Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengkhawatirkan, Kampus Menjadi Tempat Pelecehan

Topswara.com -- Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus kembali mencuat ke publik. Terbaru, insiden ini dilaporkan terjadi di Universitas Islam Riau (UIR), menambah panjang daftar kasus serupa di dunia pendidikan tinggi Indonesia.

Sebelumnya ada dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas) berinisial FS diduga terlibat dalam kasus pelecehan terhadap salah satu mahasiswinya. Ada juga sebuah video viral yang menunjukkan aksi persekusi terhadap seorang mahasiswa Gunadarma yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual menjadi viral di media sosial. 

Dalam insiden tersebut, terduga pelaku mengalami perlakuan kekerasan dari puluhan mahasiswa lainnya, termasuk ditelanjangi, diikat, disiram, dan dipaksa meminum air seni.

Seorang dosen piano di Universitas Pelita Harapan (UPH), MS, diduga terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswanya selama bertahun-tahun. Dugaan ini diungkapkan oleh Airin Efferin, seorang musisi sekaligus pianis yang juga merupakan rekan MS (tempo.co.id, 1/12/2024).

Seperti yang diketahui, kampus seharusnya menjadi tempat yang aman bagi seluruh mahasiswa untuk belajar dan berkembang. Namun, sejumlah kasus yang terungkap belakangan ini justru menunjukkan bahwa lingkungan kampus tidak sepenuhnya bebas dari ancaman pelecehan dan kekerasan seksual.

Kasus seperti ini harusnya dapat diminimalisir. Sistem sosial dan pergaulan di kehidupan masyarakat Indonesia tidak memiliki batasan mengenai interaksi antara lawan jenis. 

Di sisi lain, prinsip kebebasan telah memberikan celah bagi setiap individu untuk berbuat sesuai hawa nafsunya. Ini tentu saja sebuah dilema sosial meski undang-undang mendefinisikan pelecehan seksual sebagai perbuatan yang melanggar nilai kesusilaan dan kesopanan.

Tetapi di tengah sistem yang mendewakan kebebasan definisi tersebut menjadi elastis. Ini menjadikan kasus serupa terus-menerus terulang, tidak pernah selesai secara tuntas.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) terus mendorong penghapusan segala bentuk pelecehan maupun kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi seiring dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi (PT) membawa sinyal positif sekaligus memandatkan serangkaian upaya keadilan dan pemulihan korban.

Saat ini Kemendikbudristek mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. PPKS universitas dalam mekanisme pelaksanaannya harus berprinsip pada kepentingan terbaik bagi korban. 

Namun mencegah kekerasan seksual menjadi langkah yang harusnya ditempuh bukan menunggu sampai munculnya korban. Artinya rumusan penanganan kasus kekerasan seksual harus merujuk pada akar masalahnya.

Permasalahan mendasar dari hukum hari ini dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual sesungguhnya terletak pada konsep-konsep kehidupan yang lahir dari hukum itu sendiri. Di mana hukum di negara yang menerapkan sistem sekuler nyatanya telah menjadikan pemikiran liberal yang mengakomodasi kebebasan berekspresi.

Di satu sisi negara menginginkan masyarakat terbebas dari kekerasan seksual, tapi di sisi lain ada jaminan kebebasan bagi setiap individu. Sementara itu, visualisasi yang membangkitkan syahwat, meracuni pikiran siapa saja sehingga tergerak melakukan perbuatan tidak senonoh. 

Tentu fakta ini tidak hanya terjadi di perguruan tinggi, tapi nyaris di setiap komunitas masyarakat mudah kita temukan kasus serupa.

Sistem hari ini, tidak memiliki langkah preventif dan terarah untuk menangkal berulangnya kasus pelecehan seksual. Sanksi yang diberikan kepada pelaku sama sekali tidak berefek jera. Merujuk pada pasal 5 Undang-Undang TPKS, "Orang yang melakukan pelecehan seksual non- fisik bisa dipenjara maksimal 9 bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta."

Untuk pelecehan seksual yang bersifat fisik, sanksinya beragam mulai dari kurungan penjara mulai 4 sampai 12 tahun dengan denda Rp50-300 juta. Sanksi ini jelas tidak berefek jera bagi pelaku. 

Akhirnya, besar peluang kasus serupa terus bermunculan di tengah masyarakat. Di sisi lain, sanksi ini tidak bisa mengganti trauma korbannya akibat pelecehan seksual dan pelaku masih berpeluang melakukan hal serupa.

Hanya sistem Islam memiliki seperangkat aturan khas yang mengatur sistem sosial dan pergaulan secara paripurna di setiap level komunitas masyarakat.

Langkah Islam Cegah Pelecehan Seksual

Dari aspek preventif, Islam membangun kerangka konsepnya berdasarkan fitrah manusia. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan. Ini bukan sesuatu yang harus menjadi kontroversi. 

Sebab, Allah pun telah menurunkan seperangkat hukum yang mengarahkan naluri itu berjalan sesuai dengan fitrahnya, yaitu hanya melalui jalan pernikahan.

Adapun langkah preventif antara lain,

Pertama, memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluannya. Memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar'i berupa jilbab atau gamis (QS. Al-Ahzab: 59) dan menggunakan khimar atau kerudung (QS. An-Nur: 31). Allah pun memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan.

Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat.

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sesekali bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan" (HR. Ahmad). 

Saat ini pergaulan muda-mudi tak terkecuali di kalangan mahasiswa
menyuguhkan banyak pergaulan serba bebas. Sudah seharusnya kampus berbenah dan mencari rule model sistem pendidikan Islam yang merealisasikan sistem Islam dalam proses akademisnya.

Ketiga, negara adalah bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Oleh karena itu, negara tidak cukup hanya membuat seruan tentang pentingnya akademisi to be aware of the potential for sexsual harrassement on campus. 

Negara memiliki peran strategis untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media.

Kita bisa lihat begitu mudahnya masyarakat sekarang mengakses situs porno yang menayangkan adegan tak senonoh. Tayangan inilah yang menjadi stimulus para perilaku, lalu melampiaskan syahwatnya melalui pemerkosaan, pelecehan seksual dan sejenisnya.

Keempat, dalam sistem Islam pelaku pelecehan seksual wajib mendapatkan hukuman karena kekerasan seksual semisal pemerkosaan dan kriminalitas sejenisnya dengan hukuman setimpal dan sesuai syariat Islam. 

Bentuknya pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Uqubat pertama, jika pelaku adalah muhshan (pernah menikah secara sah dan merasakan jima’, baik masih menikah ataupun sudah bercerai) maka hukumnya dirajam, yaitu dikubur setengah badannya di tanah lalu dilempari batu kerikil tajam hingga mati. 

Selanjutnya, jika pelaku adalah ghairu muhshan (belum menikah), maka dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan dalam waktu satu tahun

Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali” (Al-Muwaththa’, 2:734).

Demikianlah upaya preventif dalam Islam untuk menghindari kekerasan seksual berikut sanksi bagi pelaku. Sistem hukum Islam tidak hanya mencegah berulangnya kasus, tetapi juga mewujudkan sistem sosial dan pergaulan yang sehat dan aman bagi masyarakat. 

Sistem sanksi yang tegas akan mewujudkan efek jera bagi pelaku, memastikan terwujudnya keadilan bagi korban sehingga menutup celah hadirnya pelaku dengan kasus serupa. []


Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar