Topswara.com -- Mubaligah Ustazah Rif'ah Kholidah mengatakan, sepanjang peradaban Islam kaum Muslimin tidak pernah memperlakukan orang kafir atas pertimbangan toleransi, namun didasarkan pada hukum syarak.
"Sepanjang peradaban Islam, kaum Muslimin tidak pernah memperlakukan orang kafir dengan pertimbangan toleransi. Perlakuan kepada orang kafir didasarkan pada hukum syarak," ungkapnya di kanal YouTube Supremacy, Ahad (29/12/2024), Bagaimana Islam Menempatkan Toleransi? | Kata Islam.
Karena berdasarkan hukum syarak itulah kaum Muslimin berinteraksi dan memperlakukan orang kafir tanpa jatuh pada toleransi yang keblabasan seperti yang terjadi sekarang.
Ia menjelaskan, istilah toleransi dalam bahasa Arab disepandankan dengan kata at-tasamuh (saling menghargai). Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) toleransi didefinisikan sebagai sikap toleran. Toleran adalah sikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendapat, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian seseorang.
Namun dalam perkembangan selanjutnya kata toleransi digunakan dalam agenda perang opini untuk menyerang ajaran dan simbol-simbol Islam. Sebagai contoh, seorang Muslim yang menyebut kafir kepada pemeluk agama lain dianggap intoleran. Ketika demokrasi, sekularisme, liberalisme dikritik dengan paham yang bertentangan dengan Islam dan memusuhi Islam disebut sebagai intoleran. Sebaliknya ketika mengakui kebenaran ajaran selain Islam, ibadah bersama antar umat beragama, menerapkan demokrasi, liberalisme, dan sekularisme dianggap sebagai wujud toleransi.
Dengan demikian, ia mengatakan kata toleransi tidak lagi netral tetapi dijadikan sebagai alat untuk menyerang ajaran dan simbol Islam, ketika syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara kaum muslimin sudah terbiasa hidup dalam kedamaian, dalam kemajemukan suku, ras, agama, dan lain sebagainya.
"Mereka memperlakukan orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan dengan santun, adil, dan manusiawi. Hal ini dikarenakan karena Islam telah menjelaskan hukum-hukum dan norma yang mengatur perbedaan mana yang bisa ditoleransi dan mana yang tidak. Sehingga perlakuan Islam terhadap orang yang berbeda agama atau keyakinan didasarkan pada hukum syariah bukan atas pertimbangan toleransi," paparnya.
Ia menjelaskan hukum syariah yang menjelaskan tentang batas-batas toleransi. Pertama, dalam masalah akidah seorang Muslim wajib mengimani bahwa Islam adalah agama satu-satunya yang benar sedangkan di luar Islam adalah kufur. Dalam masalah akidah ini tidak ada istilah toleransi, kompromi, atau pengakuan atas klaim kebenaran agama selain Islam.
Ia mengutip firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 85, artinya; 'Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi'.
"Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan dengan frasa fa lay yuqbala min-h hurum lan pada pada ayat ini menunjukkan penafikan yang selama-lamanya maknanya adalah selama-lamanya Allah tidak akan pernah menerima agama selain dari agama Islam," jelasnya.
Meskipun agama lain diyakini sah dan kufur, namun seorang Muslim dilarang untuk memaksa orang kafir masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam begitu jelas sehingga tidak butuh adanya paksaan. Allah Swt. melarang dengan tegas upaya untuk mencampuradukkan agama Islam dengan ajaran agama yang lainnya.
Ia mengutip firman Allah dalam surah Al Kafirun ayat 6 lakum dînukum wa liya dîn, (Untukmu agamamu dan untukku agamaku).
Kedua, dalam masalah syariat, seorang Muslim wajib meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum yang terbaik dan tidak pernah berubah dengan perubahan zaman. Sehingga tidak ada kata toleransi dalam masalah ini.
"Seorang muslim wajib menerapkan ajaran Islam baik orang kafir setuju atau tidak," jelasnya.
Ia mengutip firman Allah Swt., dalam surah Al Madinah ayat 48 'Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu'.
Ketiga, dalam urusan ibadah, pernikahan, makanan, minuman dan pakaian, maka orang kafir atau non Muslim dibiarkan melakukan semua itu sesuai dengan ajaran mereka. Mereka tidak dipaksa meninggalkan peribadatan, tata cara pernikahan dan urusan-urusan privat mereka.
"Saat menaklukkan Mesir, para sahabat menyaksikan dan membiarkan kaum kafir minum khamr dan beribadah menurut agama mereka. Hanya saja seorang Muslim dilarang untuk melibatkan diri dalam peribadatan orang kafir. Termasuk diantaranya mengucapkan atas hari raya mereka, menjaga tempat peribadatan mereka atau yang lainnya," terangnya.
Dari ‘Atha’ bin Dinar bahwa Umar ra. pernah berkata, “Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sungguh, murka Allah Swt. turun kepada mereka pada hari itu.” (HR Al-Baihaqi).[] Alfia Purwanti
0 Komentar