Topswara.com -- Anggota DPR RI Edy Wuryanto meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka agar mengatasi akses layanan kesehatan di Indonesia yang masih mengalami ketimpangan, seperti ketidakmerataan akses layanan kesehatan dapat menyebabkan ketimpangan derajat kesehatan antarwilayah, terutama di daerah terpencil dan perdesaan.
Kekurangan tenaga medis, sumber daya, dan infrastruktur yang tidak memadai. Ia mengatakan, dari jumlah puskesmas 10 ribu, 50 persennya tidak ada dokter gigi. Ditambah masalah dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia juga meliputi fragmentasi sistem informasi kesehatan, pencatatan data yang tidak lengkap, dan kurangnya standarisasi dalam pengelolaan data kesehatan.
Kendala yang dihadapi petugas dalam pelayanan kesehatan meliputi rendahnya motivasi, kurangnya kerjasama, dan kurangnya pemahaman SOP serta teknologi pelayanan kesehatan di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal (antaranews.com, 23/10/2024).
Akses dan pelayanan kesehatan yang baik merupakan salah satu hak dasar bagi setiap manusia sayangnya hak itu saat ini tidak bisa dirasakan oleh setiap manusia terutama masyarakat yang hidup di daerah pedesaan atau pedalaman.
Qadarallah penulis merasakan sendiri kenyataan pahit tersebut. Beberapa hari yang lalu tepatnya hari ahad tanggal 8 Desember 2024 kakak ipar yang terkena serangan jantung dan didiagnosa mengalami stroke lantaran penyempitan pembuluh darah di otak kanan dan kirinya yang membuat dia hilang kesadaran harus dirujuk ke rumah sakit daerah tipe B dengan alasan obat-obatan tidak tersedia lengkap dan peralatan medis kurang memadai.
Pasienpun terpaksa dikeluarkan dari ruang ICU berpindah ke mobil ambulan dengan taruhan pasien bisa saja meninggal di tengah perjalanan, astagfirullah.
Sampai di rumah sakit, kebetulan pasien tetangga sebelah adalah pasien jantung juga (rujukan dari pulau Bawean). Sang istri cerita bahwa suaminya (pasien) terpaksa menahan kesakitan selama hampir empat jam naik kapal demi bisa mendapatkan perawatan di rumah sakit daerah Gresik.
Alasannya hampir sama, yaitu karena rumah sakit pertama adalah rumah sakit tipe C yang tidak memiliki peralatan canggih untuk penyakit berat dan harus dirujuk ke rumah sakit tipe B. "Masih untung mik suami saya selamat, kemarin tetangga saya menahan kesakitan empat jam di kapal karena harus menjalani operasi caesar dan akhirnya meninggal diperjalanan, ya ibunya, ya bayinya," kisahnya sedih.
Belum lagi masalah keterbatasan tenaga medis serta kurangnya pemahaman SOP keperawatan yang menyebabkan penunggu pasien terpaksa diikutsertakan dalam upaya merawat pasien.
Mulai memegang selang uap, terapi kaki, tangan dan menepuk-nepuk dada pasien selama satu menit, membuang air urine, membersihkan kotoran pasien, hingga memasukkan makanan dan obat-obatan lewat selang dilakukan keluarga pasien sendiri dengan training singkat dari perawat.
Waktu ditanya mereka menjawab, "Khusus untuk pasien kelas VIP semua akan dikerjakan perawat pak, karena ini pasien kelas biasa ya dikerjakan sendiri oleh keluarga, kalau keberatan bisa membayar OB untuk pembersihan kotorannya."
Ya, begitulah dampak pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalis. Cara pandang kapitalis “wani piro”, yaitu siapa saja yang mampu membayar lebih besar, maka ia berhak mendapat fasilitas yang lebih nyaman dan layak.
Sedangkan mereka yang membayar ala kadarnya harus berpuas diri mendapat fasilitas dan layanan apa adanya serta rela menjadi perawat dadakan bagi keluarganya yang sedang sakit bahkan koma sekalipun.
Begitulah fakta di lapangan, ketika sistem kesehatan menjadi komoditas bisnis, layanan kesehatan tergantung dari seberapa besar kita membayar. Sudah menjadi rahasia umum perbedaan pelayanan kesehatan antara pasien BPJS Kesehatan dengan pasien non-BPJS Kesehatan.
Pihak rumah sakit dimana mana yang cenderung memberikan pelayanan lebih baik, lebih cepat dan lebih ramah pada pasien mandiri atau non-BPJS Kesehatan.
Pelayanan dan fasilitas pasien mandiri pun sangat berbeda dan kontras. Ini yang mengindikasikan bahwa BPJS Kesehatan tidak ubahnya asuransi. Hanya berganti nama, tetapi aktualnya tidak jauh berbeda dengan asuransi kesehatan.
Konsep Jaminan Kesehatan dalam Sistem Islam
Dalam pandangan Islam, kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar publik yang wajib dipenuhi negara. Konsep jaminan kesehatan Islam digali dari dalil-dali syar'i terkait hal ini.
Mujtahid mutlak Syaikh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitabnya Muqaddimah ad-Dustur juz 2 halaman 143 menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Dalilnya, af'al (perbuatan) Rasulullah SAW.
"Rasulullah menggunakan seorang dokter hadiah dari Muqauqis, Raja Mesir untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay" (HR. Muslim).
Diriwayatkan pula bahwa serombongan orang dari Kabilah Urainah masuk Islam, lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah SAW selaku kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh baitul mal di dekat kubah. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitulah konsep jaminan kesehatan dalam sistem Islam. Negara Islam yakni khilafah akan menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakannya, diberikan secara gratis, tidak dikomersilkan. Dari dalil jaminan kesehatan itu pula lahir beberapa prinsip pelayanan kesehatan dalam Islam, yakni
Pertama, universal. Artinya semua warga negara berhak mendapat layanan kesehatan yang sama tanpa pandang bulu kaya ataukah miskin.
Kedua, masyarakat mudah mengakses layanan kesehatan tanpa terhalangi kondisi geografis atau lokasi pelayanan kesehatan yang jauh.
Ketiga, bebas biaya. Artinya, setiap warga berhak mendapat layanan kesehatan secara gratis tanpa dipungut biaya.
Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis dan selalu tersedia.
Dengan konsep seperti ini, bisa dipastikan daerah pedesaan akan tetap terjamah oleh fasilitas kesehatan. Masyarakat pedesaan tidak perlu khawatir tidak mendapat layanan fasilitas kesehatan. Sebab, fasilitas kesehatan diberikan gratis dan cukup kepada mereka.
Hal tersebut pun dibuktikan sejarah. Dalam Tarikh Al-Hukama' halaman 405 Ibnu Al-Qifthi menerangkan rumah sakit di masa khilafah ada dua macam, yaitu rumah sakit permanen atau rumah sakit di kota-kota dan rumah sakit yang berpindah-pindah atau rumah sakit yang didirikan di desa-desa, padang pasir dan gunung-gunung.
Rumah sakit yang berpindah-pindah menggunakan unta sebagai media angkutnya. Setiap kafilah rumah sakit dilengkapi kurang lebih 40 unta yang mengangkut berbagai macam peralatan medis dan obat-obatan dan diikuti oleh sejumlah dokter. Mereka mampu mencapai setiap negeri yang berada di bawah kekuasaan Islam
(HR. Bukhari).
Jaminan tersebut dipastikan bukan hanya sekedar konsep. Sebab ada perintah syariat seorang khalifah adalah raa'in (pengurus) rakyatnya. Sebagai raa'in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya, termasuk dari ancaman kematian akibat penyakit. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat atas amanah kepemimpinannya tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah raain atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya”
(HR. Bukhari).
Ulama besar sekaligus pendiri partai Islam ideologis Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani dalam kitabnya Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 2 halaman 158 menerangkan bahwa tanggung jawab tersebut merupakan kekuatan kepribadian Islam. Kepribadian ini akan menuntun seorang khalifah berpikir dan mengambil keputusan layaknya pemimpin.
Kemudian seorang pemimpin harus bertakwa. Ketakwaan ini menjadi self control agar seorang pemimpin tidak berbuat zalim kepada rakyatnya. Ada sifat lemah lembut, kasih sayang, empati dan tidak antipati terhadap kondisi rakyat. Demikianlah wujud jaminan kesehatan dalam sistem Islam. []
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar