Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Banjir Maut, Nyawa Balita Terenggut

Topswara.com -- Balita laki-laki inisial MR (3,5 tahun) yang tercebur selokan di Babatan, Wiyung, Surabaya, Selasa (24/12/2024) lalu, saat bermain hujan hingga hanyut terbawa arus sungai dan ditemukan di Sungai Makmur, Kecamatan Wiyung, Jumat (27/12/2024) kemarin, masih meninggalkan bekas yang mendalam.

Bagaimana tidak, tragedi ini bukan yang pertama terjadi di Surabaya tahun ini. Pada 18 Januari 2024 lalu, kejadian nahas juga menimpa seorang gadis inisial MWN (6 tahun) terjatuh dan hanyut di selokan Jalan Bumi Sari, Sambikerep, Surabaya saat bermain hujan bersama kakaknya.

Sempat dicari selama dua hari, korban ditemukan oleh seorang pendengar Radio Suara Surabaya yang melaporkan keberadaan jenazah MWN itu terlihat di Sungai Buntaran, Kelurahan Manukan, Kecamatan Tandes pada 20 Januari 2024 (suarasurabaya.net, 28/12/2024).

Banjir merupakan bencana alam langganan setiap kali masuk musim hujan. Tidak hanya di kawasan kota besar dan sekitarnya, tetapi juga daerah lainnya. Namun sayang, meski bencana ini berulang, solusi yang diberikan penguasa tidak kunjung menyelamatkan warga. 

Solusi yang diberikan nampak ala kadarnya, seperti imbauan agar para orang tua, agar benar-benar menjaga dan memperhatikan aktivitas anak-anak, terutama saat keluar rumah dengan kondisi sedang hujan. 

Karena saat hujan turun dengan intensitas deras, seringkali kondisi selokan yang aliran airnya deras tidak terlihat, tersamarkan dan seakan rata dengan tanah. Padahal, bencana banjir ini termasuk bencana yang bisa dimitigasi.

Banjir berulang di perkotaan juga menunjukkan gagalnya tata kelola ruang yang dilakukan oleh pemangku kebijakan. 

Dalam pengelolaan lahan, seharusnya pemerintah setempat benar-benar memilah mana area lahan yang diperuntukkan untuk daerah industri, mana untuk pusat perbelanjaan, perkantoran, perumahan dan mana area yang diperuntukkan sebagai daerah resapan (recharge area) sehingga tercipta keseimbangan ekologis.

Namun, hawa nafsu dan keserakahan para oligarki yang dilindungi hukum pesanan mereka sendiri menjadikan suburnya perumahan elite, mal-mal, pusat pertokoan, serta puluhan apartemen yang menjulang langit di kota-kota besar. 

Rakyat hanya menyaksikan dan merasakan banjir berulang menerjang pemukiman mereka akibat lahan resapan akhir yang berkurang.

Sikap pemimpin yang demikian niscaya lahir dalam kepemimpinan kapitalisme. Sistem ini, membuat seorang pemimpin tidak bersikap seperti seorang pemimpin sekalipun dia salih secara personal. 

Pasalnya, konsep sistem kepemimpinan kapitalisme memang menekan peran negara dalam mengurus urusan umat. 

Tujuannya agar para kapital bisa bebas bermain dan mengambil keuntungan dari kebutuhan umat yang mereka komersialkan. Sebagai contoh, alih fungsi lahan untuk pembangunan yang begitu eksplosif terus dilakukan. 

Di saat yang sama, pembangunan tersebut mengabaikan sistem drainase. Alhasil, ketika memasuki musim hujan banjir tidak terelakkan dan masyarakat disekitar proyek menderita bahkan seorang balita akhirnya hanyut akibat gorong-gorong yang terbuka.

Cara Khilafah Menanggulangi Banjir

Banjir dan kerusakan lingkungan lainnya adalah hasil ulah tangan manusia. Sistem kapitalisme terbukti melahirkan manusia serakah dalam mengelola lahan sehingga melahirakan berbagai penderitaan dan kerusakan.
 
