Topswara.com -- Isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen cukup memanas pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Terakhir Prabowo mengambil arah kebijakan populis dengan “membatalkan” kenaikan PPN secara umum dan sekadar menaikkan PPN untuk barang mewah.
Di atas kertas, pembatalan kebijakan itu seolah-olah melegakan rakyat. Tidak lama setelah presiden menyatakan bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun buru-buru mengonfirmasi dan memastikan agar para pengusaha mengembalikan dana kelebihan 1 persen PPN itu kepada konsumen. Ini menegaskan, barang dan jasa umum tetap dikenakan tarif PPN 11 persen sesuai dengan PMK 31/2024 yang terbit pada 31 Desember 2024.
Pembatalan kebijakan menaikkan PPN seolah membuat masyarakat sedikit merasa lega, karena tidak jadi naik. Namun, langkah tersebut menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam memutuskan kebijakan ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyatnya.
Jika pajak naik, maka akan berimbas pada naiknya harga barang dan jasa, sehingga menurunkan daya beli masyarakat dan akan menjadikan perusahaan melakukan PHK besar-besaran. Ini akan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dan meningkatkan angka kemiskinan.
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme. Karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakikatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator.
Ibnu Khaldun mengemukakan pandangannya mengenai tanda kehancuran suatu negara dalam bukunya yang sangat terkenal, Muqaddimah, yang merupakan bagian dari karya besarnya tentang sejarah dan ilmu sosial.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa salah satu tanda kemunduran atau kehancuran suatu negara adalah meningkatnya pajak yang dibebankan kepada rakyat.
Pernyataan yang relevan mengenai hal ini terdapat dalam beberapa pasal yang membahas ekonomi dan pemerintahan. Di antaranya adalah Bab 3 pasal ke-39 tentang penerapan pungutan pada masa-masa akhir daulah; dan pasal ke-47, tentang pola kemunduran suatu negara.
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ketika pajak dinaikkan secara berlebihan, hal ini akan mengurangi daya beli rakyat dan menyebabkan kemiskinan yang lebih luas. Ini, menurutnya, pada akhirnya akan merusak pondasi negara.
Bahkan, salah satu tanda kehancuran suatu negara adalah semakin meningkatnya pajak yang dibebankan pada rakyatnya. Pajak yang berlebihan akan merusak ekonomi, menyebabkan kemiskinan yang meluas, dan akhirnya memicu keruntuhan negara tersebut.
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi kemakmuran dan keruntuhan peradaban, termasuk hubungan antara pajak, ekonomi, dan stabilitas sosial.
Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu saja dan hanya pada kalangan tertentu.
Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Semoga para penguasa kaum Muslimin dapat mengambil pelajaran dari runtuhnya rezim-rezim yang berlaku zalim kepada rakyatnya. []
Oleh: dr. Bina Srimaharani
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar