Topswara.com -- Islam menempatkan kesehatan sebagai hal yang sangat penting, bahkan disandingkan dengan keimanan. Kesehatan dan keimanan merupakan nikmat berharga bagi manusia, karena kesehatan yang buruk dapat menghambat aktivitas.
Menyadari hal ini, beberapa negara, termasuk Indonesia, berupaya mencegah masalah kesehatan generasi, khususnya stunting, melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, efektivitas program ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar-benar efektif atau justru menguntungkan pihak tertentu?
Sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan "kegelisahan" atas masih banyaknya anak yang belum menerima MBG. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, memperkirakan dibutuhkan anggaran hingga Rp 100 triliun untuk memberi makan gratis kepada 82,9 juta penerima manfaat.
Hal ini diungkapkan usai rapat terbatas dengan Presiden dan beberapa Menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara pada Jumat (17/1/2025), yang membahas program MBG.
Senada dengan hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan kontribusi pemerintah daerah dalam program MBG, diperkirakan mencapai Rp 5 triliun. "Untuk tahun 2025 ini, kontribusi daerah (Kabupaten-Kota) yang mau berpartisipasi, kurang lebih Rp 2,3 triliun," kata Tito usai rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada hari yang sama.
Namun, kebijakan MBG berpotensi menimbulkan berbagai masalah, mulai dari pendanaan, kualitas dan keamanan makanan, hingga ketepatan sasaran. Dari segi pendanaan, program ini membutuhkan anggaran yang sangat besar, memunculkan kekhawatiran akan menambah beban utang negara. Hal ini mengindikasikan potensi kegagalan negara dalam mengurus rakyat.
Selain itu, kebijakan ini dinilai belum menyentuh akar permasalahan, yaitu pemenuhan kebutuhan gizi dan tingginya kasus stunting. Bahkan, muncul anggapan bahwa MBG lebih berorientasi pada pencitraan dan proyek populis yang pada akhirnya membebani rakyat.
Terlihat bahwa kebijakan ini belum direncanakan secara matang dan terkesan meniru negara lain, seolah-olah dijadikan alat kampanye untuk meraih dukungan. Lebih jauh lagi, program ini dikhawatirkan justru menguntungkan korporasi tertentu.
Berbeda dengan sistem Islam, khilafah menjamin kebutuhan gizi generasi dengan mekanisme sesuai syariat. Setiap individu, bukan hanya kaum miskin, namun semua lapisan rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi.
Negara bertanggung jawab penuh mempermudah akses rakyat terhadap makanan bergizi, melalui harga pangan yang terjangkau dan distribusi yang merata ke seluruh wilayah, sehingga mencegah kelangkaan pangan dan stunting.
Negara juga berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang luas dan membangun kedaulatan pangan di bawah departemen kemaslahatan umum, yang akan menjaga kualitas pangan di masyarakat.
Khilafah akan melibatkan para pakar dalam pembuatan kebijakan terkait pemenuhan gizi, pencegahan stunting, serta perwujudan ketahanan dan kedaulatan pangan. Khilafah memiliki sumber dana yang beragam untuk mewujudkan kebijakan dan mengurus rakyat dengan kualitas terbaik.
Islam memandang kekuasaan sebagai amanah. Para pemimpin dalam sejarah peradaban Islam berupaya optimal menunaikan amanah tersebut. Mereka menjadikan kekuasaan sebagai sarana meraih pahala dari Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Abu Said Al-Khudri ra., “Sesungguhnya manusia yang paling Allah cintai dan paling dekat kedudukannya dari-Nya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan manusia yang paling Allah murkai dan paling jauh kedudukannya dari-Nya adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).
Wallahualam Bissawab.
Nani, S.Pd.I.
Aktivis Muslimah Konawe Selatan
0 Komentar