Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dapatkah Program MBG Mencegah Stunting?

Topswara.com -- Pada rapat terbatas yang di gelar di Istana Negara, Jumat (17/1/2025), Presiden Prabowo menyampaikan keinginannya untuk mempercepat implementasi program makan bergizi gratis (MBG). Rapat tersebut dihadiri oleh beberapa menteri dan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN)

Program ini dinilai cukup penting untuk dilaksanakan seperti yang dilakukan pada 76 negara lainnya. Seperti India yang mengalokasikan dana untuk memberikan makan bergizi kedua terbesar dari porsi APBN-nya. (CNBC Indonesia, 17/01/2025)

Program makan bergizi gratis (MBG) yang telah berjalan selama dua minggu sejak dimulai pada Senin, 6 Januari 2025 telah menuai banyak pro dan kontra, mulai dari menu yang disajikan hingga fenomena keracunan karena makanan tidak diolah dengan baik. 

Demi mensukseskan program tersebut, pemerintah berencana menambah anggaran program MBG agar menyasar lebih banyak penerima. Jumlah penerima akan ditambah secara bertahap, sesuai dengan kesiapan anggaran dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)

Jika kita cermati, program MBG berikut seluruh polemiknya, kita harus sadar bahwa program tersebut sudah cacat sejak lahir. Program tersebut tak ubahnya sekadar menggugurkan “kewajiban” karena sudah terlanjur berjanji saat kampanye menjelang pilpres. 

Seorang mantan pejabat negara bahkan melontarkan kritik terkait alokasi anggaran untuk program MBG yang hanya Rp 10.000 per anak per porsi. Anggaran yang dinilai terlalu kecil bila dibandingkan dengan harga bahan pokok yang makin meningkat. 

Persoalan makanan untuk rakyat tentunya membutuhkan dana besar sekaligus kesiapan struktural dari para pejabat terkait. Namun, penguasa tampak begitu gagap saat pelaksanaan di lapangan. 

Kebijakan MBG yang seringkali disebut sebagai kepentingan rakyat justru mengandung kepentingan ekonomi bagi sekelompok orang saja. Ini sebagaimana terjadi dalam kasus keracunan makanan menu MBG di Nunukan, Kalimantan Utara. 

Pembiayaan program MBG yang cukup besar di saat APBN babak belur, membuat penguasa melirik dana zakat dari Baznas untuk membiayai MBG. Padahal peruntukan zakat itu ada ketentuan syar’i dan tidak boleh keluar dari ketentuan tersebut. 

Apalagi peserta didik penerima MBG tidak semuanya terkategori mustahik zakat. Belum lagi dengan adanya wacana penggunaan APBD hingga Rp 5 triliun untuk membantu pembiayaan MBG di masing-masing daerah semakin menunjukkan ketidakmampuan pemerintah merealisasikan program tersebut.

Fakta yang terjadi di lapangan tidak seindah rencana di atas kertas. Kecukupan gizi MBG juga tidak mencapai target, terbukti dengan adanya pengurangan jenis menu, seperti susu. Belum lagi aspek sanitasi dan hygiene dalam makanan yang terabaikan telah menyebabkan banyaknya kasus keracunan makanan di beberapa daerah. Jumlah peserta didik juga tidak sesuai sasaran. 

Banyaknya jumlah penerima berdampak pada pengurangan porsi dan kecukupan gizi pada tiap porsinya. Semua ini disebabkan karena kurangnya dana pembiayaan MBG sejak awal. 

Inilah gambaran ketidakbecusan penguasa, bahkan ketakseriusan mengurus rakyat. Kebijakan MBG yang awalnya untuk mengatasi stunting justru telah menimbulkan banyak korban, seperti banyaknya kasus keracunan. 

Sistem sekuler kapitalisme sungguh jauh berbeda dengan sistem Islam dalam mengelola urusan rakyat. Dalam merealisasikan program MBG ataupun pencegahan stunting, negara Islam tidak akan sibuk hanya pada aspek teknis sebagaimana pembagian dan penyaluran produk MBG ke seluruh pelosok negeri. 

Khilafah akan fokus pada aspek sistemis untuk menyelesaikan beragam persoalan umat. Pemenuhan kebutuhan pokok (primer) rakyat seperti sandang, pangan dan papan merupakan kewajiban negara. Khilafah akan menempuh berbagai mekanisme dan memastikan pendistribusian harta kepada rakyat bisa terealisasai secara merata. 

Harta kepemilikan umum seperti pertambangan, hutan, laut, sungai, padang rumput, dikelola oleh negara untuk dikembalikan dalam wujud kepemilikan umum. Komersialisasi atas SDA milik umum adalah haram. Tidak seperti yang terjadi pada sistem sekuler kapitalisme, sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang. 

Di Negara Khilafah, rakyat tidak akan merasakan mahalnya harga bahan pangan maupun BBM dan elpiji serta tingginya harga hunian (rumah) akibat monopoli oleh pengembang (developer) swasta. Sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan juga disediakan secara gratis oleh negara. 

Untuk mencegah stunting, khilafah menjamin bahan dan produk pangan yang beredar adalah yang halal, tayib berkualitas terbaik dan tentu saja dengan harga murah dan mudah terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Khilafah juga menjamin kestabilan harga bahan dan produk pangan serta pendistribusian yang merata ke berbagai wilayah. Dengan demikian, seluruh rakyat dapat terpenuhi kebutuhan pangan dan gizinya. 

Khilafah juga menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya untuk kepala keluarga sehingga mereka dapat menafkahi keluarganya. Gaji yang mereka terima cukup untuk membeli bahan makanan yang berkualitas sehingga kebutuhan makan dan kebutuhan gizi keluarga bisa terpenuhi. 

Selain itu, khilfah juga berupaya mewujudkan kedaulatan dan ketahan pangan melalui swasembada dan kemandirian pangan sehingga rakyat bisa terhindar dari kerawanan pangan, bahkan kelaparan. 

Khilafah juga meminimalkan impor bahan pangan. Impor hanya dilakukan ketika kondisi terdesak seperti musim paceklik atau bencana alam dan dalam jangka waktu yang terbatas. 
 
Demikianlah upaya-upaya yang dilakukan Negara Khilafah dalam pencegahan stunting. Tidak seperti program MBG yang diwarnai dengan berbagai polemik di sana sini. 

Wallahu a’lam bisshawab.


Oleh: Erna Tristyawati
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar