Topswara.com -- Dalam sebuah pidato di perayaan ulang tahun ke-17 Partai Gerindra, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana penghematan anggaran yang akan dilakukan dalam tiga tahap dengan total nilai penghematan mencapai Rp 750 triliun (kompas.com, 16/02)2025).
Rencana ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD untuk Tahun Anggaran 2025.
Namun rencana efisiensi anggaran ini tampaknya berdampak jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Di sektor riset dan inovasi di Indonesia, misalnya dua Kementerian atau Lembaga (K/L) yang membidangi riset dan inovasi, yakni Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), diketahui ikut terdampak Inpres Nomor 1/2025 tersebut (tirto.id, 13/02/2025).
Efisiensi anggaran sering dipandang sebagai hal positif untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan meningkatkan kinerja ekonomi. Namun, jika tanpa pemikiran yang matang upaya efisiensi ini justru bisa berdampak sebaliknya yaitu menciptakan ketidakstabilan sosial dan kekacauan di masyarakat. Apalagi efisiensi anggaran yang saat ini dilakukan banyak menyasar alokasi anggaran untuk rakyat.
Salah satu dampak pengurangan anggaran di sektor pendidikan dan kesehatan akan langsung berimbas pada kualitas layanan yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan pelayanan kesehatan yang memadai menjadi makin terbatas. Hal ini memperburuk kesenjangan sosial yang ada.
Efisiensi anggaran yang dilakukan dalam proyek-proyek infrastruktur vital bisa mengakibatkan masyarakat di daerah yang seharusnya mendapatkan akses infrastruktur yang lebih baik, seperti jalan, jembatan, atau fasilitas umum lainnya, menjadi terabaikan. Bahkan lebih fatal, efisiensi anggaran dapat menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai lembaga.
Diketahui bahwa efisiensi anggaran dilakukan untuk menutup kebutuhan anggaran beberapa program khsusnya makan bergizi gratis (MBG). Namun, realitanya MBG justru banyak menimbulkan masalah, maka tujuan efisiensi berpotensi memunculkan masalah baru.
Rencana efisiensi anggaran ini nampak tanpa pemikiran yang matang. Pada faktanya ada anggaran lain yang seharusnya dipangkas namun malah tidak dipangkas, misalnya anggaran Kemenhan untuk alutsista.
Dari sini makin tergambar dan semakin nyata bahwa yang dibela bukan lagi kepentingan rakyat, namun pihak yang punya kepentingan. Bahkan semakin menguatkan korporatokrasi.
Demikianlah hidup dalam sistem kapitalisme, dimana negara hanya mementingkan kepentingan para pemilik modal, sebab merekalah yang telah mensokong para penguasa sebelum menjabat. Orientasi penguasa dalam kapitalisme bukan kesejahteraan rakyat, namun kesejahteraan korporasi.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem islam. Dalam Islam penguasa adalah raa'in yang tugas utamanya adalah mengurus rakyat yaitu mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok. Begitupula dengan tersedianya layanan publik dan infrastruktur vital menjadi tanggung jawab penguasa dalam sistem islam.
Dalam Islam, kedaulatan negara ada di tangan hukum syarak. Prinsip inilah yang menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syarak tanpa kecuali. Dengan demikian penguasa tidak akan berpihak pada pihak lain yang ingin mendapat keuntungan apalagi yang punya kepentingan.
Dalam Islam, sumber pemasukan atau anggaran negara banyak dan beragam, tidak tergantung pada utang dan pajak. Sumber anggaran dalam islam ada banyak mulai dari zakat, kepemilikan umum seperti sumber daya alam, ghanimah, kharaj, jizyah, khumus, kepemilikan negara, usyur, hingga pajak menjadi pilihan terakhir ketika kondisi darurat saja.
Alokasi anggaran pun akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab serta perencanaan yang matang. Perencanaan anggaran belanjanya harus sesuai dengan pos-pos pengeluaran yang sudah ditetapkan oleh hukum syarak. Hal demikian bisa terjadi sebab Islam menetapkan jabatan adalah amanah.
Oleh karena itu, tidak akan ada rencana efisiensi yang sia-sia, tanpa perencanaan atau bahkan mengabaikan layanan publik. Sebab sumber anggaran dan pos pengeluarannya sudah selaras dengan syariat Islam. []
Oleh: Yuchyil Firdausi
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar