Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak ala Kapitalisme: Sumber Pendapatan yang Menyengsarakan

Topswara.com -- Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal Polisi (Purn.) Budi Gunawan menyebut jika Presiden Prabowo Subianto memberi hadiah istimewa untuk Tahun Baru 2025, kepada seluruh masyarakat Tanah Air. Yaitu membatalkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen. 

Pesan Bapak Presiden, bahwa sebelum pergantian tahun lalu berharap seluruh masyarakat Indonesia diberikan anugerah, kebaikan, kedamaian, dan kesejahteraan. Maka di awal tahun ini, Bapak Presiden juga memberikan hadiah istimewa berupa pembatalan kenaikan PPN dari rencana 12 persen menjadi tetap 11 persen. 

Ia menegaskan lagi bahwa penetapan tarif PPN 12 persen cuma berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini dikonsumsi masyarakat golongan atas atau kaya. Sementara itu, barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat masih tetap diberlakukan tarif PPN sebesar 0 persen (viva.co.id, 1-1-2025).

Sebelumnya, sejumlah elemen masyarakat turun ke jalan menolak keputusan pemerintah menaikkan PPN 12 persen. Bahkan penolakan semakin menguat ketika 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN 12 persen. 

Inisiator petisi, Bareng Warga, menyatakan kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab, kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk (cnnindonesia.com, 28-12-2024).
 
Alhasil penolakan tersebut mendapat perhatian pemerintah sehingga tidak menaikkan PPN 12 persen. Namun pertanyaannya, kebijakan membatalkan tarif PPN 12 persen apakah akan dapat meringankan beban rakyat ataukah sama saja seperti sebelumnya?

Pajak Tetap Menyengsarakan Rakyat

Slogan pajak "Orang Bijak Taat Pajak", "Bangga Bayar Pajak", "Ayo Peduli Pajak", dan lain-lain merupakan bentuk semangat pemerintah galakkan penarikan pajak. Karena dalam sistem Kapitalisme, pajak merupakan sumber pemasukan negara. 

Kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak tetap saja tak berkorelasi dengan pendapatan rakyat. Manakala rakyat tidak mampu membayar pajak justru saat itu juga dikenai denda bahkan tidak ada ampun. Rakyat diburu secara terus menerus agar membayar pajak. Seperti ancaman yang mematikan. Yang demikian itu jelas menyengsarakan rakyat. 

Menaikkan PPN pasti akan berdampak pada naiknya harga jual namun menurunkan kuantitas barang jual. Hal itu akan menciptakan iklim yang tidak kondusif yang mana tidak mendorong seseorang melakukan investasi dengan risiko dan biaya yang rendah serta tidak menghasilkan keuntungan jangka panjang. 

Lebih-lebih kasihan pengusaha yang ekonominya menengah kebawah. Bagaimanapun diberlakukan hanya pada barang mewah namun tetap berpengaruh pada masyarakat secara umum. 

Beginilah ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, yang menjadi korbannya rakyat sendiri yang menanggung beban walau pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas layanan yang dibutuhkan. 

Fasilitas seperti sarana pendidikan, sarana kesehatan, penggunaan jalan umum, dan lain-lain, namun lagi-lagi rakyat dipaksa merogoh kocek setiap kali menggunakannya. 

PPN naik atau tidak tetap saja tidak dapat mengurangi beban rakyat. Hal ini sebagai akibat dari penerapan sistem Kapitalisme yang menempatkan negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Artinya negara menyediakan berbagai layanan yang hanya menguntungkan pihak tertentu seperti para pemilik modal. Bahkan pajak diringankan bagi pengusaha besar. 

Alhasil mengabaikan pengurusan rakyat tak mampu. Lagi lagi rakyat hanya menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat 'wajib' sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara. Karena itu slogan 'Taat Pajak' merupakan slogan yang menyengsarakan dan tidak manusiawi. Apapun bentuk pungutannya.  

Sumber Pemasukan yang Menyejahterakan Rakyat

Sistem kapitalisme telah gagal dalam memandang pajak sebagai sumber pendapatan. Ditambah cara pengelolaannya yang menggunakan asas kapitalisme telah menyebabkan kekurangan dalam setiap sisi.

Berbeda dengan Islam, memandang pajak hanya sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara. Bahkan jika ada pajak namun mengharamkannya pada rakyat secara umum. Adapun pajak hanya terjadi dalam kondisi tertentu dan dibebankan pada kalangan tertentu. Pengelolaannya pun sesuai syariat Islam. 

