Topswara.com -- Pada Jumat (10/1/2025) genosida yang dilakukan oleh Zionis Israel di jalur Gaza telah memasuki hari ke-461. Kekejaman pasukan Israel dalam aksinya setelah peristiwa 7 Oktober 2023 telah menewaskan setidaknya 45.936 orang dan sekitar 109.274 mengalami luka-luka (tempo.co, 9/1/2025). Ironisnya sebagian besar dari korban tersebut adalah wanita dan anak-anak.
Jumlah korban sangat dimungkinkan akan terus bertambah seiring dengan masih gencarnya Israel melakukan serangan membabi buta ke arah penduduk sipil di wilayah tersebut. UNICEF melaporkan bahwa selama pekan pertama di tahun 2025 setidaknya 74 anak tewas di jalur Gaza akibat serangan Israel (inilah.com, 9/1/2025).
Meningkatnya jumlah korban bukan hanya disebabkan oleh serangan militar pasukan israel, melainkan juga akibat kelaparan, minimnya bantuan medis dan bahan pangan serta paparan cuaca dingin yang akhir-akhir ini melanda wilayah jalur Gaza.
Bencana kemanusiaan yang menimpa penduduk Palestina telah sampai pada titik kritis, sehingga dibutuhkan solusi nyata untuk segera membebaskan Palestina dari penjajahan dan pendudukan paksa oleh zionis Israel. Hanya saja berbagai solusi yang telah digagas oleh dunia internasional tidak kunjung membawa angin segar untuk penduduk Palestina.
Solusi Sebatas Ilusi
Beberapa negara termasuk Indonesia menyepakati alternatif solusi untuk mengakhiri perang Palestina Israel dengan menerapkan Two State solution yaitu membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian yang masing-masing akan berdiri di atasnya dua negara secara berdampingan yaitu Palestina dan Israel. Solusi dua negara ini diusulkan sejak tahun 1937 oleh Komisi Peel dari Inggris (kompas.com, 23/1/2024).
Solusi ini justru memperburuk situasi di Palestina alih-alih mengakhiri konflik. Pasalnya warga Palestina sebagai penduduk asli tidak rela jika harus membiarkan tanah kelahiran mereka diambil paksa dan diberikan kepada imigran Yahudi yang awal kedatangan mereka sebagai pelarian dari Eropa akibat perlakuan anti-semit yang mereka terima.
Sementara entitas Yahudi mengklaim bahwa kedatangan mereka ke Palestina sebagai bentuk pencarian terhadap ‘Tanah yang dijanjikan’.
Tentu saja slogan ini hanyalah alibi untuk memuluskan rencana pendudukan tanah Palestina oleh Zionis Yahudi. Inilah faktor yang terus memicu berbagai macam konflik hingga pecahnya sejumlah perang di Palestina sampai hari ini. Sehingga solusi dua negara ini sampai kapanpun tidak akan bisa mengakhiri perang di Palestina.
Upaya lain yang telah ditempuh dunia internasional untuk masalah Palestina adalah dirilisnya surat penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) pada Kamis, 21 Novenber 2024 (cnnndonesia.com, 22/11/2024).
Surat penangkapan ini hanya mampu memaksa Netanyahu untuk membatasi kunjungannya ke 124 negara yang ikut menyetujui rilisnya surat tersebut, tetapi tidak berhasil menghentikan aksinya untuk terus melancarkan serangan secara brutal ke arah penduduk Gaza. Bahkan dalam menanggapi surat penangkapannya secara tegas Netanyahu menyatakan tidak akan menyerah dengan berbagai macam tekanan (kompas.com, 22/11/2024).
Selain itu, gerakan boikot secara masif terhadap produk-produk yang beriafiliasi dengan Israel, aksi longmarch di berbagai belahan dunia dan berbagai kecaman dari tokoh-tokoh internasional juga tidak mampu menghentikan kekejaman Israel terhadap Palestina. Hingga hari ini Israel masih dengan bebas membantai warga Gaza.
Jika demikian, lalu bagaimana dengan nasib Palestina di masa yang akan datang? Adakah masih tersisa solusi untuk mengatasi masalah Palestina ini?
Solusi Hakiki
Bagi umat Islam masalah yang sedang dihadapi oleh Palestina bukanlah urusan pribadi negara tersebut ansih. Tetapi masalah Palestina adalah masalah umat Islam secara keseluruhan. Karena Allah telah menjadikan umat Islam sebagai ummatan wahidatan (umat yang satu).
Bahkan Rasullullah SAW memberikan pesan dalam sebuah hadis: "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)" (HR. Muslim No 4685).
Oleh karena itulah kita memiliki kewajiban untuk ikut melakukan upaya-upaya untuk segera mengakhiri penjajahan Israel atas Palestina. Dalam perspektif Islam, masalah di Palestina bukan sekadar konflik tetapi merupakan penjajahan orang-orang kafir terhadap umat Islam di sana.
Sehingga untuk menghadapi penjajah yang didukung penuh oleh persenjataan militer harus dihadapi pula dengan aksi militer (jihad). Bagi penduduk Palestina mereka wajib melaksanakan jihad untuk mempertahankan diri dan tanah mereka dari upaya penjajah yang ingin merampasnya.
Sementara kewajiban Muslim di luar Palestina adalah mengirimkan tentara untuk membantu membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.
Hanya saja seruan jihad ini hanya bisa dikomando oleh pemimpin tunggal bagi seluruh umat Islam yaitu Khalifah. Karena hanya khalifah saja yang bisa memberikan perintah untuk berjihad melawan orang-orang kafir yang bertindak kejam bukan saja terhadap kaum Muslim tetapi terrhadap umat lain yang membutuhkan pertolongan.
Ketiadaan khalifah bagi umat Islam seperti saat ini menjadikan umat Islam seperti sabda Rasulullah, dari Tsauban berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Hampir saja umat-umat menyerang kalian sebagaimana para pemakan menyerbu piringnya". Maka ada seorang yang mengatakan, "Apakah karena jumlah kami sedikit ketika itu wahai Rasulullah?" Nabi SAW menjawab, "Akan tetapi kalian ketika itu berjumlah banyak…" (HR. Abu Dawud).[]
Oleh: Tri Suwarni
(Mahasiswi International Open University Jurusan Psikologi Islam)
0 Komentar