Topswara.com -- Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor Ustaz Arief B. Iskandar, memaparkan wujud nyata dari sikap memadukan ilmu dan amal. "Inilah wujud nyata dari sikap memadukan ilmu dan amal," ungkapnya dalam tulisannya yang dikutip Topswara.com, Jumat (14/2/2025).
Ia mengutip hadis dari penuturan al-’Ala bin al-Harits, dari Hizam bin Hakim bin Hizam, dari ayahnya, dari Baginda Nabi Muhammad Saw. yang bersabda, “Kalian benar-benar berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak sekali fuqaha dan sedikit sekali para ahli pidato. Pada zaman ini amal adalah lebih baik daripada ilmu. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya sedikit sekali fuqaha dan banyak para ahli pidato. Pada zaman ini ilmu lebih baik daripada amal.” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir III/236).
"Dari kedua hadis di atas setidaknya dapat dipahami bahwa pada zaman yang pertama (yakni generasi Sahabat Nabi Saw.) kebanyakan orang memahami Islam secara mendalam. Karena itu, yang dibutuhkan saat itu adalah mengamalkan apa yang telah dipahami," ungkapnya.
Namun, sebaliknya, lanjut dia, pada zaman yang kedua kemungkinan adalah zaman hari ini, saat orang- orang yang memahami Islam secara mendalam sangat sedikit. Maka banyak orang yang beramal tanpa ilmu. Karena itu, pada zaman kini memahami dan mendalami Islam yang kemudian diamalkan tentu lebih penting daripada beramal tanpa didasarkan pada ilmu.
Kesimpulan ini setidaknya sesuai dengan makna riwayat yang diungkapkan oleh Imam Malik saat menuturkan hadis penuturan Yahya bin Said yang berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang, "Sesungguhnya engkau berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak para fuqaha dan sedikit para pembaca Al-Qur'an yang menjaga hukum-hukumnya dan tidak terlalu fokus pada huruf-hurufnya. Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya sedikit para fuqaha dan banyak para pembaca Al-Qur'annya yang menjaga huruf-hurufnya tetapi mengabaikan hukum-hukumnya.” (Imam Malik, Al-Muwaththa’, II/44),".
Dari hadis ini, kata dia, setidaknya dapat dipahami tiga perkara. Pertama, perkataan Ibn Mas’ud tidak bermaksud menyatakan orang-orang yang membaca Al-Qur'an pada zamannya sedikit. Namun, yang beliau maksud bahwa orang-orang yang membaca Al-Qur'an pada zamannya yang perhatiannya hanya pada bacaan tanpa memperhatikan hukum-hukumnya amatlah sedikit. Dengan kata lain, pada zaman sahabat Nabi Saw. orang-orang biasa membaca Al-Qur'an sekaligus memahami dan mengamalkan hukum hukumnya, dan tidak memokuskan perhatiannya pada huruf-hurufnya, karena memang Al-Qur'an adalah bahasa mereka.
"Sebaliknya, pada zaman kini, zaman yang mungkin diisyaratkan dalam hadis ini oleh Ibn Mas’ud, banyak orang membaca Al-Qur'an hanya fokus pada bacaan (huruf-huruf)-nya saja, tetapi tidak memahami apalagi mengamalkan hukum-hukumnya," sambungnya.
Kedua, akan datang suatu zaman yang tentu berbeda dengan zaman Ibn Mas’ud alias zaman Sahabat Nabi SAW yang di dalamnya sedikit para fuqaha (ahli fikih). Maksudnya, pada zaman itu boleh jadi zaman kita hari ini, orang-orang yang memahami Islam secara mendalam amatlah sedikit. Kebanyakan mereka adalah yang bisa dan biasa membaca Al-Qur'an tetapi tidak memahami isinya secara mendalam. Tentu hadis ini tidak sedang mencela para pembaca dan penghapal Al-Qur'an. Yang dicela adalah sedikitnya para fuqaha dari kalangan mereka karena tujuan akhir mereka sebatas membaca dan menghapal Al-Qur'an, bukan memahami isinya apalagi mengamalkan dan menerapkan hukum-hukumnya.
Ketiga, akan datang suatu zaman yang di dalamnya huruf-huruf Al-Qur'an benar-benar dijaga, tetapi hukum-hukumnya ditelantarkan.
"Maknanya, para pemelihara mushaf Al-Qur'an jumlahnya banyak. Namun, kebanyakan mereka tidak memahami isi Al-Qur'an itu. Tidak pula pada saat itu yang sesungguhnya telah terjadi pada zaman kini manusia dipimpin oleh imam atau para penguasa yang menerapkan Al-Qur'an di tengah-tengah mereka. Akibatnya, hukum-hukum Al-Qur'an ditelantarkan. Ini jelas bertentangan dengan zaman Sahabat Nabi saw. saat manusia dipimpin oleh para pemimpin yang berhukum dengan Al-Qur'an dan menerapkan al-Quran kepada mereka (Lihat: Al Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, I/429)," paparnya.
Alhasil, pesan inti dari hadis di atas sesungguhnya adalah: Pertama, dorongan kepada setiap Muslim untuk membaca dan memahami Al-Qur'an atau mendalami Islam. Kedua, mengamalkan isi Al-Qur'an termasuk berusaha terus mendorong para penguasa untuk menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) di tengah-tengah masyarakat. [] Alfia Purwanti
0 Komentar