Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menggugat Narasi Toleransi Jelang Natal dan Tahun Baru

Topswara.com -- Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar kembali mengimbau masyarakat agar menjaga hubungan baik antarumat beragama jelang perayaan Natal dan Tahun Baru (kompas.com, 4/12/2024). 

Imbauan ini, meski terdengar positif, memiliki narasi implisit yang sering menempatkan umat muslim sebagai pihak yang harus mengalah demi menjaga "toleransi." Indikator toleransi pun selalu ditekankan pada seberapa jauh umat muslim bersikap lunak terhadap ajaran agama lain, bahkan hingga ikut merayakan atau mengucapkan selamat Natal. Jika melakukannya, mereka dianggap toleran. Sebaliknya, jika menolak, label intoleran pun melekat.

Padahal, Islam tidak mengajarkan toleransi dalam batasan demikian. Toleransi yang diajarkan Rasulullah SAW adalah menjaga keharmonisan hidup tanpa mencampuradukkan akidah. 

Dalam sejarah, Rasulullah pernah menghadapi tawaran kaum Quraisy untuk saling bertukar ibadah. Mereka berkata, "Kami akan menyembah Tuhanmu selama setahun, dan engkau menyembah tuhan-tuhan kami setahun berikutnya." 

Tawaran ini langsung ditolak Rasulullah dengan tegas, hingga Allah menurunkan surat Al-Kafirun yang menegaskan batas akidah, "Katakanlah (Muhammad): Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku" (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Namun, yang terjadi di era kapitalisme liberal ini adalah toleransi yang kebablasan. Negara tidak hadir sebagai penjaga akidah umat, malah membiarkan arus syiar agama lain terus berkembang hingga mengaburkan batas akidah umat Muslim. 

Kebebasan ini bukanlah sekadar persoalan sosial, tetapi hasil penerapan sistem yang tidak menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan.

Dalam Islam, kedamaian antarumat beragama tidak diraih dengan mencampuradukkan akidah, tetapi melalui pelaksanaan syariat secara kaffah di bawah naungan khilafah. Di bawah sistem ini, non-Muslim tetap dilindungi hak-haknya. Mereka dibiarkan beribadah sesuai ajaran agamanya tanpa paksaan untuk memeluk Islam.

Namun, negara Islam memiliki kewajiban untuk menyampaikan dakwah kepada mereka sebagai bentuk kasih sayang, tanpa memaksa jika mereka belum mau menerima Islam.

Selain itu, interaksi umat Muslim dengan non-Muslim dibolehkan dalam muamalah, seperti perdagangan, pengajaran sains, hingga pengobatan. Islam tidak mengajarkan diskriminasi dalam urusan duniawi, tetapi tegas dalam urusan akidah. Hal inilah yang membedakan toleransi Islam dari narasi toleransi kapitalisme. 

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut" (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menjadi pengingat bagi umat muslim untuk tidak mengikuti ritual atau budaya agama lain yang bertentangan dengan prinsip akidah Islam. Meniru atau menyerupai mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dapat mengaburkan identitas Islam yang sejati.

Kerukunan dan kedamaian sejati hanya terwujud dalam sistem Islam yang adil, yaitu khilafah. Sistem inilah yang menempatkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, tanpa harus mengorbankan prinsip akidah. 

Sehingga umat Muslim wajib menjaga dan memperjuangkan keutuhan akidah mereka. Maka, umat Muslim hari ini harus sadar bahwa menjaga akidah bukanlah tindakan intoleran, melainkan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, umat Muslim dapat mewujudkan kerukunan yang sejati, di mana perbedaan agama dihormati tanpa mengorbankan prinsip-prinsip akidah. Sebab, hanya dengan Islam, rahmat bagi seluruh alam akan terwujud. 

Wallahu a'lam.


Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar