Topswara.com -- Diketahui perkumpulan mahasiswa hingga K-Popers turun ke jalan dalam rangka menyuarakan aksi mereka menolak kenaikan PPN 12 persen yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025 di depan Istana hari ini, Kamis (19/12/2024).
Seperti yang kita ketahui bahwa pemerintah resmi menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
(kompas.com, 19/12/2024).
Hal ini jelas membuat para mahasiswa geram dan mengajak aliansi masyarakat lainnya untuk turun ke jalan, sebab mahasiswa sangat menyadari akan dampak kenaikan tarif PPN.
Mahasiswa yang terdiri dari gen Z itu menilai bahwa kebijakan menaikkan PPN tidak berpihak pada rakyat kecil. Hal tersebut sama saja seperti merampok rakyat karena akan berdampak pada naiknya kebutuhan pokok rakyat. Padahal selama ini rakyat sudah dibebani oleh harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi seperti harga sembako.
Sebagai generasi Z yang sering dijuluki digital native, kenaikan PPN akan mempengaruhi segala aspek kebutuhan termasuk harga kuota yang diperkirakan akan melonjak. Hal tersebut tentu akan mempersulit kebutuhan gen Z
(detik.com, 23/12/2025).
Kebijakan Zalim
Jika kita telaah, memang seharusnya mahasiswa bersuara. Sebab kenaikan tarif PPN ini adalah kebijakan yang menzalimi rakyat. Kenaikan tarif PPN ini akan menyebabkan angka inflasi naik, karena melambungnya produk akhir barang-barang yang dibeli masyarakat, hal ini akan menyebabkan atmosfer berbisnis mandek dan lesu.
Ketahanan masyarakat juga akan semakin rapuh dalam menghadapi inflasi, hal ini akan menyebabkan bencana kemiskinan serentak karena kelas menengah menjadi penduduk miskin baru. Lalu dengan buruknya kondisi ini, dipastikan masyarakat jauh dari sejahtera, termasuk gen Z yang terancam masa depannya. Jelas bahwa kenaikan tarif PPN ini menambah beban berat masyarakat.
Parahnya, hal ini menjadi prestasi buruk bagi Indonesia jika tarif PPN naik sebab akan menjadi yang tertinggi se-Asia Tenggara sama dengan Filipina (antara.com, 20/03/2024).
Pemerintah tetap beralasan bahwa tujuan menaikkan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Alasan tersebut semakin menunjukkan cengkeraman pemikiran kapitalisme yang menjadikan pajak dan utang sebagai solusi satu-satunya masalah defisit APBN.
Padahal jika pemerintah mau, mereka bisa saja mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang ada secara mandiri sebagai pemasukan negara. Namun nyatanya pemimpin yang lahir dari rahim kapitalis tidak memiliki konsep dalam mengurus urusan rakyat sehingga rakyat dijadikan sumber pendapatan dengan memalaknya.
Gen Z Harus Melek Politik Islam
Sudah selayaknya gen Z melek politik Islam. Karena hal tersebut akan mengarahkan sikap kepedulian akan persoalan umat yang kompleks. Patut diacungi jempol sikap kritis gen Z yang peduli terhadap rakyat kecil. Mengingat betapa banyak kebijakan zalim yang ada di sistem kapitalisme ini.
Gen Z harus menyadari bahwa Islam memiliki solusi yang sempurna dan paripurna termasuk memandang konsep pajak. Pembangunan di dalam Islam tidak bergantung pada pajak.
Di dalam sistem Islam, pajak adalah jalan terakhir setelah upaya lainnya yang dilakukan negara, bersifat insidental serta tidak dibebankan pada seluruh rakyat, hanya mereka yang mampu dan memenuhi syarat.
Sebab negara di dalam sistem Islam memiliki 15 pos pendapatan dan akan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang terkategori kepemilikan umum, sehingga hasilnya cukup untuk menyelenggarakan pembangunan demi kemaslahatan rakyat.
Melek politik Islam menjadi hal yang penting karena akan menjauhkan dari sikap apatis. Mengutip dari Bertolt Brecht, penyair asal Jerman, mengatakan bahwa buta yang terburuk adalah buta politik.
Orang yang buta politik itu tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Mereka sejatinya tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semuanya tergantung pada keputusan politik.
Gen Z selayaknya menyadari akan politik Islam yang sahih dalam menyelesaikan semua masalah umat. Gen Z harus pandai dalam meneropong akar persoalan umat, agar tidak mudah terjebak dengan manuver politik demokrasi yang membajak potensi generasi muda, yang hanya di posisikan sebagai aset ekonomi serta target bisnis, konsumtif dan hedonis.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang bahwa manusia adalah objek yang harus diurusi kebutuhan hidupnya oleh negara, bukan justru membiayai negara. Termasuk gen Z yang wajib dijamin masa depannya dengan penyediaan pendidikan, kesehatan, keamanan yang mumpuni. Gen Z adalah bagian dari umat Islam yang diberikan predikat umat terbaik oleh Allah SWT.
Sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imran: 110).
Selayaknya bukan hanya pungutan pajak saja yang harus ditolak, namun juga sistem kehidupan yang menjadi asas lahirnya kebijakan pajak atas rakyat yaitu sistem kapitalisme. Dari sini kita belajar bahwa gen Z harus dibekali pendidikan politik Islam. Sebab dengan politik Islam gen Z akan menjadi agen perubahan besar di tengah-tengah umat.
Generasi digital native ini akan peduli terhadap umat dan menyebarkan ide-ide sebagai solusi untuk umat lebih mendunia melalui platform sosial media yang menjadi tempat mereka berkecimpung, seiring berkembangnya kemajuan teknologi pada saat ini.
Pendidikan politik sahih ini tentu akan di berikan oleh Islam. Dalam Islam gen Z dipandang sebagai sesuatu kekuatan yang akan memberikan kontribusi besar dalam perubahan hakiki ke arah penerapan syariat Islam kafah.
Tentunya gen Z harus bergabung pada partai politik Islam ideologis untuk mendapatkan pendidikan politik Islam agar gerak perjuangannya terarah dan berada pada jalan yang menghantarkan pada perubahan yang hakiki yaitu kehidupan yang diatur dengan Islam kaffah. []
Oleh: Pani Wulansary, S.Pd.
(Pendidik dan Ibu Generasi)
0 Komentar