Topswara.com -- Makin hari makin menggila propaganda LGBTQIA+ di jagat media dan hiburan dunia. Tak hanya di serial atau film-film Barat saja, serial film Korea Selatan yang sedang booming pun ikut-ikutan. Ya, film Squid Game Season 2 ikut menyelipkan karakter transgender dalam salah satu karakter tokoh utamanya.
Padahal selama ini masyarakat Korea Selatan lumayan anti terhadap perilaku LGBT. Karakter 120 yang menggambarkan sosok transgender sebenarnya tetap luar biasa karakternya walaupun bukan transgender.
Namun, dalam film ini karakter 120 ditampilkan menjadi sosok yang piawai dan bisa diandalkan. Ini jelas penggiringan opini Barat untuk menguatkan citra kaum pelangi agar diterima di masyarakat Asia.
Penggambaran orientasi seksual dan identitas gender dengan singkatan LGBTQIA+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Queer/Questioning, Aseksual, Plus (yang lain)) sebenarnya intinya adalah penyimpangan orientasi seksual, yaitu selain dari yang normal (seksualitas antara laki-laki dengan perempuan).
Penyimpangan ini semakin ruwet dengan munculnya aktifitas kaum Woke yang menjadi bagian dari gerakan Black Lives Matter tahun 2014 di Amerika Serikat. Kaum Woke adalah orang-orang yang memiliki kesadaran akan isu-isu ketidakadilan sosial dan rasial di masyarakat.
Kemunculan kaum Woke ini kemudian menjadi angin segar bagi masyarakat yang terzalimi termasuk kaum pelangi di Amerika Serikat. Selama ini ternyata kaum pelangi merasa dizalimi oleh banyak pihak karena penyimpangan orientasi seksual mereka.
Sejak itulah kaum pelangi jadi mempunyai harapan bahwa kezaliman yang menimpa mereka segera berubah. Mereka pun makin aktif merepresentasikan dan mempropagandakan orientasi seksual mereka ke publik dunia.
Pada Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja LGBTQIA+ tahun 2022 yang dilakukan Trevor Project memang ditemukan bahwa 45 persen orang LGBTQIA+ berniat melakukan bunuh diri, 75 persen mengalami gangguan kecemasan dan 58 persen mengalami depresi akibat tekanan yang mereka alami.
Sementara pada riset lain didapati hasil bahwa 89 persen orang LGBTQIA+ merasa lebih baik perasaannya setelah menonton tayangan yang memunculkan karakter LGBT.
Kesadaran untuk mengurangi keresahan dan meningkatnya angka bunuh diri di kalangan kaum pelangi ini kemudian diaplikasikan oleh pemerintah Amerika Serikat dengan kebijakan DEI. Sejak itu kebijakan ini menjadi pintu gerbang bagi masifnya propaganda LGBTQIA+ ke seluruh dunia.
Diversity, Equity and Inclusion (DEI) sebenarnya adalah konsep yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang beragam, adil, dan inklusif. Konsep ini sejatinya dapat diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk di tempat kerja dan di organisasi.
Sayangnya konsep ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum pelangi untuk merepresentasikan pola pikir dan orientasi seksual mereka ke publik. Salah satu sasaran yang dituju adalah industri perfilman.
Contohnya di indutri perfilman raksasa Disney. Di sini dari tim kreatif hingga petinggi diisi oleh kaum pelangi. Agenda mereka pun sangat kental dengan propaganda LGBT.
Film-film yang dihasilkan Disney seperti Light Year dan Strange World nyata mengalami kerugian akibat menampilkan secuil adegan berkarakter LGBT. Hal ini karena film-film seperti ini ditolak tayang di beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Namun, tampaknya Disney tidak peduli dengan kerugian besar ini. Mereka ngotot tetap memuluskan propaganda LGBT. Mereka pun tidak pernah peduli dengan dampak berkelanjutan yang dihasilkan jika film-film serupa ditonton oleh banyak orang, termasuk anak-anak dan kaum Muslim.
Netflix kini mengikuti jejak Disney dan industri perfilman Amerika dalam mempropagandakan LGBT. Bahkan sangat terlihat kesan memaksakan dengan secuil adegan dalam alur cerita atau menampilkan karakter LGBT, seperti pada serial Last of Us. Ini membuat geleng-geleng kepala. Pasalnya Netflix lebih mudah diakses oleh banyak orang dari semua kalangan di seluruh dunia.
Anehnya meski banyak serial dan film yang menampilkan karakter LGBT ditolak ditayangkan, para produser tetap saja masif membuat serial dan film lain dengan menampilkan karakter serupa. Apakah untuk memenuhi selera pasar? Rasanya tidak tepat juga. Ini karena penonton dari kalangan menyimpang tentu jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan yang normal.
Mereka tak sampai 10 persen dibandingkan penduduk yang heteroseksual, tetapi mereka terus mencekoki semua orang dengan penyimpangan mereka. Saat mereka dipersalahkan, mereka berteriak seolah yang paling terzalimi.
Inilah satu sisi dari kondisi dunia yang berjalan menuju jurang kehancuran. Orientasi seksual kaum LGBTQIA+ dan para pelakunya yang jelas dilaknat oleh Allah selalu merupaya naik panggung untuk melakukan propaganda. Meskipun dilarang, mereka tetap bersikeras.
Mungkin itulah sebabnya Allah menetapkan hukuman mati bagi pelaku LGBTQIA+. Ini karena jika mereka dibiarkan hidup, mereka akan terus merusak diri mereka sendiri dan semua orang.
Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (yakni melakukan homoseksual), maka bunuhlah pelaku dan korbannya (hukum mati)."
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, “Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang, terlaknatlah orang yang melakukan perbuatan kaum Luth alaihis salam.” Beliau mengucapkan berulang kali, tiga kali tentang liwath (homoseksual: perbuatan kaum Luth alaihis salam). (HR. Ahmad).
Kata terlaknat artinya pelakunya dipastikan akan masuk neraka kelak. Jika mereka kafir, maka mereka pasti Allah siksa dalam neraka selama-lamanya. []
Oleh. Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
0 Komentar