Seorang pemimpin (khalifah) wajib menyediakan fasilitas dan layanan umum yang dibutuhkan rakyat. Negara harus mengelolanya dengan bijak dan penuh hati-hati. Baik dalam cara memperoleh pendapatan negara dan pengelolaannya. Sebab banyak dan beragam sumber pendapatan negara. Semua itu telah diatur melalui pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam.

Sumber pendapatan negara dalam Islam diantaranya zakat, yaitu sedekah tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang kaya kepada orang yang berhak menerimanya. Zakat merupakan rukun Islam yang kelima.

Kharaj, yaitu pajak yang dikenakan atas tanah, terutama yang dikuasai oleh non muslim setelah penaklukan wilayah. 
Ghanimah, harta hasil rampasan perang. 
Jizyah, yaitu pajak yang dibayarkan oleh non muslim yang tinggal di negara Islam. 

Jizyah merupakan kompensasi atas perlindungan keamanan dan hak-hak yang diterima non muslim di wilayah Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar, kadar jizyah diambil berdasarkan perjanjian dan kerelaan yang bersangkutan.

Fa'i yaitu harta rampasan dari musuh tanpa peperangan. Secara bahasa fa'i adalah kumpulan, naungan, kembali, ghanimah, dan kharaj. Harta fasilitas dibagikan untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Tujuannya agar harta tersebut tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya. 

Usyr yaitu segala sesuatu yang diambil dari hasil tanah usyriyah seperti jazirah arab. Usyr adalah pajak perdagangan/bea cukai (pajak impor dan ekspor). Hanya berlaku pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham dan pedagang muslim 2,5 persen. 

Usyr diberlakukan oleh Umar Bin Khattab. Usyr memungut seluruh jenis dagangan, seperti emas, pertanian, hewan, atau buah-buahan. Sedekah, infaq, dan wakaf yaitu sifatnya sukarela untuk kepentingan umat. 

Selain itu negara juga dapat dari pajak pertambangan. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Contoh Baitul Maal pada masa Khalifah Amirul mukminin yaitu Umar Bin Khattab mengalami kemajuan yang sangat pesat. Salah satunya kebijakan Umar dengan mengeluarkan fatwa terhadap harta zakat di antaranya: zakat barang perniagaan, zakat mata uang emas dan perak, zakat binatang ternak, zakat sayur-sayuran dan buah-buahan, zakat madu yang dijual bukan untuk dikonsumsi dan zakat kuda yang diperjualbelikan. 

Baitul Maal merupakan harta kaum Muslimin sedangkan khalifah dan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Penyebutan kas negara saat ini sangat berbeda jauh dengan Baitul Maal, sebab dari sisi istilah dan pengalokasiannya sudah berbeda. 

Adapun pemasukan negara yang lain yaitu diambil dari pengelolaan SDA seperti minyak bumi, batubara, gas, nikel, kekayaan laut, timah, dan lain-lain semua dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan umat secara gratis seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, listrik, jalan umum, dan sebagainya. 

Betapa detail dan adilnya pengelolaan dari Baitul Maal ini sehingga ketika diterapkan sangat mampu menyejahterakan. Hal ini telah terbukti selama 13 abad lebih mampu membangun produktivitas dalam perekonomian, dan memberi pemasukan negara yang besar, walaupun tidak bergantung pada pajak sekalipun.

Karenanya dalam Islam, pajak bukan sebagai sumber satu-satunya pendapatan negara namun sebagai alternatif saja jika sewaktu-waktu Baitul Maal dalam keadaan kosong. Dan pajak tertentu ditarik hanya pada orang-orang tertentu. 

Islam sangat rinci mengatur kebutuhan umat dan untuk kejayaan umat Islam di masa depan. Namun hanya bisa diterapkan dalam negara yang menerapkan syariat Islam saja. Karenanya tugas khalifah adalah sebagai ra'in (pengurus/pelayan) dan junnah (pelindung). 

Islam mengharamkan penguasa menyentuh harta rakyat. Khalifah berkewajiban mengelola harta rakyat untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam bentuk penyediaan berbagai fasilitas umum dan layanan yang memudahkan. 

Islam sebagai agama sekaligus aturan hidup sangat manusiawi dan mampu diterapkan apalagi di zaman saat ini. Saatnya rakyat butuh pemimpin Islam yang mampu mengurus rakyatnya dengan aturan Islam yang menyejahterakan. []


Oleh: Punky Purboyowati, S.S. 
(Pegiat Komunitas Pena)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar