Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ekonomi Kuat Tanpa Pajak

Topswara.com -- Pajak atau pungutan yang diambil dari rakyat merupakan kebijakan diberbagai negara, karena sistem ekonomi hari ini yang diterapkan yakni ekonomi kapitalisme mengharuskan rakyat membayar pajak. Berbagai sektor terkena pajak, bahkan setiap tahunnya mengalami kenaikan pajak.

Bahkan pemerintahan yang bisa menurunkan besaran pajak pun dianggap berprestasi. Namun faktanya, kebijakan pajak makin mencekik rakyat. Bahkan banyak yang beranggapan bahwa kebijakan pajak memang sudah seharusnya diberlakukan agar negara bisa terus berjalan.

Di Indonesia, sumber pemasukan APBN 70 persen lebih berasal dari pajak yang dipungut dari rakyatnya. Berbagai jenis pajak telah diterapkan seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, pajak restoran, pajak hotel, termasuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 

Ada yang dipungut tahunan, bulanan, maupun insidental. Pernyataan bahwa pajak hanya akan mengenai orang-orang kaya pada ternyata juga tidak realistis. Faktanya, besaran pajak sangat berimbas kepada harga barang-barang pokok yang tidak hanya dikonsumsi orang-orang kaya saja. 

Seperti yang dikutip dalam Kompas.id bahwa meski semestinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen. Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat. 

Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya. (kompas.id, 3/1/2025)

Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak memegang peran krusial dalam pembangunan nasional dan penyediaan layanan publik. Dengan pajak, pemerintah membiayai infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan yang diperlukan masyarakat, termasuk menggaji semua pegawai negara. 

Sekilas seperti tidak mungkin pemerintah bisa membiayai kebutuhan negara yang sangat banyak itu kecuali dengan memungut pajak dari rakyat, seakan-akan rakyat “urunan” dalam membiayai negara, yang kemudian dianggap lumrah begitu adanya. 

Mirisnya, meskipun rakyat sudah membayar pajak, namun biaya pendidikan masih mahal, pelayanan kesehatan juga masih cenderung berpihak kepada yang memiliki uang berlebih, fasilitas-fasilitas umum pun masih banyak yang rusak bahkan membahayakan para penggunanya, bahkan tidak sedikit pelaku usaha yang memilih gulung tikar salah satunya karena pajak yang makin mencekik.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pemimpin negara dalam sistem Islam yaitu khalifah akan membawahi langsung badan yang mengurusi keuangan negara yaitu baitul mal. 

Sistem ekonomi Islam tidak menganut kebebasan kepemilikan seperti yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme. Menurut Islam, ada komoditi-komoditi yang tidak boleh dimiliki individu, seperti barang tambang, hutan, laut, dan lain-lain. 

Komoditi-komoditi seperti ini termasuk dalam kepemilikan umum yang negara akan mengelolanya dan hasilnya menjadi pemasukan baitul mal untuk membiayai kebutuhan negara dan rakyat. Di Indonesia saja, potensi pendapatan dari beberapa barang tambang nilainya dua kali lipat kebutuhan APBN setiap tahunnya. 

Selain itu ada pemasukan negara Islam dari zakat, ghanimah, fai, kharja, jizyah, dan lain-lain. Alhasil, ketika negara betul-betul mengurusi rakyatnya berdasarkan aturan Islam, maka rakyat akan terbebas dari pajak dan ekonomi negara akan kokoh. 

Bahkan kesejahteraan tidak hanya dirasakan oleh warga negara, melainkan juga yang di luar negeri, karena negara Islam tidak segan membantu negara yang sedang kesulitan.


Oleh: Maya Issama Feminia 
Aktivis Dakwah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar