Topswara.com -- Tagar #KaburAjaDulu kembali menggema di media sosial, menampilkan keluh kesah anak muda Indonesia yang merasa negeri ini tak lagi menawarkan masa depan cerah. Mereka bukan sekadar mengeluh, melainkan memaparkan realitas pahit: sulitnya mendapatkan pekerjaan, gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta ketimpangan ekonomi yang makin melebar.
Seperti burung yang kehilangan sarang, mereka mencari tempat lain yang lebih menjanjikan, bukan karena tak cinta tanah air, tetapi karena di negeri sendiri, impian mereka terasa semakin jauh dari kenyataan.
Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bukti nyata dari krisis ekonomi yang semakin parah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 mencatat tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,32 persen atau setara dengan 7,86 juta orang. Lebih dari 65 persen tenaga kerja masih bergantung pada sektor informal, yang penghasilannya tidak menentu dan tidak menjamin kesejahteraan jangka panjang.
Sementara itu, negara-negara maju membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang ingin mengadu nasib. Tawaran beasiswa, kesempatan kerja dengan gaji tinggi, dan kualitas hidup yang lebih baik menjadi magnet yang sulit ditolak.
Bukan hanya pekerja kasar yang mencari penghidupan di luar negeri, tetapi juga para akademisi dan profesional muda. Laporan LPDP menunjukkan peningkatan 30 persen dalam jumlah peminat beasiswa luar negeri dalam lima tahun terakhir.
Lebih ironis lagi, lebih dari 45 persen penerima beasiswa memilih untuk tetap bekerja di luar negeri setelah lulus, karena merasa tidak ada jaminan kesejahteraan jika kembali ke tanah air. Ini makin memperparah brain drain, di mana Indonesia kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang seharusnya membangun negeri sendiri.
UNESCO mencatat lebih dari 9 juta warga Indonesia telah menetap di luar negeri, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat brain drain tertinggi di Asia Tenggara.
Realitas ini bukan terjadi tanpa sebab. Akar dari fenomena #KaburAjaDulu terletak pada sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Kapitalisme telah menciptakan ketimpangan ekonomi yang mengerikan.
Gini Ratio Indonesia pada 2024 tercatat 0,384, menunjukkan jurang lebar antara si kaya dan si miskin. Menurut laporan Oxfam, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 50 persen total kekayaan nasional, sementara jutaan rakyat hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Sistem ini tidak hanya membuat segelintir orang semakin kaya, tetapi juga menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Biaya pendidikan terus meningkat dengan rata-rata kenaikan 10 persen per tahun, sementara hanya 12 persen lulusan perguruan tinggi yang mendapatkan pekerjaan sesuai bidang studinya.
Kapitalisme telah menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis, bukan sarana mencetak generasi yang siap membangun negeri.
Negara, yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, justru tunduk pada kepentingan pemodal. Sumber daya alam yang berlimpah lebih banyak dikuasai oleh swasta dan asing, sementara rakyat justru dipaksa mencari penghidupan di luar negeri.
Globalisasi yang diusung kapitalisme semakin memperparah keadaan. Negara-negara maju semakin kuat, sementara negara berkembang seperti Indonesia semakin bergantung.
Dalam Islam, sistem ekonomi tidak dibiarkan berjalan liar seperti dalam kapitalisme. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya "Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam" menjelaskan bahwa negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat dengan mengelola kekayaan alam untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan segelintir elite.
Negara dalam Islam memiliki tiga kategori kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing sebagaimana terjadi dalam kapitalisme.
Lebih jauh, dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid II, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa negara Islam bertanggung jawab atas penciptaan lapangan kerja bagi setiap individu yang mampu bekerja.
Dalam Islam, pengangguran bukan sekadar angka statistik, melainkan masalah yang harus diselesaikan oleh negara. Negara wajib memastikan bahwa setiap laki-laki baligh memiliki pekerjaan, baik di sektor pertanian, industri, maupun perdagangan. Dengan mekanisme ini, tidak ada rakyat yang dipaksa "kabur" hanya karena tidak ada peluang di negerinya sendiri.
Dalam sistem Islam, pendidikan bukanlah ladang bisnis, tetapi hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam kitab "Muqaddimah ad-Dustur", Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa pendidikan dalam Islam diberikan secara gratis dan disediakan oleh negara dengan kualitas terbaik.
Pendidikan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada dunia kerja, tetapi juga membentuk individu yang beriman, berakhlak, dan memiliki kesadaran untuk membangun negeri.
Selain itu, Islam memiliki mekanisme distribusi kekayaan yang adil. Dalam kitab "Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah", Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa negara Islam tidak akan membiarkan kekayaan berputar hanya di kalangan elite, tetapi harus tersebar secara merata.
Sistem zakat, larangan riba, serta pembagian kepemilikan yang jelas akan memastikan bahwa kesenjangan ekonomi tidak terjadi sebagaimana dalam kapitalisme.
Fenomena #KaburAjaDulu adalah bukti nyata kegagalan kapitalisme. Selama sistem ini masih diterapkan, kesenjangan ekonomi akan terus melebar, dan generasi muda akan semakin kehilangan harapan. Islam kaffah dengan sistem khilafah adalah satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan masalah ini secara sistemik.
Dalam sistem khilafah, negara bukan sekadar regulator yang tunduk pada investor, tetapi pemimpin yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya. Pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja dijamin oleh negara.
Kekayaan alam dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir elite. Tidak ada lagi cerita generasi muda yang harus "kabur" demi kehidupan yang lebih baik, karena kehidupan yang lebih baik telah diwujudkan di dalam negeri sendiri.
Alih-alih melarikan diri, generasi muda seharusnya berjuang untuk perubahan sistemik yang mendasar. Bukan hanya memperbaiki kebijakan, tetapi mengganti sistem kapitalisme yang rusak dengan sistem Islam yang adil. Khilafah bukan sekadar sejarah, tetapi solusi nyata untuk menciptakan kesejahteraan yang hakiki.
Maka, saatnya berhenti berlari. Bukan dengan meninggalkan negeri ini, tetapi dengan memperjuangkan sistem yang akan menjadikannya lebih baik. Islam telah memberikan jawaban, kini tergantung apakah kita siap memperjuangkannya atau terus membiarkan negeri ini kehilangan generasi terbaiknya.
Oleh: Tri Widarti, S.Pd.I.
Aktivis Muslimah Kab. Semarang
0 Komentar