Allah Swt berfirman dalam Al-Qur'an surah Ar-Ruum ayat 41, 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Maka, merupakan tugas khilafah untuk menjadi raa'in (pengurus) bagi warga negaranya. sebagaimana perintah dari Rasulullah SAW dalam sabdanya,

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Al-Bukhari).

Islam juga menetapkan khalifah sebagai junnah (penjaga) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya"
(HR. Muttafaqun alaih dan lain-lain).

Pembangunan dalam sistem Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan memudahkan kehidupan mereka. Maka dari itu, khalifah sebagai raa’in rakyat wajib menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Islam, bukan berdasarkan atas pesanan para investor.

Negara akan turun tangan langsung membuat cetak biru pembangunan di sebuah wilayah sehingga pembangunan lebih tertata, tidak semrawut dan tumpang tindih. Negaralah yang menentukan mana kawasan permukiman, mana kawasan perkantoran, kawasan industri, lahan pertanian, hutan, sungai, dan sebagainya. 

Sedangkan daerah di sekitar bantaran sungai tidak boleh dijadikan pemukiman karena membahayakan rakyat saat terjadi luapan air sungai. Adapun warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai akan dipindahkan dan diberi tempat tinggal yang layak di daerah yang memang aman dan cocok untuk permukiman.

Pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar dan tempat ibadah akan diatur dengan memperhatikan lokasi permukiman agar warga mudah mengakses fasilitas publik tersebut. 

Adapun industri dan pertambangan akan dijauhkan dari permukiman agar tidak membahayakan kesehatan warga.  

Cara penambangan juga harus memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga tidak menghasilkan kerusakan dan limbah yang mengganggu kesehatan rakyat.

Paradigma pembangunan Islam yang berdasarkan syariat Islam dan berorientasi untuk kemaslahatan rakyat ini telah diterapkan selama berabad-abad oleh khilafah. 

Tidak hanya tertata dengan baik hingga menghasilkan kenyamanan bagi warga, tata kotanya bahkan menjadi simbol peradaban Islam. Sebagian kota menjelma menjadi pusat politik dan pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pusat studi agama.

Khilafah menerapkan konsep hima, yaitu kawasan yang dilindungi. Ada kawasan yang tidak dibolehkan untuk diambil hasilnya, apa pun itu, demi menjaga kelestarian lingkungan. Inilah hutan lindung dalam konteks hari ini. 

Dengan demikian, tidak hanya pesat, pembangunan dalam Khilafah juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan demikian, terwujudlah keamanan bagi warga. 

Sebagai bukti, sejarah mencatat pada masa Khilafah Abbasiyah ada penemuan alat mutakhir penanggulangan banjir yang disebut nilometer. Alat ini muncul pada tahun 861 masehi karena kegelisahan dari Khalifah Al-Mutawakkil yang memikirkan kondisi sungai Nil Pada masa itu. 

Sungai Nil juga dapat berubah menjadi petaka ketika meluap dan mengakibatkan banjir parah setiap tahunnya atau ketika dalam kondisi kering yang mengakibatkan musim paceklik.

Kemudian beliau menginstruksikan para ilmuwan Muslim untuk mengatasi masalah sungai ini. Salah satu ilmuwan Muslim yang menyambut instruksi tersebut, ialah al-Farghani. 

Setelah melakukan pengamatan dan eksperimen al-Farghani berhasil mendesain sebuah bangunan yang menjadi petunjuk perilaku sungai Nil dengan mengukur ketinggian airnya. Bangunan ini akhirnya menjadi alat pengukur banjir sungai Nil yang kemudian dinamakan nilometer.

Tidak hanya di daerah Mesir, untuk mencegah banjir di berbagai wilayah khilafah lainnya, dibangun pula bendungan, kanal dan sebagainya. Jika pada masa itu saja khilafah mampu menanggulangi banjir, maka keberadaan khilafah di masa sekarang jelas akan sangat mampu menyelesaikan banjir. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar