Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Miris,Tunggakan SPP Berujung Perundungan Siswa

Topswara.com -- Seorang siswa kelas 4 SD di Yayasan Abdi Sukma, Medan dihukum oleh guru inisial H dengan cara duduk di lantai saat jam belajar. Hukuman tersebut dikabarkan karena siswa tersebut menunggak uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama tiga bulan sebesar Rp.180.000.

Psikolog klinis dari Analisa Personality Development Center (APDC) Indonesia, Pramudita Tungga Dewi, S.Psi, M.Psi menilai, akan ada dampak psikologis bagi siswa yang mendapat hukuman dengan metode yang tidak tepat. 

Ia mengkhawatirkan, siswa yang dijatuhi hukuman ini tidak lagi memiliki rasa percaya diri, anak dapat merasa malu, kebingungan, merasa bersalah, tidak berdaya, dan jika hal ini tidak segera ditangani, maka tidak menutup kemungkinan anak akan mengalami gangguan psikologis yang lebih lanjut seperti kecemasan hingga depresi (kompas.com, 13/1/2025).

Sangat tidak manusiawi dan tidak adil jika anak dihukum belajar di lantai lantaran menunggak SPP. Anak masih tanggung jawab orang tuanya. Sebagai seorang pendidik seharusnya lebih paham bagaimana beretika ketimbang menuruti hawa nafsu amarah sendiri, terlebih sang anak masih kelas 4 SD. 

Apa tidak dipikirkan matang-matang dampak bagi siswa ke depan? Apa sang guru tidak mempunyai anak juga? Bagaimana perasaannya jika anaknya diperlakukan serupa?

Tidak layak seorang guru melakukan tindakan tidak menyenangkan yang dilakukan secara sengaja dan membuat korban menjadi malu, bingung, sakit hati serta trauma. Karena tunggakan SPP adalah masalah antara sekolah dan orang tua, jadi anak tidak perlu kena dan terlibat dalam masalah tersebut.

Selain itu, perbuatan memberi hukuman di depan kelas bisa berakibat munculnya pemikiran siswa lainnya bahwa mempermalukan orang di depan kelas dan disaksikan banyak siswa merupakan tindakan yang rasional dan jika ada hal yang tidak taat aturan boleh dihukum seenaknya seperti itu.

Padahal pendidikan adalah hak setiap individu rakyat dan sudah seharusnya disediakan gratis oleh negara agar orang-orang yang tidak mampu tetap mendapatkan ilmu. 

Akan tetapi fakta di lapangan berbeda, pendidikan saat ini menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat. Pasalnya negara yang menerapkan sistem kapitalisme membuat negara tidak hadir secara nyata dalam mengurus kebutuhan pendidikan rakyat. 

Sekolah negeri dibangun ala kadarnya. Bahkan negara justru menyerahkan urusan pendidikan kepada swasta yang berorientasi mencari keuntungan. Ini adalah tanda kapitalisasi pendidikan karena pendidikan menjadi ladang bisnis, siapa saja yang mampu membayar mahal akan mendapat layanan pendidikan yang bagus.

Sebaliknya siapa yang tidak mampu membayar bisa mendapat perlakuan sebagaimana siswa SD di Medan. Inilah yang menjadi akar masalah pendidikan tidak merata dan orang yang tidak mampu tidak diprioritaskan.

Solusi Islam

Kapitalisasi di bidang pendidikan merupakan hal wajar di dalam negara dengan sistem kapitalisme. Di dalam sistem ini, pendidikan merupakan komoditas yang bisa dibisniskan sebagaimana komoditas ekonomi lainnya. Hal tersebut berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang memosisikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh negara secara mutlak.

Khilafah wajib menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya hingga pendidikan di perguruan tinggi. Hal tersebut tertuang jelas dalam Muqaddimah Dustur pasal 173 karya Mujtahid Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

 “Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.”

Oleh karena itu negara akan menyediakan gedung pendidikan yang layak berikut perpustakaan, laboratorium, aula, klinik, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Khalifah juga akan merekrut tenaga administrasi yang kompeten di bidangnya dan menggaji guru dan dosen dengan gaji yang tinggi sehingga para pengajar bisa hidup sejahtera tanpa kekurangan yang dampaknya mereka bisa fokus hanya kepada proses pendidikan siswa tanpa bingung mencari penghasilan tambahan lainnya. 

Dengan begitu, para guru dan dosen benar-benar fokus dalam upaya membentuk siswa menjadi siswa yang berkepribadian Islam.

Bagi para siswa di perguruan tinggi, selain mendapatkan pengajaran secara gratis, juga berhak menempati asrama, mendapatkan buku pelajaran, alat tulis, baju ganti, makanan, dan minuman. Di luar jam kuliah, mahasiswa bisa mengikuti halaqah-halaqah di masjid yang diisi oleh para ulama. 

Negaralah yang menggaji para ulama tersebut melalui kas baitul maal, yaitu dengan mengoptimalkan pos-pos pemasukannya, terutama dari pengelolaan sumber daya alam. Dari baitul maal, negara juga mampu membiayai berbagai penelitian yang dilakukan oleh kampus, hasil penelitian tersebut bisa digunakan untuk kemaslahatan rakyat. 

Demikianlah jaminan pendidikan mulai dasar hingga pendidikan tinggi dalam Daulah Khilafah Islamiah. Dengan kebijakan tersebut, wajar khilafah banyak melahirkan generasi-generasi cemerlang, seperti Al Khawarizmi, seorang ahli matematika, dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. 

Dengan kecerdasannya tersebut Al-Khawarizmi mampu merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol.

Seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan atau dikenal dengan nama Ibnu Geber hingga rumusan beliau menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Ibnu Sina atau dikenal Avicenna (Bapak kedokteran dunia), Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama pada masa peradaban Islam tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tapi juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi.

Oleh karena itu, tidak ada kebaikan untuk generasi ini jika kapitalisme tetap diterapkan di negeri ini. Nasib para generasi perlu diselamatkan dari kapitalisasi dunia pendidikan dan arus sekularisme yang merusak fitrah dan karakter mereka. 

Mari bersama berdakwah mewujudkan sistem Islam paripurna dalam naungan khilafah agar gelar sebagai umat terbaik dengan peradaban terbaik dapat kita raih kembali. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar