahteraan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, keadilan ditegakkan sedemikian rupa hingga tidak ada satu pun rakyat yang berhak menerima zakat, karena seluruh kebutuhan mereka telah terpenuhi. Sumber daya alam dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan asing atau segelintir orang.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi negeri yang makmur. Kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar, dan letak geografis yang strategis seharusnya menjadi modal untuk membangun negeri yang kuat. Namun, semua itu tidak akan terwujud selama sistem yang diterapkan tetap seperti sekarang.
Jika kita ingin benar-benar melihat "Habis Gelap Terbitlah Terang", maka sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang sesuai dengan fitrah manusia—aturan dari Pencipta. Islam telah terbukti mampu membawa umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya keadilan dan kesejahteraan.
Allah telah menjanjikan bahwa negeri yang menerapkan hukum-Nya akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—negeri yang diberkahi dan dirahmati. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya bagi negeri Saba' ada tanda (kebesaran Allah), yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Dikatakan kepada mereka): 'Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (baldatun thayyibatun) dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun (wa rabbun ghafur).'" (QS. Saba: 15)
Kartini pernah berharap agar bangsanya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Namun, cahaya itu tidak akan datang dari sistem yang telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Demokrasi, kapitalisme, dan sistem sekuler telah berkali-kali menunjukkan kelemahannya.
Kini, saatnya kita mengambil langkah nyata. Jika kita ingin Indonesia benar-benar keluar dari kegelapan, maka satu-satunya jalan adalah menerapkan aturan Islam secara kaffah.
Islam bukan hanya sekadar agama yang mengatur ibadah, tetapi juga pedoman hidup yang sempurna. Hanya dengan Islam, Indonesia bisa menjadi negeri yang adil, makmur, dan diberkahi.
Sudah cukup kita hidup dalam kegelapan. Saatnya kita menuju cahaya yang hakiki. "Habis gelap, Terbitlah Terang" dengan Islam sebagai cahaya kehidupan.
Wallahu 'alam.
Oleh: Tri Widarti, S.Pd.I.
Aktivis Muslimah Kab. Semarang
0 Komentar