Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, viral di media sosial, seorang muslimah yang diceraikan suaminya hanya delapan hari setelah menikah. Mereka memutuskan menikah melalui sebuah proses yang dikenal dengan istilah “taaruf ”. Diawali dengan saling bertukar biodata di email, kemudian bertemu, lalu memutuskan menikah. Prosesnya terjadi sangat cepat.
Netizen pun ramai, ada yang menghujat si laki-laki, ada yang berempati dan mendoakan sang muslimah, tetapi ada juga yang mempermasalahkan taarufnya. “Itulah kenapa harusnya pacaran dulu sebelum nikah, jangan hanya taaruf,” dan seterusnya. Muncullah kesan seolah taaruf adalah penyebab perceraian.
Benarkah Taaruf Penyebab Perceraian?
Tentu ini tuduhan yang sangat tidak mendasar. Betapa banyak pasangan yang menikah dengan diawali taaruf dan rumah tangga mereka langgeng. Sementara itu, banyak juga rumah tangga yang diawali dengan pacaran, bahkan dalam waktu yang sangat lama, berakhir juga dengan perceraian.
Ini berarti masalahnya bukanlah di taarufnya, tetapi karena ketakmampuan membangun dan merawat pernikahan sehingga berakhir pada perceraian. Bisa jadi karena tidak paham konsep pernikahan, atau juga karena sebab-sebab lainnya.
Dari tinjauan syariat, taaruf adalah bagian dari syariat Islam. Ini akan dibahas di poin selanjutnya. Sedangkan pacaran, jelas bertentangan dengan syariat Islam. Tentu sebagai muslim kita harus mengambil syariat Islam dan meninggalkan segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam.
Sistem sekuler liberal yang diterapkan hari ini telah membuat banyak sekali kaum muslim terjebak pada pergaulan yang salah sehingga memilih pacaran sebagai jalan untuk mendapatkan pasangan. Sekularisasi dan liberalisasi yang begitu masif diaruskan telah membuat pacaran dianggap sebagai hal biasa, bahkan sesuatu yang baik dan penting dilakukan.
Padahal, haramnya pacaran sudah sangat jelas. Betapa banyak syariat Islam dalam pergaulan yang dilanggar, seperti larangan berkhalwat (lihat HR Muslim), perintah untuk menundukkan pandangan (lihat QS An Nur[24]: 30—31), larangan mendekati zina (lihat QS Al-Isra [17]: 32) dan lain-lain. Tidak sedikit yang sampai berzina saat berpacaran, ada yang kemudian hamil dan melahirkan anak, bahkan sebagiannya lagi melakukan aborsi.
Perlu kiranya kita mewaspadai bahwa di balik tuduhan taaruf menyebabkan perceraian ini ada upaya untuk menjauhkan umat dari syariat Islam. Akibat tidak paham, umat akhirnya lebih memilih pacaran yang melanggar syariat daripada taaruf yang merupakan bagian dari syariat.
Proses Menuju Pernikahan menurut Islam
Islam telah menetapkan hukum khitbah sebagai bentuk aktivitas permulaan dalam pernikahan. Pada masa khitbah inilah seseorang melakukan taaruf dalam rangka memilih pasangan hidup. Bagi seorang laki laki, Islam menganjurkan untuk memilih istri yang salihah, taat beragama, memahami hukum-hukum Islam, serta pandai mendidik anak dan menjalankan perintah Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Seorang perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya, maka carilah wanita yang taat beragama agar engkau beruntung.” (HR Al-Khamsah)
“Sebaik-baik istri adalah yang apabila engkau pandang membuatmu senang, jika diperintah ia taat. Apabila engkau memberi janji, ia menerima dengan baik; dan apabila kamu pergi, ia menjaga dirinya dan hartamu dengan baik.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim)
Demikian pula, Islam memerintahkan kepada perempuan untuk memilih pasangan karena ketinggian akhlaknya, sebagaimana hadis berikut ini, “Apabila datang seorang laki-laki kepadamu untuk melamar dan engkau pandang baik agamanya dan akhlaknya, maka nikahilah dia, sebab jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, walaupun ia seorang yang miskin dan dari golongan kelas bawah?’ Nabi menjawab, ‘Apabila datang kepadamu laki-laki yang baik agama dan akhlaknya, maka nikahilah dia,’ ucapan ini beliau ulangi sampai tiga kali.” (HR Tirmidzi)
Khitbah Bukan Masa Pacaran
Dalam Islam, khitbah bertarget untuk menuju gerbang pernikahan. Ini salah satu pembeda dengan pacaran yang memang tidak bertarget untuk menikah. Khitbah bukanlah masa pacaran, melainkan berfungsi sebagai ajang taaruf (saling mengenal) dengan tetap menjaga hukum syarak bagi keduanya.
