Topswara.com -- Kasus pornografi anak di negeri ini kian merebak. Yang terbaru, pada akhir Oktober lalu, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri berhasil membongkar dua kasus eksploitasi anak dan penyebaran konten pornografi melalui aplikasi telegram.
Dalam kasus pertama, tersangka bergerak sendiri dengan mengunduh video konten asusila melalui berbagai sumber di internet lalu menjualnya kembali di grup telegram yang dia buat dengan harga puluhan hingga ratusan ribu.
Adapun kasus kedua, tersangka yang terdiri dari dua orang melakukan aksinya dengan berbagi tugas. Tersangka utama bertugas menjadi pemeran dan penjual konten video asusila.
Sementara itu, tersangka yang lain bertugas mencari talent anak di bawah umur di lingkungan pertemanan sebayanya untuk ditawarkan membuat konten video asusila bersama tersangka utama dengan iming-iming akan diberikan satu buah ponsel.
Di sisi lain, Bareskrim Polri juga berhasil menangkap 58 tersangka dengan 47 kasus tindak pidana pornografi anak dalam kurun waktu 6 bulan. Pengungkapan kasus pornografi online anak ini dilakukan sejak Mei hingga November 2024. Selain menangkap pelaku, Bareskrim Polri juga telah mengajukan pemblokiran situs pornografi online yang jumlahnya mencapai 15.659 situs.
Kejadian tersebut menambah panjang daftar kasus pornografi anak di Indonesia. Padahal, pada April 2024 lalu, Menkopolhukam Hadi Tjahjanto telah menyatakan bahwa Indonesia masuk peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan kasus pornografi anak terbanyak. Selama empat tahun, temuan konten kasus pornografi anak Indonesia sebanyak 5.566.015 kasus (mediaindonesia.com, 18/04/2024).
Pertanyaannya, cukupkah pemblokiran situs dan pemberian sanksi kepada pelaku untuk menghentikan kasus pornografi anak di Indonesia? Faktanya, kasus pornografi anak hingga kini tak kunjung surut.
Pangkal Kasus
Jika kita menelisik lebih dalam, kehidupan sekuler yang diterapkan di negeri ini adalah biang kerok maraknya persoalan pornografi anak, di samping problem negara lainnya. Sistem sekuler meyakini bahwa kebahagiaan hakiki diperoleh dengan cara mendapatkan materi dan kenikmatan jasmani sebanyak-banyaknya. Ketaatan kepada Allah bukan lagi hal utama.
Bahkan, pendidikan agama di jenjang sekolah pun tak dianggap penting. Tujuan utama pendidikan dalam sistem sekuler adalah materi. Setiap peserta didik yang lulus harus sudah siap terjun di dunia kerja. Hal ini sejalan pula dengan tuntunan kehidupan dalam sistem sekuler yang serba mahal.
Walhasil, banyak pelaku kejahatan yang tidak takut melancarkan aksinya demi memperoleh materi. Sebab, perisai keimanan yang mencegah manusia melakukan kemaksiatan telah ditanggalkannya.
Di sisi lain, dengan dalih kebebasan, negara membiarkan tontonan tak mendidik yang mengundang syahwat. Tayangan di televisi, film, dan media sosial yang berseliweran menampakkan aurat, aktivitas pacaran, dan sejenisnya dibiarkan begitu saja. Oleh karenanya tidak heran jika banyak laki-laki dan perempuan yang terjerumus pada zina, aborsi, nikah dini, hingga kejahatan seksual.
Sistem hukum pun tak bisa diandalkan. Pasalnya sanksi yang diberikan kepada pelaku tak memberikan efek jera. Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan tidak bisa dikenai hukuman karena masih di bawah umur. Padahal, tindak kejahatan yang dilakukan tidak hanya pelecehan, tetapi sampai menghilangkan nyawa.
Adapun tindakan pemblokiran situs, nyatanya tidak memberikan pengaruh dalam menghentikan pornografi anak. Pasalnya, konten pornografi saat ini mudah diakses melalui berbagai aplikasi media sosial, telegram misalnya. Dengan demikian, jelas bahwa dalam sistem sekuler saat ini, pengentasan masalah pornografi anak tidak akan menuai solusi yang hakiki.
Solusi Islam
Islam adalah agama yang Allah turunkan secara sempurna dan menyeluruh. Dalam mengatasi persoalan, Islam tidak memandang dari fakta luar saja. Demikian halnya dalam mengatasi pornografi anak.
Islam tak memandang dari banyaknya situs pornografi yang mudah diakses. Lebih dalam, Islam akan berusaha mencegah kemaksiatan tersebut melalui berbagai kebijakan negara.
Secara individu, Islam akan mencegah mereka memiliki iman rendah yang mampu membuat mereka melakukan kemaksiatan. Hal ini dilakukan melalui institusi pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk individu yang berkepribadian Islam. Mereka dididik memiliki dan menerapkan pola pikir dan pola sikap Islam dalam menjalani kehidupan. Hasilnya akan tercetak individu muslim yang taat kepada Allah SWT.
Dalam aspek media informasi, negara akan menindak tegas situs dan media sosial yang menyebarkan pornografi. Jauh sebelum mengambil tindakan memblokir, negara akan melarang keras tayangan yang tidak mencerdaskan umat dan berpeluang menjerumuskan umat Islam pada kemaksiatan.
Adapun sistem hukum, negara akan tegas memberikan sanksi kepada siapa pun yang melakukan tindak kejahatan. Negara akan melihat pelaku pelanggaran dari sisi balig atau tidaknya, bukan dari sisi usia.
Sebab, patokan usia menjadikan hukum tidak dapat diterapkan pada usia tertentu padahal seringkali pelaku sudah termasuk balig dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Demikianlah, semua kebijakan ini hanya dapat diterapkan jika negara mengambil Islam sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan.[]
Oleh: Luk Luk Il Maknuun
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar