Topswara.com -- Mulai 1 Januari 2025, pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar internasional.
Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran masyarakat karena berpotensi menurunkan daya beli, memicu inflasi, dan memperburuk kondisi ekonomi yang tidak menentu. (tirto.id 21 Desember 2024)
Penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk petisi daring yang telah ditandatangani lebih dari 145.000 orang. Selain itu, aliansi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta.
Akademisi seperti Dr. Arman Hakim Nasution dari ITS menyoroti pentingnya kajian mendalam sebelum membuat kebijakan agar dampak positif dan negatif dapat diukur secara efektif. Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha dinilai krusial untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil dan bermanfaat bagi masyarakat. (Kampus ITS, ITS News 28 Desember 2024)
Pajak merupakan salah satu instrumen utama dalam sistem ekonomi kapitalis yang digunakan negara untuk mengumpulkan pendapatan guna membiayai pembangunan, pelayanan publik, dan redistribusi kekayaan.
Oleh karena itu, pajak merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima sebagai bagian dari kontribusi warga negara. Begitu pula dengan kenaikan tarif pajak dan keberagaman jenis pungutan pajak, yang menjadi upaya pemerintah dalam mendukung pembangunan dan keberlanjutan perekonomian negara.
Namun, dalam praktiknya, pajak dalam sistem kapitalisme sering kali menjadi perdebatan, terutama terkait dengan keadilan distribusinya dan efektivitasnya dalam mengurangi kesenjangan sosial.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal.
Dalam sistem ini, kekayaan sering kali terkonsentrasi di tangan segelintir individu atau korporasi besar. Meskipun pajak dirancang untuk mendistribusikan kembali sebagian kekayaan ini, implementasinya sering kali tidak efektif.
Kebijakan pajak progresif yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan justru sering kali dimanipulasi melalui celah hukum, penghindaran pajak, atau tekanan politik oleh para elit ekonomi.
Akibatnya, beban pajak lebih banyak dirasakan oleh kelas menengah dan bawah, sementara kaum elit tetap mampu mempertahankan kekayaan mereka.
Pajak seharusnya menjadi alat negara untuk menciptakan keadilan sosial, seperti membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mendukung kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya, alokasi dana dari pajak sering kali tidak transparan dan tidak tepat sasaran.
Dalam beberapa kasus, dana pajak malah digunakan untuk mendukung proyek-proyek yang lebih menguntungkan korporasi besar daripada masyarakat luas. Selain itu, ketergantungan negara pada investasi asing sering kali membuat pemerintah enggan memberlakukan pajak tinggi pada perusahaan multinasional, sehingga potensi penerimaan negara menjadi tidak optimal.
Kapitalisme juga menciptakan tekanan untuk memaksimalkan keuntungan, yang sering kali mengorbankan upah pekerja dan perlindungan sosial. Dalam konteks ini, pajak yang tinggi bagi masyarakat kelas bawah justru memperburuk kondisi mereka. Ketimpangan ini menciptakan lingkaran setan: rakyat kecil tetap berada dalam kemiskinan, sementara kekayaan terus terpusat pada segelintir orang.
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat.
Namun, kenyataannya sering kali jauh dari harapan. Rakyat biasa tetap terabaikan, sementara mereka menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi dari status mereka sebagai warga negara.
Kedudukan dan Pengaturan Pajak dalam Islam
Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam konsisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan ekonomi atau memperkaya negara, melainkan untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syariat, terutama ketika kas negara kosong.
Pajak hanya dipungut dalam kondisi darurat, ketika baitulmal tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kewajiban negara dan umat. Pajak hanya dikenakan kepada warga negara Muslim yang kaya, dari kelebihan harta yang melebihi kebutuhan dasar mereka, dan tidak dikenakan kepada yang fakir.
Pemerintah harus memiliki alasan syar'i yang jelas dalam pemungutan pajak, seperti untuk membiayai jihad, kebutuhan darurat, atau nafkah bagi kaum miskin.
Pajak dalam Islam diatur dengan sangat ketat untuk memastikan bahwa pemungutannya hanya digunakan untuk tujuan yang benar-benar mendesak dan bermanfaat bagi umat.
Oleh karena itu, pajak tidak boleh dipakai untuk membiayai proyek-proyek yang tidak mendesak atau yang tidak menimbulkan manfaat langsung bagi masyarakat.
Sistem pajak dalam Islam bertujuan untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan bagi seluruh umat, dengan memastikan bahwa hanya orang-orang yang mampu yang diwajibkan untuk berkontribusi.
Dengan pendekatan ini, pajak tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya, seperti yang sering terjadi dalam sistem kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi masyarakat yang lebih lemah.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Retno Indrawati, S.Pd
Aktivis Muslimah
0 Komentar