Hal ini dimaksudkan agar pernikahan ikatan yang kuat oleh syarak tidak mudah rusak lantaran suami istri tersebut sama sekali tidak saling mengenal sebelumnya.
Taaruf juga dimaksudkan agar terjadi saling mengenal secara baik sehingga akan menambah kemantapan untuk menikah, memperkecil kesalahpahaman, dan memudahkan perbaikan jika terjadi kesalahan di kemudian hari.
Itu sebabnya taaruf dilakukan bukan sekadar berbagi biodata berisi nama, alamat, hobi, kemudian bertukar foto. Apabila seorang laki laki mengkhitbah (meminang) seorang perempuan, Islam membolehkannya melihat apa-apa dari perempuan itu yang bisa mendorongnya untuk segera menikahinya.
Rasulullah Saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi wanita itu, hendaklah ia melakukannya.” Jâbir kemudian berkata, “Aku melamar seorang wanita. Aku pun bersembunyi untuk melihat wanita itu hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya. Lalu aku pun menikahinya.” (HR Al-Hâkim dan beliau berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat Imam Muslim.”)
Hanya saja, seorang peminang tidak diperbolehkan berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang ingin dipinang. Rasul saw. tidak mengecualikan peminang dari pengharaman berkhalwat yang dinyatakan dalam hadis yang mulia, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali ia disertai mahramnya, karena yang ketiga di antara keduanya adalah setan.” (HR Muslim, dari jalur Ibnu ‘Abbâs)
Tata Cara Khitbah
Islam membolehkan seorang laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung kepadanya tanpa melalui walinya, boleh juga melalui walinya. Hadis riwayat Ummu Salamah ra. bahwa ia berkata, _”Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah saw. mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah saw. ….” (HR Muslim)
Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa Rasulullah langsung mengkhitbah Ummu Salamah ra., bukan mengkhitbah melalui walinya. Sedangkan dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan melalui walinya adalah hadis riwayat Urwah bin Az-Zubair ra., ia berkata, “Bahwa Nabi saw. telah mengkhitbah ‘Aisyah ra. melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. …” (HR Bukhari)
Islam juga menetapkan bahwa hak menerima atau menolak khitbah berada di tangan perempuan yang dikhitbah, bukan di tangan walinya atau orang-orang yang akan menikahkannya.
Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs, ia menuturkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izin tentang dirinya dan izinnya adalah diamnya.” (HR Muslim)
Islam telah melarang seorang muslim meminang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain. Dari Ibnu Umar, katanya, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Jangan kamu beli barang yang sedang ditawar oleh saudaramu; jangan kamu pinang perempuan yang sedang dipinang saudaramu, melainkan apabila telah diizinkannya.” (HR Muslim)
Penting untuk diperhatikan bahwa keduanya (peminang maupun yang dipinang) bukanlah mahram, oleh karena itu berlaku semua hukum syarak pergaulan selama proses khitbah ini, seperti kewajiban menutup aurat, larangan berkhalwat, kewajiban menjaga pandangan juga hati, membatasi interaksi hanya untuk hal-hal yang diperlukan, dan lain-lain.
Jelas, khitbah sangat berbeda dengan pacaran. Khitbah juga bukan pacaran islami. Salah kaprah terhadap pacaran islami seharusnya bisa dieliminasi bila saja setiap muslim yang hendak menikah memahami hukum khitbah ini secara keseluruhan.
Khatimah
Jelas, taaruf bukan penyebab perceraian. Kita patut mewaspadai bahwa di balik tuduhan taaruf penyebab perceraian ini ada upaya untuk memberikan stigma terhadap syariat Islam tentang pergaulan dan selanjutnya mengaruskan pergaulan yang tidak islami.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk melawan arus ini. Kita perlu menyampaikan kepada umat bahwa Islam punya tata cara tersendiri untuk menuju jenjang pernikahan, bukan dengan pacaran. Menjalankannya karena dorongan taat kepada Allah tentu akan mendatangkan kebaikan, pahala, dan tentu saja keberkahan dari Allah Taala.
Wallahualam.[]
Oleh: Ustazah Wiwing Noeraini
Pemerhati Keluarga dan Generasi
0 Komentar